MATRANEWS.id — “Hujan semalam menyisakan rinainya di pagi yang berkabut. Rasa dingin perlahan menelusup ke setiap sendi”
Anya membuka mata, bangkit dan duduk mendekati perapian sembari membungkus tubuh kurusnya dengan selimut usang.
Di seberang perapian, nenek tergolek lemah di atas dipan tua beralas senat. Dirinya tak dapat melepaskan pandangannya pada tubuh tua itu.
Mata yang dulu bersinar, sekarang terpejam.
Dengkuran suara nafas yang berat terdengar seolah tubuh tua itu sedang merintih dalam tidur.
Sudah tiga hari nenek hanya bisa berbaring dan minum beberapa teguk air.
Hatinya teriris sedih, melihat tubuh nenek penuh berbagai macam dedaunan yang dipercaya sebagai obat.
Mereka tinggal di ujung sebuah kampung di pegunungan Arfak. Dengan rumah di tepi sebuah sungai kecil yang jauh dari tetangga.
Bapak dan Mama telah lama merantau, tanpa pernah pulang menjumpainya. Mereka meninggalkannya sejak lahir sampai saat ini, di mana dia berusia delapan tahun.
“Dorang pergi dengan kapal putih ke tanah Jawa” cerita sang nenek pada suatu waktu. Anya tak pernah bisa membayangkan wajah kedua orang tuanya, dalam diam dia begitu merindukan mereka.
Pegunungan Arfak tempat tinggalnya, merupakan sebuah kabupaten pemekaran di provinsi Papua Barat yang berjarak sekitar 5 jam dari Manokwari ibukota provinsi, ditempuh dengan kendaraan roda empat melalui jalanan yang sebagian berlumpur dan terkadang banyak tanah longsor di tepi jurang.
Tempat yang sangat indah di dataran tinggi yang dipenuhi bunga-bunga rhododendron, gladiol di padang rumput, danau kembar Anggi dan Anggi Gida pada ketinggian 2000 M dpl.
Cuaca sangat mudah berubah di sini, kabut tetiba turun disertai hujan juga angin dingin pegunungan.
Hari ini Anya bertekad akan berjalan kaki menuju puskesmas Anggi yang berjarak kira-kira satu jam perjalanan dari rumahnya menuruni bukit.
Dia akan meminta tolong suster untuk datang memeriksa neneknya. Ia menyadari sang nenek pasti akan memarahinya bila tahu dirinya melakukan perjalanan seorang diri, tetapi rasa sayang kepada pengganti orang tuanya ini mengalahkan rasa takutnya.
Setelah merebus air dan membakar betatas buat nenek, tak lupa ia memasukkan dua buah betatas bakar ke dalam kantong plastik usang untuk bekalnya di perjalanan.
Dipeluknya sang nenek, lalu berpamitan. Anya beralasan akan ke kebun untuk menggali ubi dan keladi.
Berbekal daun pisang untuk menutupi tubuh kecilnya dari gerimis, ia berlari kecil menelusuri jalan setapak.
Jantungnya berdetak kencang, nafasnya terengah-engah, namun kaki kecilnya yang tanpa alas terus melangkah.
Setelah menempuh perjalanan panjang akhirnya nampak atap-atap rumah maupun perkantoran.
Anya bertanya dengan sopan pada seorang perempuan yang sedang berjalan menggendong anaknya.
“Selamat pagi mama, bisa tolong kasih tahu kalo mau cari suster di mana kah?”.
“ Anak perempuan ko jalan lurus saja nanti dekat pohon besar di ujung jalan ini belok ke kiri, nanti ada tulisan besar-besar PUSKESMAS”, jawab sang ibu.
Ia mengucapkan terima kasih dan segera berlari menuju tempat yang dimaksud.
Hatinya sangat gembira mengenali beberapa orang berbaju putih yang pernah memberikan pengobatan di balai kampungnya beberapa waktu yang lalu sedang berdiri di depan sebuah bangunan dari papan yang bercat putih.
Setelah menyampaikan tujuannya kepada petugas kesehatan, Ia pun duduk kelelahan.
Dikeluarkannya ubi bakar bekalnya, ia mengunyah dengan pelan sambil menikmati sarapan paginya yang tertunda.
Hatinya tersenyum saat beberapa petugas menyiapkan peralatan dan obat-obatan kemudian mengajaknya ikut serta naik sepeda motor untuk kembali ke kampungnya.
Nenek, tunggu kami datang, membawa obat untuk menyembuhkanmu, ucapnya dalam hati.
Gerimis telah usai, matahari perlahan mulai meninggi, di antara nyanyian burung dan bunyi mesin motor, Anya duduk memeluk erat petugas kesehatan yang memboncengnya.
Hari itu, hatinya berwarna “aku ingin sekolah biar pintar, aku ingin jadi perawat.” (Ed : DR)
**
Catatan:
Betatas : ubi jalar
Mama : panggilan umum perempuan di Papua yang sudah memiliki anak
Senat : semacam alas/ tikar yang terbuat dari gelagah
Tentang penulis :
Riyanti Windesi, seorang dokter spesialis anak yang bertugas di RS Selebesolu Sorong, hobi memotret dan melakukan perjalanan ke pelosok-pelosok wilayah terpencil, membuat buku foto dan menulis cerita anak bersama anak laki-lakinya yang bekerja sebagai ilustrator.
***
sumber: diPapua