Imam Prasodjo “Colek” Teten Masduki

Sosiolog yang satu ini bisa disebut sosok idealis yang dipunyai bangsa ini. Kerap menjadi garda terdepan “suara-suara kebenaran” yang kadang tenggelam di tengah riuhnya apa yang terjadi di negeri ini. Ia juga kerap terjun langsung di berbagai kegiatan kemanusiaan. Tak hanya sekedar menolong orang, namun merancang kegiatan dengan sistem yang baik sehingga dapat berkesinambungan.

Menjalankan profesi menjadi dosen sosiologi untuk mahasiswa S1 dan S2 di FISIP UI, pria berkacamata itu nyemplung di berbagai LSM dan yayasan. Salah satunya, berkiprah di Yayasan Nurani Dunia.

Yang sudah dilakukan adalah, membangun dan merenovasi sekitar 25 sekolah di daerah miskin atau rawan konflik, membuka beberapa perpustakaan, antara lain di wilayah Kampung Melayu, Kapuk, Kampung Bonang, hingga ke Bantul-Yogyakarta, dan Banjarnegara-Jawa Tengah. Program pembangunan rumah seperti di Aceh dan Yogyakarta, serta bekerjasama dengan WHO mengelola program pengelolaan air bersih di Madura dan banyak lagi.

Merintis pembuatan perpustakaan di gardu-gardu ronda yang berada di tengah-tengah komunitas, seperti perkampungan.

Semangatnya meledak-ledak jika menceritakan deretan kegiatan yang tengah dilakukannya secara acak. Sesekali dicarinya foto-foto di bawah meja atau dibukanya satu-dua kardus sambil mengeluarkan beberapa buku sambil terus bercerita.

Mantan anggota KPU dan Direktur Center for Research on Intergroup Relations and Conflict Resolution [CERIC] ini begitu total dalam melakukan kegiatan kemanusiaan.

Mantu Prof. DR. Miriam Budiarjo itu berharap ada snowbowling effect dari apa yang dikerjakannya. Dimana kegiatan akan terus bergulir dan semakin banyak.

Bagaimana ia terus memikirkan sustainable issue. Misalnya di perpustakaan ada kantinnya, sehingga orang yang menjaga perpustakaan mendapatkan uang dari berjualan di kantin.>

Imam Budidarmawan Prasodjo adalah putra Purwokerto, yang lahir15 Pebruari 1960. Alumnus S1, FISIP UI, 1986 serta MA di Kansas State University, Manhattan AS 1990. Ia meraih PhD di Brown University, Rhode Island, AS 1997.

Suami Gitayana Prasodjo dengan anak Rauf dan Adila termasuk pendukung pemerintahan Jokowi. Baru kali ini, ia bersuara keras di beberapa media digital. Imam berpantun, “Sayang seribu sayang.”

Katanya, di saat kami tengah susah payah menggalang partisipasi seluruh kelompok masyarakat untuk ikut terlibat dalam implementasi program RAPS dan mengawalnya agar program ini tepat sasaran dan tidak dijadikan “proyek bancakan” semata.

Tiba-tiba, muncul kabar adanya kebijakan Menko Perekonomian (Darmin Nasution) yang menunjuk WWF sebagai PMO sekretariat percepatan program Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial (RAPS). Ada apa ini?

“Ini benar-benar berita mengagetkan dan mencurigakan,” kata Imam dalam pernyataan tertulis yang dialamatkan kepada Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, Sabtu (21/10).

Pada awal dicanangkannya program RAPS, Imam melihat sendiri banyak aktivis sosial dan kalangan masyarakat antusias mendukung kebijakan yang dicanangkan Presiden Joko Widodo ini.

Kebijakan ini, betapapun tak mudah untuk diimplementasi dengan cepat, namun disambut dengan baik karena membawa misi mulia, yaitu untuk mempersempit ketimpangan sosial-ekonomi.

Imam menjelaskan bahwa kebijakan sebelumnya yang bias terhadap pola “state forestry” dan “capital forestry” akan dicoba diimbangi dengan “social forestry” yang lebih prorakyat miskin.

Dalam konteks itu, Imam mengaku selama ini juga bergembira membantu Teten sebagai rekan diskusi untuk membahas RAPS agar program ini menjadi gerakan “menyejahterakan rakyat” yang benar-benar dilaksanakan secara partisipatif, dan didukung masyarakat luas.

“Para aktivis, tokoh masyarakat dan akademisi yang peduli mulai bergerak membantu karena melihat niat baik ini,” ungkapnya.

Tapi sayang, program RAPS bakal diserahkan ke asing. Imam khawatir, ini terjadi gara-gara Menko Perekonomian atau jangan-jangan hanya kerjaan Sekretaris Menko Perekonomian Lukita Dinarsyah Tuwo yang kurang paham betapa sensitifnya masalah ini.

“Yang benar saja, masak WWF sebuah NGO internasional berperan menggantikan peran negara dalam urusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak,” tegasnya.

Imam Prasodjo memaparkan, mau ditaruh dimana peran serta masyarakat yang selama ini sudah susah payah mendukung dan menyumbangkan tenaga dan pikiran karena ingin memberikan sumbangsih pada negeri sendiri.

Masih menurut Imam, apakah Pemerintah atau bahkan bangsa ini rela kalau urusan semacam ini dialihkan peranan utamanya ke lembaga internasional yang notabene belum punya reputasi mengurus masalah seperti ini.

“Saya sendiri tak yakin pengurus inti WWF setuju dengan peran yang sedang dijalankan WWF. Saya menduga ini kerjaan oknum pimpinan WWF yang tak paham masalah,” tambah Imam.

Masih kata Imam, seburuk-buruknya negeri ini, dia berkeyakinan anak bangsa masih mampu mengurus program RAPS tanpa perlu memerankan atau mensubkontrakkan ke pihak luar. “Semoga Pak Jokowi segera turun tangan mengatasi masalah ini. Semoga para petinggi WWF “yang autentik” dan selama ini memiliki fikiran bijak segera turun tangan “menjewer” bawahannya yang gegabah mau menerima pekerjaan (yang menurut saya) bukan porsinya,” paparnya.

“Masih banyak aktivis sosial, kalangan ahli dari kampus, birokrat berdedikasi, atau putra-putri Indonesia sendiri yang bekerja di bawah bendera Indonesia, bersedia dan mampu menangani program RAPS ini. Mohon kebijakan ini segera dikoreksi,” tukasnya sambil menyampaikan permohonan maaf bila ada nada kalimat yang agak kesal.

“Saya benar benar kecewa dengan berita ini,” demikian Imam B. Prasodjo meminta Darmin Nasution dapat meninjau kebijakan ini. “Salam kesal,” tegasnya.

baca juga: Majalah MATRA cetak edisi terbaru, Oktober 2017

Tinggalkan Balasan