Densus Digital: “Tim Kampanye Pilkada dan Pilpres sudah berani membeli data netizen. Bukan Bocor!”

Apa saja yang dituangkan ke medsos, dari pencarian, komentar bukan lagi menjadi privasi. Itu bisa saja dianalisa lewat aplikasi tools dan untuk menembusnya pun tidak sulit.

“Setiap pengguna media sosial, seharusnya tahu bahwa perusahaan pembuat aplikasi itu memanfaatkan data dan punya agenda untuk menghidupi usahanya,” ujar Paul Stevan, peneliti dan coach dari Densus Digital.

Paul mengatakan, warga netizen atau internet perlu menyadari ketika menggunakan aplikasi “gratis” itu data pribadi bukan bocor, tapi sudah menjadi milik publik.

Aplikasi memberi fasilitas dan bahkan menawarkan fitur tambahan, agar netizen nyaman.

Kenyamanan yang ditawarkan dengan gratis itu, ada nilai dan harganya.

Tidak harus meminta langsung dari warga internet, tapi aplikasi semacam Facebook, Twitter, dan Instagram termasuk Whatsapps, “mengelola” apa saja yang terekam dalam data digital sebagai aset.

Sebab, kebiasaan pengguna, yang menghubungkan antar pengguna di laman termasuk mem-posting apa saja tidak harus dicuri tapi bisa “diintip” siapa saja.

Apa saja yang dituangkan ke medsos, dari pencarian, komentar bukan lagi menjadi privasi. Itu bisa saja dianalisa lewat aplikasi tools dan untuk menembusnya tidak sulit.

“Tinggal siapa yang memanfaatkan, untuk tujuan baik atau hal lain,” ujar Paul membocorkan, tim kampanye beberapa kandidat calon Pilkada dan Pilpres sekarang ini sudah memanfaatkan fasilitas itu.

“Tim kampanye, atau ada istilahnya tim buzzer bahkan berani bayar untuk data itu dianalisa berdasar permintaan klien,” ujar Paul, coach Densus Digital memberi info.

“Mereka membeli secara resmi dan menggunakan jasa analisis,” jelasnya.

Info berikutnya yang seharusnya dipahami oleh pengguna media sosial, masih saran Paul adalah warganet tak perlu mengunggah setiap aktivitasnya ke media sosial.

Yang juga perlu menjadi perhatian, pesan Paul adalah bahwa celah pencurian data di media digital demikian beragam, contohnya saja, ketika kita mengakses jaringan Wi-fi publik.

Ada menu yang telah disiapkan peretas, sehingga kata kunci pengguna bisa diketahui.

Hati-hati!, bila memanfaatkan akses internet di tempat umum, karena jaringan Wifi gratis juga bisa dipalsu tanpa disadari oleh si pengguna media sosial dan internet.

“Kalau bisa memakai wifi pribadi, itu lebih baik daripada wifi gratisan yang digunakan beramai-ramai,” pesannya.

Ketika kita mendaftar ke aplikasi asing yang bertaburan di media sosial itu, sebaiknya menggunakan nomer handphone yang khusus, sehingga bila data itu dimanfaatkan atau “bocor” kita tidak terlalu repot. “Ketika ada yang menelpon, menawarkan ini dan itu,” ujar Paul.

Densus Digital peduli akan terus menghimbau dan memberi info ke masyarakat, mengenai apa-apa saja yang membuat kita terus belajar dalam memanfaatkan media sosial dan internet.

Yang umum juga perlu diperhatikan pengguna internet, jangan menggunakan pasword atau kata kunci yang umum seperti tanggal lahir, nama orang tua dan alamat.

Bukannya apa-apa, penambang data ilegal banyak kelasnya, dari tingkatan.

Alikasi medsos populer semacam Facebook, Twitter dan Instagram sudah menawarkan “digital life”. Namun, untuk menyedot data juga bisa lewat wifi gratis atau menanam walfare trojan ke situs web yang suka dikunjungi netizen.

Para peretas selalu ada saja cara untuk mengendus kegiatan pengguna media sosial, kadang memberi tawaran ikut games, dengan maksud mengetahui nomor identitas, alamat dan nomor telepon.

“Ini dunia maya, penambang data ilegal tak hanya mencuri data sensitif, tapi beberapa perusahaan bahkan menyediakan jasa untuk menawarakan jasanya,” Paul menegaskan.

baca juga majalah MATRA cetak (print)Wawancara Ekslusif para tokoh

klik: densus

Tinggalkan Balasan