Gerakan Makar dan Teror di Tengah Pandemi di Negara Hukum dan Demokrasi

Fryda Lucyana (Humas Jaringan Arek Ksatria Airlangga)

Jaringan Arek Ksatria  Airlangga: “Pasal-Pasal   tentang Larangan  Makar Justru  untuk Melindungi   Indonesia Sebagai Negara Hukum / Demokrasi.”

MATRANEWS.id – Jaka Webinar – Pada hari Sabtu 6 Juni 2020,  Jaringan  Arek  Ksatria  Airlangga, yang merupakan perkumpulan dari alumni lintas  Fakultas dan angkatan dari Universitas Airlangga Surabaya  merespon isu-isu tentang  pemakzulan  Presiden.

Diskusi digital  juga  serta  membahas tentang   teror, atas kejadian terkini.  Webinar pun mengambil tema: “Gerakan Makar dan Terror di Tengah Pandemi di Negara Hukum dan Demokrasi”.

Webinar ini diikuti  oleh berbagai unsur akademisi  (dosen dari berbagai perguruan tinggi),  mahasiswa, profesional (advokat, notaris dan lainnya), dan aktivis LSM serta organisasi Kemasyarakatan.

Humas Jaringan Arek Ksatria Airlangga Fryda Lucyana, S.H., LL.M, yang diwawancarai setelah selesai diselenggarakannya Webinar tersebut  menyampaikan poin-poin diskusi yang menarik itu.

“Sebagaimana dipaparkan dalam  diskusi tadi, jelas sekali bahwa di dalam Negara hukum / Negara demokrasi modern,”  ujarnya.

Fryda Lycyana menyebut,  berbagai saluran untuk melakukan kontrol  terhadap  kekuasaan  oleh  rakyat  telah tersedia  sedemikian rupa.

“Ada DPR, ada Ombudsman, ada PTUN, ada Judicial Review dan sebagainya. Sehingga, bila ada ketiadakpuasan, ada komplain, keberatan terhadap kebijakan Negara tinggal ditempuh saja lewat saluran-saluran konstitusional itu,” demikian Fryda memaparkan.

Hal yang disampaikan Fryda ini merujuk pada paparan yang dikemukakan oleh Dr. (Cand)  Didik  Sasono   Setyadi,  Ketua  Alumni Fakultas  Hukum  Universitas Airlangga  se-Jabodetabek yang menjadi  salah satu narasumber pada Webinar tersebut.

Didik menyampaikan bahwa: “Makar selama masa pandemi ini tidak saja merupakan kejahatan terhadap Negara, namun juga bisamenjadi  kejahatan  terhadap  kemanusiaan”.

Pasal-pasal   tentang  larangan   Makar,  menurut Didik  justru   ditujukan   untuk   melindungi   Indonesia   sebagai   negara   hukum / demokrasi.

“Itulah makanya   Mahkamah   Konstitusi   menolak   permohonan   Judicial   Review   terhadap  pasal-pasal tersebut”,  ujar ketua Alumni FH Universitas Airlangga .

Bayangkan saja, bila di tengah-tengah negara dan rakyat berjuang melawan pandemi demi menjaga   keselamatan  manusia.  Kemudian,  ada pihak  yang  melakukan perbuatan sehingga pemerintah  tidak mampu melaksanakan fungsi pemerintahannya yaitu untuk melindungi rakyat dari pandemi.

“Apakah itu tidak bisa disamakan dengan kejahatan kemanusiaan?” sambung Didik.

Sementara itu Dr. Hananto Widodo, Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Negeri Surabaya(Unesa) lebih menyorot  soal permakzulan yang akhir-akhir ini diwacanakan oleh sekelompok orang.

Hananto mengatakan: “Kehendak memakzulkan Presiden dengan alasan Presiden telah berbuat tidak adil adalah hal yang subyektif dan spekulatif. Apalagi bila alasan ini diajukan ke lembaga Politik DPR. Bagaimana DPR membuktikan adil atau tidak adil?”

Masih dalam penjelasan Hananto,  sedangkan pengadilan sebagai tempat orang mencari keadilan saja tidak mudah membuktikan perbuatan itu adil atau tidak adil.

