MATRANEWS.id — Hampir semua anggota DPR langsung mengganti nomor telepon, begitu pasti duduk di Senayan (DPR RI, red). Bukan apa-apa, hanya sedikit di antara mereka yang tahan mendengar banjir keluhan dan permintaan bantuan dana dari konstituen di daerahnya masing-masing. Padahal, waktu kampanye, waduh, manisnya berjanji minta ampun.
“Sekarang kami lebih pintar, calon legislatif yang enggak modal, cuma janji-janji nanti begini dan begitu, sudah basi,” ujar Edi Winarto, aktivis pemuda Tangerang Selatan, yang sempat nyaleg.
Beragam distorsi terjadi dalam pemilu legislatif (pileg). Meminjam istilah dari Budayawan Ahmad Sobary, ia menyebut era sekarang ini adalah, “politik salon kecantikan”.
Ibarat Ilmu Kedokteran, para caleg mengubah diri tampil menarik ke daerah pemilihnya, sambil umbar kelebihan perubahan.
Kalau tidak sekarang, kapan lagi. Mereka seolah paling ngerti, dirinya bisa mewakili rakyat di situ. Istilahnya, melalui “operasi plastik”-nya mampu mengubah wajah fisikal manusia menjadi lebih baik, lebih cantik, dan lebih tampan.
14 Februari 2024 adalah pesta demokrasi. Kini, peserta pileg sudah curi start kampanye, karena mereka tertarik jumlah gaji dan tunjangan yang diterima oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi sorotan publik setelah Krisdayanti blak-blakan soal penghasilan yang ia terima sebagai wakil rakyat.
Dalam sebuah video yang ditayangkan akun YouTube Akbar Faizal Uncensored, penyanyi ternama itu mengaku menerima gaji pokok Rp 16 juta dan uang tunjangan Rp 59 juta setiap bulannya. “Setiap tanggal 1 (dapat) Rp 16 juta, tanggal 5 (dapat) Rp 59 juta, kalau enggak salah,” kata Krisdayanti yang merupakan anggota Komisi IX DPR.
Lantas, sebenarnya, berapa jumlah gaji dan tunjangan yang diterima oleh seorang anggota DPR? Baca juga: Formappi: Bagaimana Bisa Gaji DPR Sebesar Itu Kinerja Selalu Buruk Ketentuan soal gaji pokok anggota DPR diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2020 tentang Gaji Pokok Pimpinan Lembaga Teringgi/Tinggi Negara dan Anggota Lembaga Tinggi Negara.
Dalam beleid itu disebutkan bahwa gaji pokok anggota DPR sebesar Rp 4.200.000 setiap bulan. Gaji pokok bagi wakil ketua DPR dan ketua DPR tentu berbeda, wakil ketua DPR mendapatkan Rp 4.620.000 sebulan sedangkan ketua DPR menerima Rp 5.040.000 sebulan.
Selain gaji pokok, para wakil rakyat itu juga memperoleh beragam tunjangan sebagaimana diatur dalam dalam Surat Edaran Setjen DPR RI No.KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 tentang Gaji Pokok dan Tunjangan Anggota DPR RI.
Adapun ketetapan gaji anggota DPR RI diatur dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-520/MK.02/2015 tentang kenaikan indeks sejumlah tunjangan bagi anggota DPR. Tunjangan itu terbagi atas dua jenis, yakni tunjangan melekat dan tunjangan lain. Tunjangan melekat terdiri dari: – Tunjangan istri/suami Rp 420.000 – Tunjangan anak Rp 168.000 – Uang sidang/paket Rp 2.000.000 – Tunjangan jabatan Rp 9.700.000 – Tunjangan beras Rp 30.090 per jiwa – Tunjangan PPh Pasal 21 Rp 2.699.813
Sedangkan, tunjangan lain terdiri dari: – Tunjangan kehormatan Rp 5.580.000 – Tunjangan komunikasi Rp 15.554.000 – Tunjangan peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran Rp 3.750.000 – Bantuan listrik dan telepon Rp 7.700.000 – Asisten anggota Rp 2.250.000 Jika komponen diatas dijumlahkan semua, maka seorang anggota DPR dapat membawa pulang uang setidaknya sebesar Rp 54.051.903 setiap bulannya.
