Budaya  

I AM

Catatan karya instalasi Ni Nyoman Sani dan Ayu Winastri

Siang terasa panas ketika kaki menginjak desa pesisir Sanur. Angin, yang berhembus lembut, tak mampu menyejukkan udara sekitar.

Suasana menjadi sejuk manakala memasuki area Griya Santrian Gallery.

Pasalnya, begitu masuk galeri bergengsi ini, kita disambut karya instalasi yang merupakan kolaborasi perupa Ni Nyoman Sani dan penyair Ayu Winastri.

Sekitar delapan lembar kain putih setinggi lima meter terjuntai  membentuk ruang segi empat.  Di tengahnya, terpasang patung mirip manekin  berbaju hitam, berkerudung kain hitam juga.

Acara repertoar diadakan tgl 24 Januari 2021.  Ini merupakan serangkaian acara pameran bersama ‘Sipp Setiap Saat’ yang digagas Gurat Artproject dan Griya Santrian Gallery Sanur.

Karya instalasi  ini bertajuk I AM, tapi selain itu ada juga tertulis kata LOVE pada kain putih yang terjuntai.

Menurut Sani, karya ini merupakan perenungannya bersama Ayu di masa pandemi berkepanjangan saat ini.

Hal itu dibenarkan juga oleh Ayu. Menurut Ayu, karya kolaborasi tersebut,  selain renungan juga pertanyaan-pertanyaan tentang siapa aku, aku itu apa, dan lain sebagainya.

“I AM” atau Aku bisa banyak  arti – I am Sani,  I am Ayu, I am a mother dan lain-lain.

IAM, bisa juga berarti sebuah status quo, misal I am sad, I am loved, Iam vulnerable, I am irritated dan sebagainya.

Bagaimana Aku menjadi cinta itu sendiri, Cinta seperti apakah yang membentuk aku dalam sebuah ruang.

Jawabnya bisa bermacam-macam, tergantung pengalaman ‘si aku’ itu sendiri.

Yang jelas, aku bekerja dengan sangat pribadi.  I am love adalah sebuah pernyataan, ada perjalanan pribadi yang membentuk seseorang kedalam sebuah ruang yang sangat abstrak, yakni cinta. Itu yang  Ayu jelaskan.

Melihat karya trimatra kolaborasi Sani dan Ayu ini, saya lantas teringat puisi karya Chairil Anwar yang bertajuk ‘Aku’.

Kesamaan yang saya tangkap dari karya rupa AKU nya Sani-Ayu dan puisi ‘Aku’ Chairil Anwar, yakni kontennya.  Eksistensialisme. Begitulah tangkapan saya.

Terbukti — seorang penulis lantas merespon karya Sani dan Ayu dengan membacakan puisi  ‘Aku’ nya Chairil Anwar — begitu berhadapan dengan instalasi tersebut.

Puisi ‘Aku’ Chairil Anwar, memang dekat dengan karya instalasi Sani-Ayu, demikian pendapat Putu Dewi.

Eksistensialisme karya Sani-Ayu, kata Ni Putu Dewi, ‘terbaca’, dari pilihan konten I AM dan LOVE yang melatari karya kolaborasi tersebut.

Bereksistensi, menurut Putu, secara kongkrit, mempertegas ke-berada-an diri seseorang. Menentukan diri sendiri yang sama sekali unik,  sesuai dengan pengalaman perjalanan hidupnya.

Putu Dewi memaparkan, karya puisi ‘Aku’ dari penyair Charil Anwar tak hanya merupakan semangat perlawanannya pada penjajahan Jepang, tapi mewakili seluruh ke-‘berada’-annya.

Seluruh eksistensinya.  Sajaknya adalah murni produk pemikiran Chairil yang esensial. Karya yang merupakan hasil perenungan atas kekejian penjajahan saat itu.

Juga peristiwa atau kondisi tertentu dalam sistem sosial pada jaman itu.  Putu Dewi mengisahkannya.

Dalam sajak ’Aku ’  tampak sekali perlawanan Chairil.  Ia melawan arus meninggalkan kebiasaan para pujangga yang saat itu tunduk mendukung propaganda Jepang.

‘Paus Sastra’ Indonesia, HB Jassin  pernah mengatakan, saat itu Chairil berlari dengan puisinya,  merombak, merubah bentuk dan tatanan lama.

Sajaknya ‘Aku’ bisa dipertanggungjawabkan, baik secara ilmu susastra maupun filsafat  kehidupan.

Simak sajak nya : kalau sampai waktuku//ku mau tak seorangpun kan merayu//tidak juga kau//tak perlu sedu sedan itu//aku ini binatang jalang//dari kumpulannya terbuang.

Nampak sekali sikap Chairil yang tegar, tidak cengeng, dan berani melawan arus dari ‘kumpulannya’ (para pujangga angkatan 45).

Pada baris selanjutnya tampak sekali retorika ‘pemberontakan’ yang ada dalam diri Chairil. Ia ingin ‘Bebas’ dan ‘Ada’.

Mari kita rasakan kekuatan ‘kata, penyairnya untuk menyatakan ke-‘berada’-annya. 

Biar peluru menembus kulitku//Aku tetap meradang menerjang//Luka dan bisa kubawa berlari//Berlari//Hingga hilang pedih peri//Dan aku akan lebih tidak peduli//Aku mau hidup seribu tahun lagi!//.

