Intermezo, Jam Karet

Pepatah ‘biar lambat asal selamat’ pun diganti dengan ‘ siapa cepat dia dapat’.

MATRANEWS.id — Believe it or not, Swiss dan Jepang dua negara pengekspor jam terkenal di dunia konon mengalami kegagalan dalam penjualan di Indonesia.

Anda tahu sebabnya? Jam mereka selalu terlalu cepat jika dipakai di sini. Seharusnya, mereka tahu pertanyaan dan jawaban ini: jam berapa sekarang di Indonesia? Tepatnya kurang 30 menit.

Sungguh sayang, bahwa jam yang kita kenal kini adalah rekayasa ilmu pengetahuan Barat. Jam mekanik yang pertama dirakit tahun 1368 di Menara Katedral Salisbury, Inggris. Padahal, orang Mesirlah yang pertama kali membagi hari dalam dua puluh empat ‘jam’.

‘Jam’ tahun 2300 SM itu, berupa piringan raksasa yang besarnya luar biasa yang tak lain adalah langit. Orang Mesir Kuno, telah mengamati dua belas bintang yang muncul di langit tiap malamnya masing-masing dengan periode yang sama. Lalu, karena mereka percaya bahwa malan dan siang itu kembar, siang pun mereka bagi dalam dua belas ‘jam’.

Itulah ihwal kita mengenal dua puluh empat jam dalam sehari.

Pembagian enam puluh menit dalam satu jam. Dan, enam puluh detik dalam semenit, malah berasal dari Babilonia. Tapi, orang Romawi, lagi-lagi orang Romawi membawanya ke daratan Eropa. Dan, orang Barat, lagi-lagi orang Barat, yang mengembangkannya. Lahirlah jam yang kita kenal sekarang ini.

Jika orang Jawa yang membawa penemuan itu, bukan orang Romawi niscaya kita tahu kapan tepatnya peluncuran palapa yang pertama (maksudnya sumpah palapa). Tapi jika orang Romawi membawa pembagian waktu dari Jawa, bukan dari Mesir, dunia akan mengenal ribuan jam dalam sehari!

Sementara orang Mesir, hanya mengamati dua belas bintang di langit. Orang Jawa, berhasil mengamati ribuan bintang, bukan?

Ini memang masalah aturan. Dan aturan, adalah masalah keperluan manusia yang berbeda satu yang lain. Ahmad Albar, seorang seniman musik Indonesia, dalam sebuah lagunya pernah menyatakan: dunia ini panggung sandiwara.

Saya lebih setuju jika dunia ini disebut sepak bola. Soalnya, dalam sandiwara, seseorang membuat aturan, yang lain mematuhi. Dalam sepak bola, satu pihak membuat aturan sendiri. Sisanya yang tidak bermain menonton dan berkelahi sendiri. Tetapi, yang pasti peraturan itu selalu ada.

Manusia memang mencintai aturan (sebab dengan begitu, mereka punya alasan untuk melanggar. Dengan melanggar, mereka punya alasan untuk menghukum. Dan untuk menghukum, mereka punya alasan untuk berkuasa).

Manusia, bahkan percaya bahwa kehidupan lahir bersama aturan, yaitu hukum alam. Di Eropa, sejak Yunani Kuno hingga abad pertengahan, repotnya, tak ada yang tahu persis bunyi hukum alam itu! (kalaupun ada kitab Undang-undang hukum alam, tak akan ada yang mempercayainya).

Alam memang sudah teratur. Begitupun waktu. Ada gelap, kemudian ada terang kemudian muncul lagi gelap, dan seterusnya. Tetapi, akan sering kali tidak memberi batasan. Dia muncul dalan gradasi. Siapa yang tahu persis di mana batas antara terang dan gelap. Yang ada, di alam cuma siklus, yaitu keteraturan dan kesinambungan tadi.

Manusialah yang mengkotakkan dan memotong-motong lingkaran itu. Lalu ia memberi nama setiap potongan berdasarkan keperluannya. Potongan besar, misalnya, dinamakan tahun yang terdiri dari potongan-potongan bulan. Potongan bulan terdiri dari potongan-potongan hari. Potongan hari terdiri dari potongan-potongan jam dan seterusnya.

Di negara orang Barat ada empat musim, karena siklus alam mereka dipengaruhi matahari. Orang Arab negara gurun membuat kalender berdasarkan bulan, karena mereka tak punya empat musim matahari. Lalu, kenapa kalender resmi Indonesia berdasarkan perhitungan matahari? Sebab, cukup perlukah membuat kalender berdasarkan musim buah-buahan?

Sayangnya memang ada budaya yang mendominasi dunia dan merasa berhak menilai budaya yang lain. Di mata Barat, bangsa kulit berwarna konon terkenal malas (padahal bagi kita,orang Baratlah yang terlalu rajin).

Ada sebuah anekdot usang yang mungkin pernah anda dengar : Seorang businessman Inggris yang workaholic terkejut melihat cara memancing orang melayu. Si melayu hanya berbaring-baring santai di tepi danau, sambil menunggui kailnya.

Dengan kesal, si Inggris menegur, “Jual saja kailmu dan belilah jala. Dengan jala kau bisa menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Ikan tersebut dapat kau jual dan uangnya dapat kau gunakan untuk membayar orang menangkap ikan untukmu. Setelah itu kau dapat beristirahat. “Untuk apa susah-susah?” sahut si Melayu, “Bukankah sekarang saya sedang beristirahat?”