Angka tersebut bisa lebih besar apabila anggota tersebut menjabat sebagai wakil ketua atau ketua DPR. Sebab, seperti gaji pokok, tunjangan bagi pimpinan DPR juga lebih besar dibandingkan tunjangan bagi anggota biasa.
Uang harian daerah tingkat I (per hari) Rp 5.000.000 – Uang harian daerah tingkat II (per hari) Rp 4.000.000 – Uang representasi daerah tingkat I (per hari) Rp 4.000.000 – Uang representasi daerah tingkat II (per hari) Rp 3.000.000.
Selain itu, para anggota DPR juga menerima fasilitas berupa rumah jabatan yang terletak di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, dan Ulujami, Jakarta Barat serta anggaran pemelihraan rumah jabatan. Para wakil rakyat juga akan menerima pensiun sebesar 60 persen dari gaji anggota DPR (gaji pokok) atau sebesar Rp 2.520.000 per bulan
Meraih kekuasaan politik di lembaga politik, tak beda jauh, dengan yang punya uang pas-pasan, motivasinya ekonomi juga. Modal sekian, toh, nanti akan balik modal. Bicara perjuangan kepentingan publik, wah itu mah, seakan deretan akhir.
Jika ada 560 kursi yang diperebutkan mewakili di 77 daerah pemilihan di seluruh Indonesia. Sementara itu, yang berusaha mengejar jumlah kursi itu, ada sekitar 5.600 orang caleg dari 12 parpol. Caleg hanya berpikir, bagaimana caranya bisa tembus duduk mengisi lowongan di Senayan.
“Di kantor saja pelit, tidak mikirin karyawan. Mau jadi wakil rakyat? Cape deh…,” seorang karyawan memberi bocoran tentang kelakuan bosnya. “Saya kan, sudah pensiun, jadi ya kapan lagi mau mengabdi,” demikian jawaban dari para caleg mantan pejabat, seakan butuh dukungan.
Mereka tak segan keluar uang, asal jangan banyak-banyak, diencrit, untuk merawat suara konstituen. Basisnya, dana pribadi akan kembali setelah terpilih dan menjabat.
Seakan masuk di meja judi rolet, kontestan pileg harus pintar-pintar mengelola permintaan yang mengatasnamakan masyarakat, semisal, urusan membeli karpet masjid untuk menarik hati warga desa, atau ongkos menalangi perobatan konstituen.
“Wah, kalau tidak diseleksi, bisa jebol kita,” demikian komentar sang caleg yang ke sana kemari mengendarai Mercy dua pintu E 350 warna hitam.
****
Kemunculan fenomena pengusaha, pelawak, atau artis, tak bisa dipungkiri. Yang jelas, pemilik modal dalam pemilu menjadi hal yang lumrah ditemui dalam Pemilu Legislatif. Kebanyakan dari mereka memandang Pemilu adalah ajang kontestasi ketimbang kompetisi. Kekuataan modal memungkinkan mereka untuk terpilih.
Punya idealisme dengan tulus, kata para pengamat, sedikit merepotkan. Dalam sistem proporsional terbuka, suka atau tidak, yang menjadi dasar terpilihnya calon untuk menjadi anggota DPR RI dan DPRD adalah suara terbanyak.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pengujian pasal 214 UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengubah sistem Pemilu legisltatif dari sistem proporsional tertutup menjadi sistem proporsional terbuka.
Akibatnya, sistem proporsional terbuka tidak lagi melihat kapabilitas figur calon, tetapi asal mendapatkan suara terbanyak, maka dia yang berhak duduk menjadi wakil rakyat.
Bukan rumors, kebutuhan pemenangan caleg, setidaknya diperlukan dana mulai Rp 200 juta hingga Rp 6 miliar per orang.
Ini yang menyebabkan tergesernya aktivis partai oleh kalangan pengusaha atau saudagar yang punya pendanaan kuat. Kalau si aktivis atau kader partai maju, setiap caleg biasanya melakukan penggalangan dana (fundraising). Bahkan, tak jarang melibatkan pengusaha “hitam”.
Ini membuktikan bahwa orang yang mengandalkan idealisme saja pada akhirnya sering dikalahkan sama yang punya modal. “Banyak kejadian, orang yang tadinya idealis, begitu kenal duit langsung lupa dengan idealismenya,” ujar Effendy Ghazali, pengamat politik dari UI.
