Emansipasi Seksual

Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Budaya LIPI serta Direktur Program LOGOS (Local Government Studies)

MATRANEWS.id — Seorang kawan “gerah” dengan pernyataan saya bahwa emansipasi perempuan harusnya dimulai dari ranjang, persisnya emansipasi seksual.

Mungkin, hal ini terkesan serampangan. Namun, menurut saya, ranjang merupakan indikator paling telanjang bagaimana kekuasaan direpresentasikan, dinegosiasikan, dan disepakati dua pihak: perempuan dan laki-laki.

Suami istri juga sepasang kekasih, entah itu heteroseksual atau pun homoseksual.

Tidak saja sekadar melakukan ritual kenikmatan, namun di dalamnya ada serangkaian interaksi secara konstan yang harus diusahakan dan disepakati bersama. Pengabaian tentangnya bisa menunjukkan bagaimana keintiman dan relasi kekuasaan yang mereka bangun di ranjang.

Siapa yang menghegemoni dan siapa yang tersubordinasi?

Pihak mana yang mengobjektivasi dan lainnya yang menjadi korban.

Pendeknya, ia melampaui batasan tentang ukuran kenikmatan itu sendiri, lantaran ranjang juga merupakan perjumpaan antara ketulusan dan kepalsuan, kelemahan dan keperkasaan, kenormalan dan keabnormalan, bahkan egoisme juga kekerasan.

Saya pernah iseng melakukan “survei” kecil-kecilan terhadap kawan-kawan perempuan.

Saya menanyakan, siapa yang pertama kali meminta untuk melakukan hubungan seksual?

Siapa yang dominan menentukan dan memimpin hubungan intim tersebut? Posisi apa yang paling mereka nikmati? Apakah mereka sering orgasme dalam ritual seksual itu?

Jawabannya hampir bisa ditebak.

Laki-laki selalu memimpin permainan itu, hanya satu di antara delapan orang kawan saya yang punya inisiatif mengajak pasangannya bercinta. Sebagian besar mengatakan risi dan tidak menyukai posisi yang aneh-aneh. Yang mengejutkan, mereka jarang sekali mencapai orgasme.

Selama ini, pemahaman tentang kepuasan seks selalu diukur dari orgasme, dan yang lebih nyata lagi muncratnya sperma dari penis laki-laki. Tapi, benarkah demikian?

Kawan saya mengeluh, kehidupan seksualnya sungguh membuatnya panik. Pasalnya, sang suami terlalu bersemangat meniru film biru atau VCD porno koleksi mereka.

Bahkan, setumpuk majalah yang memuat pendapat konsultan seks atau informasi tentang pengoptimalan rangsangan seksual yang bisa menstimulan ledakan orgasme, menjadi santapan bacaannya.

Dengan senyum kecut ia mengaku hafal dengan zona erotis tubuh suaminya, yang sebagian besar pengetahuan tersebut ia dapatkan dari majalah, F-spot, P-spot, R-spot…. Namun, herannya dia jarang sekali mencapai orgasme seperti suaminya.

Apa yang diinginkannya?

Saya sadar betul, pertanyaan saya lebih terdengar sebagai kenyinyiran ketimbang naluri seorang peneliti. Jawabannya singkat, “Saya ingin ditanya, diajak bicara supaya tidak merasa jadi objek semata.”

Ketika saya menanyakan apakah suaminya tahu kalau dia jarang orgasme? Dengan ringan ia menjawab, “Laki-laki tidak pernah tahu kalau kita tidak mencapai orgasme. Dengan sedikit berpura-pura puas, kita telah berhasil memanjakan egonya.

Bukankah hanya itu yang ingin ia lihat? Untuk membuktikan betapa perkasanya ia karena telah merasa memuaskan kita?”

Saya tersedak. Cerita kawan tadi setidaknya membuat saya merenung.

Persoalan seks dan seksualitas di tempat tidur tidak sekadar penetrasi penis ke vagina, tapi ia menjadi sebuah proyek terbuka yang dapat melahirkan tuntutan dan kecemasan baru.

Mungkin Anthony Giddens benar. Ia bilang, saat kesetaraan seksual semakin menjadi tuntutan di dunia―meskipun masih jauh dari sempurna―baik perempuan dan laki-laki diharuskan membuat perubahan fundamental dalam pandangan dan perbuatan mereka. Termasuk, urusan seks di tempat tidur.

Aerial view of legs on bed

www.majalahmatra.com

Tinggalkan Balasan