Di sini sangat terlihat Chairil ingin menunjukkan keber-‘ada’-an dirinya dengan penuh kebebasan, tanpa tunduk oleh nilai-nilai maupun segala sesuatu dari luar dirinya.

Sikap Chairil ini mengingatkan pada pemikiran filsuf Jean Paul Sartre, salah satu pemikir eksistensialisme.

Inti pemikiran Sartre adalah berfokus pada kebebasan manusia, tentang bagaimana seseorang men’jadi’kan dirinya sendiri. Kebebasan, menurut Sartre, adalah landasan nilai terpenting bagi manusia.

Karya rupa trimatra, kolaborasi Sani – Ayu, menurut saya juga ‘bernafaskan’ eksistensialisme.

Pendapat saya ini, sama dengan pendapat ‘si anak cerdas’  Ni Putu Dewi, siswi kelas XII sebuah SMA Negeri di Denpasar.

Menurut Sani, konsep awalnya menampilkan karya rupa instalasi ini, esensinya adalah mengolah fungsi ruang. Dengan memanfaatkan sebaik-baiknya berbagai anasir, seperti udara, benda, tata ruang, sirkulasi udara, dan lain sebagainya.

Selain respon terhadap ‘ruang’, Sani juga menjelaskan perihal repertoarnya.

Ketika itu, Sani mengalirkan tetesan cat aneka warna, dan Ayu  dengan kostum berwarna putih merespon nya dari bawah, dengan geliat geliat tubuhnya diatas kain putih.

Jadilah karya lukis abstrak di kain putih di bawah manekin, dan di kostum yang ia pakai.

Manusia terus bergerak, disadari atau tidak menuju pada suatu kemungkinan atau lebih. Eksistensi sendiri adalah pergerakan, tubuh manusia mengalami pergerakan atau pertumbuhan.

Penjelasan Sani seakan mau  menjelaskan refleksi karya trimatranya, jika dikaitkan dengan pertumbuhan tubuh dan juga jiwa.

Di sanalah esensi keber’ada’an seseorang/individu.

Sementara itu, Ni Putu Dewi mencoba melakukan ‘pembacaan’ karya IAM dengan pendekatan Hermeneutika.

Dewi mengaku menikmati karya Mbok Sani – Ayu, tak jauh berbeda dengan menikmati sebuah puisi. Ia pun menyebut, hanya mediumnya yang berbeda, bukan kata tapi rupa.

Oleh karenanya, Ayu mengungkap bisa  melakukan interpretasi karya belio secara luas dan bebas – tak sekedar menggali makna dari ‘teks rupa’ atau anasir-anasir seni rupa trimatra yang ada – sebagai daya ungkap.

Dan saya menangkap, refleksi dari karya I AM tak hanya berhenti di unjuk eksistensi semata.  Ada ‘nilai’ yang lebih dalam yang ingin disampaikan, yakni LOVE. Suatu nilai yang universal.

Analisis Ni Putu Dewi, tak berbeda dengan pendapat Sani.

Secara garis besar, kata Sani, melalui keberadaan I AM, ada capaian yang ingin di raih yakni ; humanisme yang merupakan esensi besar dari eksistensialisme.

Esensi dari humanisme adalah LOVE , cinta itulah yang mewakili esensi dari seluruh perenungan kami tentang karya I AM ini.

Sani pun mengungkap, bahwa pesan yang ingin disampaikan bisa dipahami atau tidak.  Itu kembali pada frekuensi yang memberi dan menerima.

Begitulah, karena ‘kosa rupa’ dan konten karya I AM ini mengandung nilai-nilai ‘poetika’ , tentu penikmat bebas menginterpretasi. Karena sifat puisi, memang multi interpretable.

Selain itu, pendekatan hermeneutika yang dipergunakan Dewi paralel dengan pendapat Sani tentang frekuensi yang memberi dan menerima.

Sebab, anasir penting dalam hermeneutika adalah teks (dalam hal ini ‘teks rupa’) penafsir, dan penikmat.  Catatannya, hermeneutika juga merupakan studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi.

Yang dimaksud dari eksplanasi disini adalah ‘teks rupa’ (kosa rupa) karya I AM yang disebaliknya tersimpan konten yang penuh makna tentang proses yang berhubungan dengan kesemestaan.

Sani dan Ayu, seperti ingin menegaskan bahwa puncak dari eksistensialisme adalah humanisme. Dan esensi humanisme, tambah Sani, adalah LOVE.

Apakah lewat karya I AM ini Sani-Ayu ingin menebarkan ‘tanda’ sebuah proses terciptanya atau terjadinya suatu fenomena alam maupun sosial seperti pandemi C-19 ini?

Yang jelas, I AM dan LOVE menjadi pesan yang bebas diinterpretasi oleh penikmat .

Yang saya pahami, sebagai perupa dan penyair Sani-Ayu tak pernah berhenti dengan proses kreatif dan komitmennya pada kesenian dan kehidupannya.

Hal itu, terbaca dari quote produk pemikiran Sani ;  “doesn’t matter how much and how long we make a chance in our life, as long as we commit on it”.

 

 

 

Tinggalkan Balasan