J Kristiadi, pengamat politik mendukung pendapat itu, besarnya tarif yang mesti dipenuhi dipastikan akan banyak membawa korban terhadap kader-kaeder partai politik yang berprestasi, loyal, dan berintegritas, karena tidak memiliki modal keuangan yang berlimpah.
Kader-kader politik seperti ini, akan mudah dikalahkan oleh para pemodal politik yang sangat mudah masuk melalui praktik politik transaksional. “Ini fenomena yang menonjol jika dipotret dari perspektif komunikasi politik, yakni berkembangnya industrialisasi politik, dengan pemanfaatan konsultan politik profesional,” ujarnya.
Ada seseorang yang mengeluarkan Rp 22 miliar untuk maju sebagai caleg.
Kenapa?
Karena salah satu konsultan saja, harus dibayar senilai Rp 18 miliar, dengan strategi khusus. Apakah karena ia seorang pengusaha yang masuk politik biasanya “dikerjai” karena tidak punya basis massa. Todongan ke mereka pun beragam namanya, bisa disebut biaya konsolidasi dan biaya saksi.
Seorang pengusaha, yang jarang berinteraksi dengan kelompok masyarakat, tentu harus mahfum, dengan aneka proposal. Ada saja, anggota pemuda, kelompok RT, atau satgas partai yang dengan janji macam-macam mengumbar punya kelompok massa, yang bisa bergerak ini dan itu, menggolkan.
Mengeluarkan biaya sosialisasi diri atau memperkenalkan kepada masyarakat menjadi lebih tinggi, karena pengusaha biasanya mengganti biaya transportasi orang yang datang. “Saya tak modal, hanya ditawari masuk karena perempuan di partai saya kurang,” seorang penyanyi berkomentar.
Menjadi catatan, hanya caleg yang kaya akan menang, caleg yang lemah kemampuan logistik dan finansialnya akan tersisihkan secara tidak adil dan fair. Maka, yang terwujud bukan demokrasi, tetapi plutokrasi, sistem politik di mana yang berkuasa adalah orang-orang kaya saja.
“Caleg itu, idealnya harus memiliki tiga 3C: character, competence, committed sebagai pilihan,” ujar pria berkacamata yang dikenal sebagai peneliti senior. Artinya, kesempatan bagi politisi-politisi yang serius bekerja, berbasis kinerja, tapi tidak banyak harta.
Effendy Gazali sebagai pengamat politik pun menilai, kini berkembang model kampanye yang lebih menekankan pada pencitraan ketimbang realitas, dimana rekayasa citra individu konstestan menjadi lebih penting daripada platform dan ideologi partai.
Termasuk, berkembangnya penggunaan sosial media dalam menyosialisasikan ide, gagasan, dan sikap para aktor politik.
Kepalsuan perilaku para tokoh politik pada saat ini mendominasi kehidupan politik kita setiap detik, setiap menit, setiap jam dalam hari-hari, dalam program iklan politik yang mengumbar kata-kata persuasif, klise, dan terkadang bohong, disertai foto orang-orang narsistik yang dipajang di mana-mana, namun tidak memberikan inspirasi apa-apa.
Seorang politikus partai mengakui, ada dua konsekuensi seseorang ketika memutuskan untuk berpolitik. Yang pertama, militansi seseorang di dalam konteks berpolitik tidak bergantung dari jumlah biaya yang dikeluarkan.
Yang kedua, jika seseorang mendapatkan dana, baik dana dari partai ataupun “bandar”, hal itu akan membuat caleg tidak independen di kemudian hari. Justru dia akan cenderung tidak mempunyai kebebasan bereksperimen dalam politik, “Sehingga dia akan menjadi seorang anggota legislatif yang terkesan suruhan. Tidak akan memiliki independensi dan kreativitas.”
Anggota KPU sih bicaranya idealis, UU Pemilu tidak mengatur pengeluaran dana kampanye untuk caleg. Karena itu, KPU berencana mengatur hal tersebut dalam aturan khusus. Berbeda dengan pengaturan dana kampanye parpol yang dilakukan secara eksplisit dalam UU Pemilu.
