Akar Masalahnya, Penanganan Covid 19

Pemerintah Indonesia perlu “menggerakan” tak hanya sekedar Balitbangkes (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan) .

MATRANEWS.id — Pesan intinya adalah:  Alat pengujian PCR harus disegerakan dan diperluas cakupannya.

Pemerintah Indonesia perlu “menggerakan” tak hanya sekedar Balitbangkes (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan) .

Dalam identifikasilaboratorium lain juga bisa. Untuk dengan cepat kita identifikasi menemukan isolasi kasus positif agar tidak menjadi sumber penyebaran di lingkungan masyarakat.

Sebaiknya, dalam “catatan pinggir saya ini”, ayo gerakan  kerjasama dengan Rumah Sakit dan Fakultas Kedokteran.  Disertai juga dengan catatan lain,  Alat Pengaman Diri (APD) pekerja kesehatan-nya  juga perlu cukup.

Hingga saat ini, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan real-time reverse transcriptase Polimerase Chain Reaction (rRT-PCR).

Metode rRT-PCR ini  menghasilkan tingkat akurasi yang tinggi.  Memerlukan tenaga laboratorium yang terlatih, fasilitas laboratorium yang memadai, serta waktu yang lama.

Jika jumlah spesimen sedikit, misalnya antara lima hingga sepuluh, tes PCR ini membutuhkan setidaknya waktu enam jam, mulai dari spesimen diekstraksi di laboratorium sampai hasil pemeriksan keluar.

Jika jumlah spesimen banyak, ditambah dengan keterbatasan alat dan waktu, maka proses pemeriksanaan bisa melebihi 24 jam (2-3 hari) setelah spesimen diterima laboratorium.

Spesimen itu, dari orang-orang yang diduga terkena COVID, dikirim oleh rumah sakit rujukan atau dinas kesehatan ke laboratorium, lalu hasilnya disampaikan ke rumah sakit untuk menentukan langkah perawatan pasien.

Perlu diketahui juga, selain laboratorium Kementerian Kesehatan di Jakarta, saat ini terdapat 12 laboratorium milik pemerintah di beberapa daerah dan 3 jaringan laboratorium swasta untuk memeriksa virus dengan metode standar WHO.

Laboratorium jejaring mempunyai variasi kemampuan yang berbeda dalam sehari, tergantung jumlah alat yang dimiliki. Satu laboratorium per hari rata-rata bisa memeriksa minimal 100 sampel bahkan lebih.

Tes diagnostik cepat: mendeteksi antibodi

Berbeda dengan tes PCR, yang menggunakan cairan membran mukosa tenggorok pasien, tes diagnostik cepat (RDT) memeriksa sampel darah seseorang yang diambil dari ujung jari.

RDT ini untuk mendeteksi timbulnya antibodi seseorang terhadap virus SARS-CoV-2 dalam sampel darah yang diperiksa.

Selain itu jika PCR mendeteksi adanya virus SARS-CoV-2 secara langsung, rapid diagnostic test (RDT) mendeteksi timbulnya antibodi seseorang terhadap virus SARS-CoV-2 berupa Antibodi IgM dan Antibodi IgG.

Hasilnya dapat dibaca secara visual pada alat RDT, seperti yang terjadi pada alat tes kehamilan. Pada alat RDT yang dipakai di Indonesia saat ini, jika hasil tes menunjukkan positif akan muncul dua garis pita warna merah (di garis C dan T) di garis kontrol, sementara jika hanya muncul satu pita merah (hanya di garis C) maka menunjukkan negatif. Hasil dapat diketahui sekitar 10-15 menit.

RDT COVID-19 ini mampu mendeteksi munculnya antibodi tersebut pada orang yang sudah terinfeksi selama 7-14 hari, bahkan lebih (tergantung kemampuan sistem imunitas seseorang) dengan atau tanpa gejala COVID-19.

Tes ini mudah dan bisa dilakukan di fasilitas kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit dan laboratorium yang tidak mempunyai kemampuan pemeriksaan rRT-PCR.

Pemeriksaan RDT ini dapat dilakukan pada orang-orang yang rentan dan berisiko, termasuk orang yang baru datang dari daerah endemis COVID, orang lanjut usia, dan petugas medis.

Cara ini dapat mengidentifikasi sejak dini indikasi terinfeksi virus dan membatasi penularan selanjutnya. Dengan alat ini, pemerintah bisa mengetahui skala penyebaran penyakit sehingga bisa segera mengambil kebijakan.

RDT punya keterbatasan. Salah satunya, hasilnya bisa salah karena pemilihan waktu pemeriksaan yang mungkin kurang tepat.

Antibodi IgG dan IgM belum bisa terdeteksi saat awal seseorang terpapar, sehingga hasilnya bisa negatif palsu (seseorang terpapar COVID, tapi tidak terdeteksi dengan metode RDT).

Hal ini dapat diatasi dengan pemeriksaan ulang pada 3-7 hari setelah pemeriksaan pertama. Biasanya pasien datang ke puskemas atau rumah sakit setelah 3–7 hari setelah timbulnya gejala, sehingga para petugas medis dapat memperkirakan pemilihan waktu pemeriksaan yang tepat.

Bila hasil RDT positif sebaiknya ditindaklanjuti dengan pemeriksaan rRT-PCR untuk lebih memastikan status pasien, apakah benar-benar positif terkena virus COVID-19 atau negatif.

Karena tes PCR lebih akurat hasilnya ketimbang hasil tes RDT.

PCR adalah pemeriksaan spesimen dahak hasil swab dari tenggorokan dan mulut untuk mengetahui DNA virus di dalam tubuh. Untuk melaksanakan PCR, perlu reagen khusus pendeteksi SARS-CoV-2.

Selain itu, metode pengetesan spesimen ini harus dilakukan dengan peralatan khusus dan oleh tenaga medis yang berpengalaman. Sebab itulah tidak semua laboratorium bisa melakukannya.

Tes PCR juga dapat dilakukan dengan menggunakan sampel tinja, demikian dilansir dari Live Science. Ketika sampel tiba di lab, para peneliti mengesktrak asam nukleat di dalamnya. Di dalam asam nukleat tersebut terdapat genom virus yang dapat menentukan adanya infeksi atau tidak dalam tubuh.

Kemudian, peneliti dapat memperkuat daerah genom tertentu dengan menggunakan teknik yang dikenal sebagai reaksi berantai transkripsi polimerase terbalik.

Pada dasarnya, hal ini memberi para peneliti sampel besar yang kemudian dapat mereka bandingkan dengan virus corona baru, yang dikenal sebagai SARS-CoV-2. Virus SARS-CoV-2 memiliki hampir 30.000 nukleotida, blok bangunan yang membentuk DNA dan RNA.

Teknologi ini dapat membantu mengetahui level bencana penyakit ini.  Kiranya tulisan ini bisa dibaca orang-orang penting di bangsa ini. Suwun.

 

 

Tinggalkan Balasan