Tokoh  

Freeport

MATRANEWS.id — Soetaryo Sigit adalah konseptor Kontrak Karya Pertambangan dan Ketua Panitia Teknis Penanaman Modal Asing di Bidang Pertambangan. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Jenderal Pertambangan Umum pada 1984 – 1989.

Pada 14 Desember 2018 almarhum Soetaryo Sigit dianugerahi Indonesian Mining Awards atas jasa-jasanya di dunia pertambangan.

Bagaimana awal Freeport masuk ke Indonesia saya dan Bambang Haryanto menulisnya dalam buku biografi Soetaryo Sigit. Garis besar tulisan itu sebagai berikut:

Freeport Sulphur Company (FSC) menjadi PT Freeport Indonesia Incorporated (FII), dan selanjutnya disebut PT Freeport Indonesia (PTFI), anak perusahan Freeport McMoran Copper and Gold di AS.

Pada 1966 pimpinan FSC mulai menjajagi kemungkinan melakukan investasi di Indonesia. Setelah UU No.1 tentang Penanaman Modal Asing terbit pada Januari 1967, pemerintah menganggap perlu untuk segera menyelesaikan perundingan Kontrak Karya Pertambangan dengan FSC.

Pada 7 April 1967 Kontrak Karya ditandatangani setelah melalui serangkaian perundingan antara Pemerintah Indonesia yang diwakili Departemen Pertambangan, Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri, Bank Indonesia, dan departemen lainnya yang terkait dengan Freeport.

Juru runding yang mewakili Departemen Pertambangan adalah Soetaryo Sigit, Chris Situmorang, Soetjipto, M.L. Manu, Ridwan Machmud, dan Sutojo.

Kontrak itu ditandatangani hanya tiga bulan setelah Indonesia memiliki Undang Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA). Dalam menangani Kontrak itu Soetaryo Sigit dan Tim Perundingan Teknis Kerja Sama Luar Negeri didorong misi bahwa proyek ini harus menjadi daya tarik bagi calon investor lainnya.

Perundingan Kontrak belum tuntas 100% seperti yang dikehendaki pihak Indonesia. Tapi proses penyelesaian Kontrak Karya dengan Freeport harus dipercepat untuk membuktikan kepada para calon investor lainnya bahwa Indonesia benar-benar siap menerima PMA. Pada 1967 itu Indonesia akan menyampaikan prospek investasi di Indonesia di forum internasional di Jenewa.

Dengan demikian Kontrak Karya dengan Freeport menjadi penting, karena akan menjadi etalase prospek pertambangan Indonesia dalam forum Jenewa. Kontrak Karya dengan Freeport itu kemudian dibawa Soetaryo Sigit yang bertugas mengutarakan prospek pertambangan Indonesia di forum itu.

Dengan proses pembuatan Kontrak yang secepat itu, ada masanya untuk jangka waktu lama Indonesia seakan mempunyai permasalahan dengan Freeport yang belum diatur. Misalnya, dalam hal kewajiban pembayaran pajak dan royalty. Ketika Kontrak ditandatangani, Indonesia belum memiliki konsep perpajakan.

Kontrak Karya Pertambangan dengan FSC ditandatangani lebih cepat tujuh bulan sebelum terbitnya UU No.11/1967 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan.

Indonesia yang pada waktu itu belum berpengalaman membuat KKP masih harus mencari konsep dan bentuk kontraknya. Pada 1967 itu perlu dicari-cari ‘inovasi’ cara pengaturan baru, sambil berunding.

Undang-undang pertambangan yang baru (UU No 11/1967) belum terbit, sedangkan undang-undang pertambangan yang lama (UU No.37 Prp 1960) tidak dapat digunakan lagi.

Peraturan perundangan perpajakan yang ada belum disiapkan untuk mampu mengakomodasikan penanaman modal asing di bidang pertambangan. Maka akhirnya pola Kontrak Karya antara pemerintah dengan Caltex, Stanvac, dan Shell pada 1960 untuk pertambangan minyak, dijadikan acuan untuk menyusun konsep KKP dengan FSC.

Yang sangat unik adalah perumusan mengenai ketentuan soal perpajakan dalam KKP ini. Tidak ada peraturan yang dapat dirujuk untuk menetapkan besarnya pajak penghasilan dan pungutan pertambangan berupa iuran produksi (royalty) dan iuran tetap (deadrent). Maka dilakukan tawar-menawar dalam perundingan.

Kontrak Karya Pertambangan dengan FSC yang dibuat sebelum terbitnya UU No. 11/1967 dinamakan Kontrak Karya Pertambangan Generasi Pertama.

Ini merupakan satu-satunya kontrak untuk generasi itu. Kebijakan pemerintah yang menyangkut isi kontrak pertambangan, khususnya yang terkait dengan perubahan keuangan dan perpajakan, disebut Generasi.

Isi Kontrak Karya Generasi I yang diberlakukan kepada Freeport ini sangat singkat dan masih sangat menguntungkan investor. Pada Kontrak Karya generasi-generasi berikutnya perubahannya lebih menguntungkan Indonesia.

Untuk tiga tahun pertama operasi, FSC memperoleh masa bebas pajak (tax holiday). Untuk tahun-tahun berikutnya, rumus perpajakannya: mulai tahun operasi ke-4 sampai dengan ke-10, tarif pajak pendapatan yang harus dibayar perusahaan adalah 35 persen, dan jumlah pembayaran pajak tidak akan kurang dari 5 persen dari net sales.

Selanjutnya mulai tahun operasi ke-11 dan seterusnya, tarif pajak pendapatan adalah 41,75 persen dan jumlah pembayaran pajak tidak akan kurang dari 10 persen dari net sales.

Pada 1972, sesudah selesai semua persiapan di lapangan, kegiatan pertambangan dimulai.

Pada 3 Maret 1973 Presiden Soeharto meresmikan tambang tembaga sekaligus proyek PMA pertama di pemerintahan Orde Baru. Pada saat itu kota pemukiman yang dibangun Freeport untuk para pekerjanya dinamakan Tembagapura dan nama Irian Barat diganti menjadi Jayapura (kini Papua).

Pada 1974 rumusan ketentuan perpajakan diubah dengan persetujuan kedua pihak. Pemberian tax holiday kepada FSC ditiadakan.

Selanjutnya perusahaan ini membayar pajak perseroan, serta iuran tetap (deadrent) dan iuran produksi (royalty) untuk tembaga, emas, dan perak yang dihasilkannya. Sejak perundingan Kontrak Karya Pertambangan Pemerintah RI menyetujui FSC untuk menambang bijih maupun mineral.

baca juga; majalah eksekutif edisi terbaru — klik ini

Tinggalkan Balasan