KPU diberi otoritas untuk mengawasi pelaksanaan kampanye, sehingga nanti ada PKPU mengenai dana kampanye. Mekanisme yang disiapkan, parpol berkewajiban untuk mencatat jumlah sumbangan. Daftar ini harus dibuka ke publik. Setelah itu, nanti akan ada audit.
“Setiap caleg memiliki rekening khusus, partai punya rekening khusus juga caleg untuk dana kampanye caleg,” ujar pengusaha MLM yang jadi kader Partai kemudian kapok menjadi caleg.
Top leader dari multi level marketing ini demikian optimis dengan jaringannya. Ia mengaku termasuk selektif dalam hal memberi bantuan, karena demikian pede bisa mengubah paradigma dan memberi imej yang baik buat DPR dan bisa berbuat untuk bangsa.
Gaya orasinya, layaknya motivator. Dana Rp 2 miliar sudah sengaja ia pisahkan dalam rekening pribadi untuk pembiayaan. “Untuk gorengan dan beli kopi, sudah menghabiskan Rp 200 juta,” ujar caleg dari salah satu partai yang mencanangkan politik bersih, ketika diwawancara di Castilla, BSD, Tangsel.
Dana yang dikeluarkan, sudah diirit tidak memenuhi banyak kader atau proposal satgas semacam proposal RT minta pembangunan lapangan atau fasilitas warga. Setiap caleg siap mengucurkan dana politik mulai ratusan juta hingga miliaran rupiah, agar memiliki pendukung sebanyak-banyaknya.
Yang jadi persoalan, pengetahuan dan keputusan dalam memilih masyarakat bukan lahir dari bertemunya harapan masyarakat, tetapi lebih karena peristiwa psikologis, bahkan transaksional. “Perang” antarcaleg pun tak terhindarkan. Ibarat perang terbuka. Manajemen keluarga, teman, alumni, apapun jaringan diperluas.
Informasi mengalir setelah bertanya ke sana kemari. Meski biaya kampanye secara umum semua parpol di daerah mendapat bantuan dari pusat, tapi untuk pengenalan pribadi kepada masyarakat, para Caleg harus mengeluarkan anggaran sendiri. Anggaran yang digunakan para caleg biasanya untuk pemasangan baliho, acara sosialisasi hingga souvenir untuk yang hadir.
Menurut hitungan kasar, biaya pembuatan kaos satu buah plus sablonnya sekitar Rp 25.000. Bila kaos itu berjumlah 3.000 biji anggarannya bisa mencapai sekitar Rp 75 juta. Biaya untuk pembelian alat peraga seperti kaos, spanduk, serta biaya pertemuan, menjadi standar.
Biaya pemasangan satu baliho rata-rata sekitar Rp 50.000. Bila baliho yang dipasang mencapai sekitar 1.000 baliho, maka yang dikeluarkan untuk biaya baliho saja sekitar Rp 50 juta. Kemudian, biaya sosialisasi lain seperti pembuatan stiker, konsumsi kegiatan pengenalan diri dan pengenalan program ke masyarakat biasanya bisa mencapai sekitar Rp 75 juta. Belum lagi, biaya untuk saksi.
Pasarannya, honor saksi adalah Rp 50 ribu–Rp 100 ribu. Setiap bakal calon legislatif (bacaleg) dibebani biaya Rp 1,5 juta untuk pengambilan formulir sebagai tanda bukti keseriusan. Selanjutnya, bila terjaring, maka konsekuensi lainnya adalah diwajibkan menyetor sejumlah uang lagi untuk kepentingan partai. Biaya wajib dibayarkan calon legislatif ke partai sebesar Rp 17,5 juta.
****
Menurut beberapa narasumber, biaya yang menyedot dana paling besar adalah untuk pengerahan massa. Sistem demokrasi saat ini, merupakan pemilihan langsung yang perlu modal.
Paling tidak, selain modal ekonomi sesuai kemampuan masing-masing, untuk kebutuhan alat peraga dan operasional tim sukses, juga dibutuhkan sekurang-kurangnya modal sosial dan modal politik.