Dengan kata lain, Hananto pesimis gagasan pemakzulan yang diwacanakan beberapa tokoh nasional itu akan bisa berjalan.

Hananto   juga   menegaskan   bahwa   pemakzulan   itu  adalah langkah hukum sehingga   perlu menyusun bukti-bukti hukum yang tidak semudah menyusun kata-kata.

Sementara itu Taufik Rahman, PhD mengatakan bahwa seminar yang dilaksanakan di Yogya itu  adalah forum untuk mengungkapkan pendapat biasa,  Tidak perlu disikapi secara berlebihan.

Dia   pun  menambahkan, “Saya  orang hukum,  hanya  saya pandang   dari sisi hukum  seminar tersebut tidak ada masalah.  Saya tidak ingin bicara tentang aspek politiknya.

Menurut Taufik, yang perlu   diusut   secara   hukum   adalah  tindakan   teror   kepada   pihak-pihak   yang   terlibat   dalam penyelenggaraan acara tersebut.

Sebagai   moderator   dalam   Webinar   ini   adalah   Edward   Dewarutji,   S.H.,   M.H   yang   sekarang berprofesi sebagai Advokat di Surabaya.

Ketua JaKA Teguh Prihandoko dalam kesempatan terpisah mengingatkan, “Jangan-jangan yang melakukan teror itu mereka sendiri, he he he….”

“Tapi saya tidak mau menduga-duga, biarkan proses hukum yang berjalan dan membuktikan,” ujar Teguh, buru-buru menyambung kalimatnya.

Fryda   Lucyana,   pelantun   lagu   “Rindu”  ciptaan   Eros   Djarot   yang   popular   di   tahun   90 – an menyatakan bahwa sebagai Alumni Universitas Airlangga selalu peduli dengan fenomena yang ada di dalam masyarakat apalagi di tengah pandemi ini.

Sejak awal Pandemi Covid-19 JaKA telah melakukan gerakan sosial dalam #Gerakan Sejuta Hand Sanitizer, dengan mendistribusikan Hand Sanitizer Gratis kepada  warga   masyarakat   yang  rentan penularan   Covid-19.”

Langkah itu diberikan kepada mereka yang tetap harus bekerja di luar rumah, misalnya di pasar-pasar tradisional. Juga kepada  mereka yang bekerja di rumah sakit dan klinik, para lansia dan lain-lainnya.

Namun demikian, “Kami juga tidak lupa tetap menjaga tradisi ilmiah, tradisi  intelektual yang kami peroleh dari almamater   tercinta   Universitas   Airlangga. Maka,  kami   selenggarakan  Webinar ini untuk  memberikan pencerahan kepada semua pihak agar bertindak yang terbaik selama masa  pandemi ini.”

Intinya adalah, jangan melakukan hal-hal yang semakin menyusahkan masyarakat.

Fryda  yang juga alumnus Universitas di Australia itu mencontohkan kejadian seperti yang terjadi di Amerika, jangan sampai terjadi di Indonesia.

Mengakhiri wawancara Fryda menyatakan, ”JaKA bertekad untuk selalu peduli terhadap isu-isu sosial   kemasyarakatan,  soal   hukum   dan   kenegaraan   sebagai   bentuk   partisipasi   aktif.

Refleksi internal juga dilakukan, dengan  selalu   mengingatkan   diri.  “Agar  kami   tetap   mengedepankan obyektifitas, nilai-nilai keilmiahan  dalam mengkritisi segala isu tersebut. Dan, tidak mau bikin kegaduhan dan tidak   mau  terseret pada kepentingan-kepentingan  politik  praktis.”

“Kami juga tidak lupa tetap menjaga tradisi ilmiah, tradisi  intelektual yang kami peroleh dari almamater   tercinta   Universitas   Airlangga.” –  Fryda   Lucyana,

“Makar, Apakah itu tidak bisa disamakan dengan kejahatan kemanusiaan?” –  Dr. (Cand)  Didik  Sasono   Setyadi,  Ketua  Alumni Fakultas  Hukum  Universitas Airlangga  se-Jabodetabek.

“Jangan-jangan yang melakukan teror itu mereka sendiri.” –  Ketua JaKA Teguh Prihandoko.

 

Tinggalkan Balasan