Hukum  

Hakim “Keblinger”

Anang Iskandar, Tak Ingin Menghakimi Hakim.

Dianggap putusan mengenai penyalahguna narkoba, banyak yang rada miring “sempoyongan”, selaksa barusan menenggak alkohol satu drum.

MATRANEWS.id —  Tak bermaksud menghakimi. Tapi, kosa kata “miring” ini, memang menjadi viral dan menjelma sebagai pencitraan yang kurang baik.

Setiap ingin membuat sebuah keputusan. Maka,  hakim akan berkata :  “Atas nama keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.

Artinya, hakim sebagai sosok, yang diagung-agungkan sebagai pencitraan “wakil Tuhan”.

Kekuasaan kehakiman, adalah sisa dari konsep Kedaulatan Tuhan.  Ya, begitulah, saat ini, satu-satunya sisa “Kedaulatan Tuhan” adalah lembaga pengadilan.

Bisa saja masyarakat tidak setuju dengan putusan hakim, karena tidak sesuai dengan perasaan keadilan. Namun, sistem telah memberikan kepada hakim untuk menilai akhir.

Memakai rasa, rasio dan fakta.  Hakim diberi kewenangan “absolut”.

Dengan kewenangan absolut, peranan hakim sangat besar dalam UU narkotika guna menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi sesuai tujuan UU Narkotika.

Nah, bagaimana jika masyarakat umum, kok, kelihatan sinis, sedih, sekaligus jijik.  Itu karena, dianggap putusan mengenai penyalahguna narkoba, banyak yang rada miring “sempoyongan”, selaksa barusan menenggak alkohol satu drum.

Para hakim, dalam menjatuhkan sangsi penjara kepada penyalahguna narkotika telah mengalami semacam tingkat “kesyahduan” hidup.  Hakim, tidak sesuai, bahkan menyimpang jauh dari tujuan UU Narkotika-nya (pasal 4d).

“Keblinger”-nya hakim dalam menjatuhkan sangsi kepada penyalah guna narkotika berdasarkan penjelasan Direktorat Lapas, ternyata, ada  42 ribu lebih penyalahguna narkotika yang mendekam dipenjara sekarang ini.

Padahal, jika saja para hakim itu memaknai tujuan UU Narkotika, yang menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu. Di situ juga dijelaskan, hukuman terhadap para pengedar tujuannya adalah memberantasnya (pasal 4 cd).

Rehabilitasi adalah bentuk hukuman, dari segi manfaatnya, berguna bagi terdakwa untuk proses penyembuhan sakit adiksinya, bila sembuh dan pulih terdakwa tidak mengulangi perbuatannya.

Sebagai catatan, hakim wajib memperhatikan unsur pemaaf yang diberikan pasal 55 UU narkotika kepada penyalah guna. Apakah terdakwa penyalah guna telah melaporkan diri atau dilaporkan keluarganya ke IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor), guna memperoleh penyembuhan dan pemulihan sakit adiksinya.

Apabila telah melaporkan diri atau dilaporkan keluarganya ke IPWL maka status terdakwa berdasarkan pasal 128 ayat 2 dan 3 menjadi “tidak dituntut pidana”. Hakim demi hukum dapat menetapkan terdakwanya menjalani rehabilitasi

Untuk mengetahui tingkat keparahan kecanduan seorang penyalah guna, hakim mutlak memerlukan keterangan ahli dari team dokter yang ditunjuk.

Kondisi ini penting untuk mengetahui berapa lama terdakwa akan sembuh dan pulih. Ini untuk acuan, apabila dilakukan perawatan melalui rehabilitasi dan untuk mengetahui berapa lama hakim  menjatuhkan pidana berupa rehabilitasi agar benar- benar pulih.

Penyalah guna yang kecanduan baik kecanduan ringan, sedang maupun berat, wajib menjalani rehabilitasi berdasarkan pasal 54.

Kalau belum dimintakan visum dalam proses penyidikan/ penuntutan yang menyatakan terdakwa penyalah guna sebagai pecandu.

Menjadi kewajiban hakim meminta dilakukan pemeriksaan visum / assesmen kepada tim assesmen, agar hakim mengetahui kondisi terdakwa seberapa parah terdakwa menderita ketergantungan narkotika secara fisik maupun psykis.

Pengetahuan ini penting, bahwa sejatinya hukuman rehabilitasi bagi pecandu, statusnya sama dengan hukuman penjara (pasal 103/2). Dimana masa menjalani rehabilitasi dihitung sebagai masa menjalani hukuman (pasal 103/2).

“Keblinger”-nya hakim dalam menjatuhkan sangsi terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika sangat merugikan terdakwa dalam mendapatkan hak asasinya khususnya hak untuk sembuh dan pulih dari sakit adiksi yang dideritanya.

Penyalah guna dipenjara justru merugikan kita semua, yang paling gawat adalah Indonesia  menghasilkan generasi sakit adiksi, generasi hipies kayak Amerika tahun 80-an.

Generasi yang jauh dari harapan pemerintah yang sedang semangat membangun sumberdaya masyarakat yang sehat, bebas dari sakit adiksi. Ini adalah kerugian negara yang tidak bisa diukur dengan uang.  Mbok ya o, pada sadar ya?

“Keblinger”-nya hakim dalam menjatuhkan sangsi kepada penyalah guna narkotika berdasarkan penjelasan Direktorat Lapas, ternyata, ada  42 ribu lebih penyalahguna narkotika yang mendekam dipenjara sekarang ini.

Pengetahuan ini penting, bahwa sejatinya hukuman rehabilitasi bagi pecandu, statusnya sama dengan hukuman penjara.

Tinggalkan Balasan