Untuk itu, bagi caleg-caleg yang sudah terkenal seperti artis, ulama, dan tokoh masyarakat akan lebih diuntungkan dari sisi biaya. Karena kampanyenya tidak perlu terlalu ngoyo. Aktivis partai atau publik figur, mereka tidak perlu mengganti biaya transportasi orang yang datang.
Jika branding institusional parpol kuat, tidak terlalu besar keluar uang. Tapi kalau branding-nya agak lemah di daerah, bisa saja besar. Pemborosan lainnya, yaitu biaya transportasi saat melakukan kampanye. Artis yang nyaleg berujar duit Rp 350 juta dihabiskan untuk biaya perjalanan bolak-balik Jakarta-Sumut, sewa mobil di daerah pemilihan dan uang lelah bagi tim sukses.
Tidak ada biaya pengerahan massa. Biaya kampanye yang terbesar bukan pada pembuatan atribut partai (baliho, stiker, dll), namun ada pada pengerahan massa. “Waktu zaman saya, minimal per kepala Rp 50 ribu. Saya yang 100 ribu suara ini bisa dibayangkan kalau Rp 50 ribu per kepala, minimal Rp 5 miliar untuk massa saja,” ujarnya.
“Sering ke kondangan diminta nyanyi. Terus di acara turut berduka cita, biar enggak kenal juga yang penting datang dan kasih salam tempel. Terus bikin volly dan sepak bola antarkampung,” ujar pria ini tentang label artis yang melekat atau publik figur, sangat memudahkan untuk bersosialisasi dengan masyarakat.
Walau artis kesempatan untuk menjadi anggota legislatif cukup besar, tapi tetap saja membutuhkan dana minimum untuk konsolidasi, mendatangkan orang dan akomodasi. Tidak mungkin bisa terlaksana tanpa ada dana sepeser pun. “Sebagus apa pun nama calon itu, termasuk publik figur yang sudah terkenal sekalipun, juga masih harus mengeluarkan uang,” jelasnya.
Anggota MPR Bambang Soesatyo mengutarakan, tidak ada caleg yang bisa terpilih dengan hanya modal dengkul. Ia mengaku, mengeluarkan dana kampanye Rp1 miliar pada Pemilu 2009 lalu. Anggaran digunakan untuk akomodasi ke daerah pemilihan (dapil), logistik dan atribut kampanye, biaya bantuan sosial, biaya pengumpulan massa pada putaran terakhir masa kampanye, dan yang paling besar biaya untuk saksi di setiap tempat pemungutan suara (TPS).
Dia mengaku biaya untuk saksi ini dialokasikan sebesar Rp 50.000– Rp 100.000 per orang. Biasanya jumlah TPS di setiap dapil ada 5.000–10.000 TPS, sehingga bisa dibayangkan besaran biaya yang dikeluarkan caleg untuk saksi ini.
Jurnalis yang kini mewakili Partai di Jawa Tengah, punya strategi untuk menghemat biaya kampanye. Di antara strategi tersebut adalah pemetaan wilayah secara akurat. Setelah tahu pemetaannya, akan diketahui juga prioritas yang akan dilakukan.
Dengan data yang akurat, pria yang punya latar belakang konsultan politik dan riset ini mengaku, sudah bisa bergerak ke daerah yang jumlah dukungannya besar, misalnya, wilayah inilah yang akan menjadi prioritas kampanye.
“Kalau kita tidak tahu pemetaannya, pengeluaran akan membengkak,” kata sang caleg yang harus membangun jaringan tim setia yang bisa dipercaya. Jika tidak, caleg bersangkutan akan mengeluarkan biaya di luar dugaan. “Ya nanti seperti mengisi air dalam ember bocor,” katanya.
Strategi selanjutnya adalah setiap caleg tidak terpancing oleh manuver lawan. Ini juga menjadi pemicu pemborosan biaya kampanye. Selain itu, dia menekankan bahwa caleg harus memperkuat modal sosial di dapilnya. Hal ini dapat dilakukan dengan blusukan, tatap muka, dan interaksi langsung kepada konstituen.
“Biaya pasti ada lah, yang penting komitmen kita sebagai calon wakil mereka. Saya maksimalkan kerja pengorganisasian dan acara efektif lainnya,” kata Idris, pria yang mengaku menyiapkan dana kampanye dari mengais rejeki dari pekerjaannya sebagai profesional, dengan cara menabung. Karena, “Proposal menumpuk dari keperluan pribadi sampai ke masyarakat, banyak juga yang menawarkan diri jadi tim sukses, tapi ujungnya ya finansial.”