Anekdot di atas tanpa memberi penilaian menggambarkan bahwa si kulit berwarna mempunyai kepentingan yang berbeda dengan si kulit putih. Sebetulnya, tujuan keduanya sama; dapat bersantai-santai. Hanya, mungkin penting bagi si kulit putih meraih benda di depan mata lewat jalan yang berliku-liku. Indonesia salah satu bangsa kulit berwarna terkenal dengan budaya jam karetnya. Beberapa orang menganggapnya buruk dan ingin menghapus keadaan itu. Tetapi mereka tidak tahu caranya.

Sebetulnya, jawab dulu pertanyaan berikut: mana yang betul, jam karet adalah budaya yang hidup dalam masyarakat kita, atau masyarakat kita yang hidup dalam budaya jam karet? Setelah itu baru tentukan mana yang harus dibasmi: jam karet atau masyarakat. Mungkin budaya jam karet kita tidak bisa dilepaskan dari sejarah (jangan lupa, Indonesia pernah menjadi pengekspor karet terbesar di dunia).

Tahukah Anda, kenapa orang-orang Indonesia biasa mengadakan pesta selametan selama tujuh hari tujuh malam? Sebab nenek moyang kita begitu sering ngaret sehingga pesta harus diulur sampai tujuh hari tujuh malam. Bukan hanya dari sejarah. Pandangan suatu budaya tentang waktu tercermin pula dari bahasanya.

Tersebutlah sepasang linguis dari awal abad 20 guru dan murid Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf. Keduanya mengemukakan begitu eratnya hubungan bahasa dengan kebudayaan.

Whorf, si murid, malah berani berkata bahwa bahasa menentukan kebudayaan! Berarti, cara bahasa membedakan waktupun membentuk persepsi masyarakatnya terhadap waktu.

Celakanya, beberapa ahli lalu berusaha menilai tingkat peradaban masyarakat dari bahasanya. Termasuk cara dari, cara bahasa memandang waktu. Bahasa yang mempunyai pembagian kala misalnya bahasa Inggris membedakan present, past, atau future tense dianggap cerminan kebudayaan yang lebih tinggi daripada yang tidak seperti bahasa Indonesia.

Orang-orang berbahasa semacam bahasa Inggris, Katanya, lebih menghargai waktu. Bahasa Indonesia pun menjadi biang kerok jam karet. Mungkin, mereka memang lebih menghargai waktu. Tapi perlukah kita menjadi mereka? Perlukah kita membuat pembagian kala dalam bahasa Indonesia? Kalau perlu, betapa menyedihkannya.

Anak sekolah tak bisa lagi mengelabui gurunya tanpa harus berbohong. Dulu, di sekolah saya bisa memberi alasan ini: “Pak, saya tak bisa ikut ujian kemarin. Nenek saya meninggal.”

Walaupun saya bolos karena ketiduran, saya tetap diberi ujian susulan tanpa harus berbohong (dan tanpa memberi alasan). Nenek saya memang meninggal dunia, tetapi sudah bertahun-tahun yang lalu. Kalimat saya tidak salah, bukan?

Artinya, yang kita perlukan belum tentu diperlukan orang lain. Orang Indonesia misalnya, hanya perlu mengenal nangka. Tetapi orang jawa harus tahu mana babal, gori, tewel, dan nangka semuanya adalah nama nangka. Kalau salah, gudeg Yogya pasti amburadul rasanya.

Para ahli yang berusaha mengkelaskan kebudayaan dari bentuk bahasanya termasuk cara bahasa memandang waktu akhirnya putus asa. Sapir pun berkata, “Kalau soal itu, Plato berjalan bersama gembala babi Makedonia, dan Confucius dengan pemburu kepala dari Assam.”

Maksudnya, setiap peraturan pada dasarnya mencukupi bagi masyarakatnya. Tak perlu dipertentangkan satu sama lain. Tanpa harus merasa berdosa, Orang Jawa yang ngutang boleh berjanji akan membayar mbesok untuk jangka waktu yang mulur seperti karet.

Sayangnya abad ini adalah abad digital yang dikuasai oleh arsiteknya, ilmu pengetahuan Barat, serta para pedagang yang menjualnya. Akibatnya jam karet sering dianggap barang yang tak berharga (jadi jangan coba-coba menjualnya, apalagi mengadaikanya).

Padahal, setidaknya dengan jam karet kita dilatih atau melatih lebih sabar menunggu. Tapi kesabaran semacam itu nampaknya sudah mulai usang, pepatah ‘biar lambat asal selamat’ pun diganti dengan ‘ siapa cepat dia dapat’. “Alon-alon asal kelakon, nggeremet-nggeremet asal selamat,” kata Ki Narto Sabdo menjadi ‘time is money’ kata J.F. Kennedy.

Kabarnya, para ahli terus meninjau ulang teori kecepatan cahaya, konon, jika seseorang bisa meluncur dengan kecepatan cahaya, ia akan menembus ruang dan waktu. Anda tahu siapa penemu teori itu?

Anda tahu siapa manusia yang berhasil membutikkanya? Dan Anda juga tahu siapa ilmuwan yang paling sial?

Jawaban ketiga-tiganya adalah Albert Einstein. Ia telah membuktikan bahwa kecepatan cahaya telah meluncurkan dirinya menembus ruang dan waktu (buktinya ilmuwan itu sudah tidak ada lagi didunia ini). Sialnya, ia tak tahu cara kembalinya.

Mana yang betul, jam karet adalah budaya yang hidup dalam masyarakat kita, atau masyarakat kita yang hidup dalam budaya jam karet?”

www.majalahmatra.com

 

Tinggalkan Balasan