Repost: Catatan Jurufoto, Fotografer Profesional Indonesia

MATRANEWS.id — Situasi umum belakangan hari ini profesi fotografer [juru foto – ahli foto] umumnya dan khususnya di Indonesia, mendapat berbagai tantangan akibat perubahan baik peralatan tehnis fotografi maupun peredaran hasil foto.

Perkembangan Tehnologi Perubahan sistim analog menjadi digital yang sedikit banyak merubah pola kerja para jurufoto.

Bahwa hasil foto bukan hasil akhir, namun cenderung menjadi data yang terus menerus dapat diolah. Selain kemudahan-kemudahan fitur berbagai alat yang memudahkan si polan berkarya bak si jurufoto.

Bagi jurufoto yang mengalami 2 periode tentu berbeda dengan mereka yang dibesarkan langsung di zaman digital.

Tetapi kedua generasi ini tentu mendapatkan situasi yang sama ketika umum berkarya [membuat] foto. Adanya perkembangan tehnologi yang cepat dan terus menerus, yang mengakibatkan seorang [jurufoto pun] perlu terus menerus belajar agar dapat berkerja maxmimal.

Otoritas Estetika Peredaraan [karya foto] pun kini tidak saja melalui media cetak tetapi lebih sering juga dalam media elektronik.

Kemudahan tampilan di media sosial dan kebutuhan akan imej [foto] di media elektronik, menyebabkan adanya ‘demokratisasi peredaran gambar foto. Di media masa elektronik, Siapapun pencipta foto amatir maupun profesional, bila dianggap layak tampil, dihadirkan.

Selain tentu mediasosial yang lebih bebas dan seringkali tanpa kuratorial atau redaktur yang memilih/kurasi foto. Situasi ini, bagi para jurufoto, memungkinkan karyanya untuk dibandingkan dengan karya mereka yang bukan profesional, secara terbuka .

Kadang bahkan dinilai oleh masyarakat [awam] langsung, tidak lagi oleh orang orang yang dianggap piawai di bidang [yang terkait dengn fotografi]. Tidak adanya otoritas estetika kurator tetapi cenderung estetika yang liberal.

Standard kerja –karya [?]

Asosiasi Profesi sebagai acuan dengan maksud mengantisipasi kekisruhan apresiasi [masyarakat baik komersil maupun tidak] terhadap kerja fotografi ini. Pemerintah menganggap perlu adanya satu standar dalam profesi fotografi.

Dibutuhkan satu acuan yang dapat menjadi dasar bagi siapapun pengguna jasa fotografi . Melalui proses yang cukup panjang, pemerintah melalui asesornya, mulai melakukan penataan dan uji sertifikasi profesi.

Namun demikian oleh karena dianggap kurang/tidak transparan, timbul kekecewaan dan keresahan.

Yang sesungguhnya tidak perlu terjadi apabila sejak awal para tokoh fotografi [khususnya professional dan komersil] diajak serta urun rembug.

Situasi ini menyebabkan adanya ketidak-percayaan masyarakat pekerja/profesional fotografi pada lembaga asesor serta kelengkapannya. Dirasakan terutama pada mereka yang telah lama bekerja sebagai jurufoto.

Alih-alih mereka yang telah lama berprofesi ini mendapat kemudahan sertifikasi; pengalaman dan pengakuan masyarakat yang ada pada mereka seolah-olah dianggap tidak pernah ada.

Terkait dengan persoalan yang pertama, memang ada perkembangan tehnis yang perlu di ikuti oleh siapa saja yang ingin tetap berprofesi sebagai jurufoto [bahkan para amatir yang entusias].

Namun perkembangan tehnologi ini tidak serta merta dapat menjadi tolak ukur uji profesi.

Kita tahu bahwa tidak sedikit jurufoto [di dunia sekalipun] yang otodidak dan tidak berlatar belakang pendidikan fotografi.

Tanpa latar belakang akademis [seni fotografi] dan apalagi sertifikasi, tetapi telah mendapatkan pengakuan masyarakat.

Yang kedua sebenarnya lebih urgen, karena uji kelayakan dalam semu bentuk seni, diawali oleh para pakar yang diakui oleh institusi profesi dan masyarakatnya.

Thumbs up memang demokratis sifatnya, tetapi ia tidak dilatar belakangi oleh satu pandangan spesifik estetika [fotografi ] itu sendiri.

Hal ini juga terjadi pada proses berdirinya badan sertfikasi itu sendiri.

Berdasarkan apa uji sertifikasi ini diuji, lalu kemudian siapa yang membuat dan menjadi pelaksanan [asesor].

Dalam semua bidang seni [tidak terlewatkan fotografi] perlu adanya satu institusi yang diakui oleh masyarakat khusus profesi maupun umum.

Satu organisasi yang diawali oleh pakar, bukan semata-mata ditunjuk institusi [khususnya pemerintah].

Uji kompetensi yang dianggap tidak sempurna dan apabila hanya dilakukan oleh satu institusi dengan caranya sendiri, tentu membatasi pemahaman tentang kreativitas yang menjadi dasar dari kerja fotografi itu sendiri.

Keresahan yang ada mengundang para jurufoto yang sedang dan masih berkerja sebagai jurufoto, untuk membuat satu kriteria tersendiri, yang dapat diterima dan merupakan pengakuan yang layak atas kerja profesi mereka selama ini.

Bagaimana laiknya sertifikasi serta uji kompetensinya untuk para jurufoto ini?

Karenanya beberapa jurufoto yang telah memiliki jam terbang yang relatif lama, berkumpul untuk membuat sebuah perkumpulan jurufoto menuju berdirinya satu asosiasi yang kapabilitas dan integritasnya telah diuji oleh jam terbang mereka secara professional, diakui oleh masyarkat khususnya pengguna jasa mereka.

Firman Ichsan.

Tinggalkan Balasan