“Masuk kampung orang harus kulonuwun. Bahasa halusnya membayar saksi, ujar politisi yang mengaku harus keluarin pada tahun lalu yakni Rp 3 miliar.
Dalam perhitungan Adian Napitupulu, seorang caleg memang harus menyiapkan uang Rp 3 miliar dengan target lolos ke Senayan. Setiap ke daerah dan berdiskusi dengan masyarakat, tentu tak mungkin tanpa ada sedikit minuman dan makanan ringan. “Bagaimana kita mampu datangi mereka kalau kita tidak punya uang,” ujar mantan aktivis 1998 itu.
****
Sejumlah sumber menyebut, selain biaya kampanye, para caleg juga harus memberi mahar kepada parpol pengusungnya. Kalau nggak ngasih, bisa tidak masuk daftar caleg. Nilai mahar ini pun bisa tinggi sekali, mencapai miliaran rupiah tergantung untuk partai besar atau partai baru.
Untuk partai besar semacam Golkar, jangan harap bisa menjadi anggota Dewan jika hanya bermodalkan semangat. Kecakapan intelektual, kesehatan dan yang lebih penting adalah kemampuan materi. Menurut sumber, seorang caleg di Jawa perlu Rp 1 miliar, dan di luar Jawa 1,5 miliar.
Sebagai mantan aktivis punya kelebihan mengorganisir massa dibandingkan dengan calon lain. Tapi, disadari aktivis partai atau aktivis kemasyarakatan akan kalah dengan orang yang sudah cukup dikenal luas.
Cara efektif lain, adalah membuat kalender kemitraan dengan sesama caleg dengan nomor urut sama di berbeda tingkatan juga akan mengurangi pembiayaan. Misalnya caleg DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota bekerja sama membuat kalender.
Di kalender, fotonya ada bertiga. Sehingga, modal yang katanya untuk menjadi kandidat DPRD tingkat II (kabupaten/kota) sudah harus siap Rp 300 juta, bisa turun.
BACA JUGA: Aroma Klenik di Pentas Politik Kita
Biaya politik pemilu itu mahal memang sudah disadari para caleg. Konsekuensi rekrutmen caleg membutuhkan biaya besar, karena biaya pemilu partai juga besar. Setiap caleg bisa memberikan kontribusi kepada partai. Jadi, tidak asal modal dengkul saja mendaftarkan sebagai Caleg.
Karena politik demokrasi ini sudah liberal. Mau atau tidak mau politik itu membutuhkan biaya. Pembiayaan caleg oleh Harry Tanoe. “Soal jumlah itu urusan dalam, tidak etis kalau diumumkan. Kalau terlalu banyak nanti dibilang sombong, kalau sedikit nanti dibilang melarat.”
Di tengah operasi dan kerja politik yang terjadi, banyak juga caleg yang santai-santai saja menunggu tanggal pemilihan. “Saya menunggu tsunami politik saja,” kata seorang kandidat partai, yang memakai strategi aktif menggelar sepak bola dan voli antarkampung, termasuk hadir di pengajian dan bakti sosial.
“Ah nggak juga,” ujar beberapa caleg menanggapi biaya dana minimal standar yang dicadangkan sekitar antara Rp 600 juta hingga satu miliar.
Dari 12 partai yang ikut pemilu, ternyata, punya aturan tersendiri, mana caleg yang boleh ikut pemilu atau tidak. Apalagi, tuntutan konstitusi UUD 1945 hanya, pemilu harus berlangsung secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Efeknya, masyarakat umum lebih menunggu “serangan fajar” daripada membahas caleg yang ditengarai bermasalah, dari mengacuhkan konstituen, hingga tersangkut masalah hukum. Tak menarik lagi, membicarakan caleg yang gunakan ijazah palsu, asusila, penyerobotan tanah, pindah partai belum melapor atau pernah melakukan tindak pidana dan narapidana.
Mengutip pepatah Skotlandia, lebih baik menyalakan lilin-lilin kecil ketimbang hanya menyumpahi kegelapan.(*)