viral  

Anang Iskandar: Reza Berhak Direhabilitasi

BNI Java Jazz Festival 2020 di Jakarta. dok: ANTARA.

MATRANEWS.id — Perkara yang menimpa Reza Artamevia yang ditangkap penyidik di sebuah restoran kawasan  Jatinegara Jakarta Timur, langsung viral.

Penyanyi Reza, pada  Jumat (4/9/2020) sekitar pukul 16.00 wib  diberitakan ditangkap.   Menyebar info-nya di media sosial, kemudian media massa mainstream.

Reza sebelumnya juga pernah terjerat kasus serupa. Pada 28 Agustus 2016, dia ditangkap di sebuah hotel di Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kala itu,  ditangkap bersama guru spritualnya, “Aa Gatot”.

Mantan istri Adjie Massaid  merasa telah ditipu Aa Gatot yang menyebut aspat adalah makanan jin, padahal ternyata bubuk putih itu adalah sabu.

Pada saat ditangkap beberapa hari lalu, ada dua teman yang sedang bersama Reza. Namun, hasil tes urine dua orang yang bersama dia negatif narkoba.

Sabu seberat 0,78 gram dibeli Reza dengan harga Rp 1,2 juta. Pelantun lagu ‘Berharap Tak Berpisah’ itu telah mengonsumsi ‘barang haram’ selama 4 bulan.

Menurut penjelasan Kombes Yusril Yunus (Kabid Humas Polda Metro Jaya), saat penangkapan. Polisi menemukan satu klip sabu seberat 0,78 gram dalam tas yang digunakan Reza.

Dari penggeledahan rumah di kediaman Reza ditemukan bong / alat hisap dan korek api yang biasa dipakai Reza dikutip dari Kompas.com.

Sebagai barang bukti  ditemukan “sabu”,  jumlahnya d bawah 1 gram. Ditemukan juga “alat hisap” dan korek api yang sering digunakan untuk memakai narkotika.

Barang bukti tersebut di atas, mengindikasikan bahwa Reza adalah pecandu. Yaitu penyalahguna dan dalam keadaan ketergantungan (pasal 1 angka 13).

Sebagai pelaku penyalahgunaan narkotika,  Reza  diancam pidana berdasarkan pasal 127/1, yaitu  diancam pidana paling lama empat tahun.

Secara teknis,  pelaku yang diancam pidana 4 tahun tidak memenuhi syarat dilakukan upaya paksa berupa penahanan (pasal 21 KUHAP).

Reza apabila dilakukan assesmen, akan diketahui kadar ketergantungannya, kondisi fisik dan psykis-nya, riwayat pemakaian dan jenis narkotika yang pernah dikonsumsi serta membutuhkan berapa lama untuk dapat sembuh / pulih kembali.

Setelah diketahui kadar ketergantungannya, predikat  Reza bukan penyalah guna lagi, Akan tetapi, berubah menjadi pecandu.

Pelaku kejahatan seperti Reza, berhak di tempatkan di Lembaga  Rehabilitasi. Karena tujuan UU menjamin penyalah guna mendapatkan pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 4d).

Penyalah guna yang sudah menjadi pecandu seperti  Reza,  wajib menjalani  Rehabilitasi (pasal 54).

Penyidik, berwenang dan berkewajiban untuk menempatkan penyalah guna kedalam lembaga rehabilitasi (pasal 13 PP 25/2011).

Apabila kepemilikan narkotika Reza,  didukung bukti bahwa  Reza sebagai pengedar.  Maka,  Reza dapat dituntut dengan pasal pengedar (pasal 112).

Kalau tidak didukung bukti, bahwa  Reza sebagai pengedar.  Maka,  Reza hanya bisa dituntut dengan pasal tunggal (pasal 127/1),  tidak dapat dituntut sebagai pengedar dengan pasal 112 atau diyuntokan dengan pasal 112.

Mengapa?

Karena tujuan UU-nya beda, penyalah guna dijamin mendapatkan upaya rehabilitasi. Sedangkan pengedar harus  diberantas.

Sehingga misi penegakan hukumnya berbeda, terhadap penyalah guna misi penegakan hukumnya bersifat rehabilitatif, sedang terhadap pengedar bersifat represif.

Memahami kondisi fisik dan psykis  Reza.

Berdasarkan catatan saya,  Reza adalah penderita sakit adiksi ketergantungan narkotika kronis. Artinya, Reza adalah penyalah guna narkotika yang mudah relaps.

Karena sebelumnya, Reza juga pernah bermasalah dengan penyidik karena penyalahgunaan narkotika.

Dengan kondisi sakit demikian, secara fisik Reza kelihatan sehat dan dapat melakukan aktifitas sehari-hari. Tetapi,  secara psykis selalu menuntut narkotika agar tetap sehat.

Bagi penyalah guna seperti  Reza, bukan berarti dia sengaja dan punya niat jahat. Atau, dia tidak mau tobat atau “angel tuturane” — (istilah Jawa — gaya ludrukan yang artinya mabuk anak itu,  susah dinasihati). Bukan!  Ini karena tuntutan sakitnya.

Kalau secara fisik dan psykis tidak mengkonsumsi narkotika, maka dia akan menderita sakit seperti sakau yang rasanya “sangat” menyakitkan.

Dalam kondisi,  tersebut norma hukum yang difahaminya menjadi  “ambyar” — yang artinya bercerai-berai, berpisah-pisah, atau tidak terkonsentrasi lagi. 

Bagi orang Jawa, ambyar bisa berarti remuk atau hancur.  Yang bersangkutan,  diterpa tuntutan fisik dan psykis-nya agar mengkonsumsi narkotika.

Untuk menghentikan sakit,  supaya fisik dan psykis-nya tidak menuntut.  Ya,  hanya ada satu cara yaitu disembuhkan atau dipulihkan melalui proses  Rehabilitasi.

Itu sebabnya,  UU narkotika, mewajibkan orang tua atau keluarga dilibatkan dalam penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika.

Orang tua berkewajiban secara hukum untuk menyembuhkan / memulihkan kondisi ketergantungan anaknya. Bahkan,  kalau tidak melakukan wajib lapor agar sembuh /pulih diancam dengan 6 bulan pidana kurungan.

Itu pula sebabnya,  penegak hukum diberi misi untuk melakukan penegakan hukum Rehabiltatif dan  Hakim diberi kewenangan dapat menghukum  Rehabilitasi —  baik terbukti salah maupun tidak terbukti bersalah.  (Bersifat wajib)  berdasarkan pasal 103.

Kenapa demikian,  silahkan mendalami  politik hukum narkotika dalam menanggulangi masalah penyalahgunaan narkotika.

#Narasumber adalah  Komisaris Jenderal  (p) Dr. Anang Iskandar, S.H., M.H. adalah seorang  polisi lulusan Akpol, berpengalaman di bidang reserse. Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN)  yang  pernah menjadi Komandan Bareskrim Mabes Polri.

Jenderal bintang tiga ini menjadi sosok aktivis anti narkoba, seorang dosen yang juga penulis buku yang produktif.  Komitmennya untuk mengedukasi dan meliterasi aparat,  semua lini di bangsa ini, agar memahami permasalahan narkoba dengan jernih.   

Tinggalkan Balasan