Ekonomi, IT  

Investor Mulai Pilih Kuda Zebra?

Beberapa bulan terakhir nilai saham Uber dan Lyft anjlok dikarenakan kembali gagal memenuhi harapan investor.

Uber, sebagai pelopor ride-hailing yang diikuti oleh Gojek dan Grab, nilai sahamnya turun 30 persen lebih rendah dari harga saham perdananya.

WeWork, yang didanai oleh Softbank (yang juga investor besar Uber, Grab dan Tokopedia), memangkas valuasi hingga 450 trilyun rupiah (70 persen lebih rendah dari valuasi sebelumnya), dan terpaksa menunda jadwal IPO.

Terakhir OYO, sebuah startup serupa Airbnb dari India, yang lagi-lagi didanai oleh Softbank, dicurigai oleh beberapa analis melakukan praktik russian-doll ponzi game, karena memiiki valuasi yang fantastis dan tidak wajar.

Di Tanah Air, Bukalapak juga diterpa issue kesulitan pendanaan. Mereka kemudian menepisnya dan mengatakan bahwa mereka sedang melakukan reorientasi bisnis agar bisa mulai menurunkan angka kerugian.

Semua berita tersebut bukan berita buruk.

Bagi saya, itu merupakan berita baik. Reality bites, bahwa walaupun pahit, itu semua akan mendorong kesadaran investor untuk kembali kepada hakikat bisnis yang sebenarnya: mencetak profit.

Istilah Unicorn pertama kali populer saat terjadi dotcom crash di awal tahun 2000. It was not a compliment. Unicorn was (and maybe is an insult.

Itu merupakan sebutan bagi perusahaan yang mendambakan keuntungan yang fantastis, yang ditunggangi oleh investor-investor serakah dengan cara menggelembungkan nilai perusahaan.

Hal ini, nampaknya kembali terulang. Dalam 10 tahun terakhir banyak startup-startup yang telah berhasil melakukan inovasi dan melakukan disrupsi bisnis atau melahirkan bisnis baru.

Namun lagi lagi, banyak investor kembali menungganginya dengan cara-cara yang jauh dari etika. Mereka umumnya membungkus sebuah inovasi dengan argumen-argumen sebagai berikut.

.

1. Customer is an asset. Tidak ada yang salah dengan ini. Customer memang dapat dilihat sebagai layaknya sebuah inventory.

Mulai dari mengakuisisi customer baru (dianggap seperti raw  material  dalam inventory) hingga me-retain customer untuk loyal (seperti finished goods dalam inventory).

Ujungnya, seluruh biaya yang digunakan untuk mendapatkan dan mempertahankan customer, termasuk biaya diskon besar-besaran, dapat dicatatkan sebagai investment, bukan expense.

Yang jadi pertanyaan adalah: apabila customer dengan mudah hilang dalam hitungan detik karena perang diskon, sampai batas mana uang yang telah dihabiskan tersebut masih layak disebut sebagai investasi?

Apakah teknologi dan inovasi benar-benar dapat menjamin customer tersebut tidak hilang?

2. Growth at all cost. Ukuran sukses paling utama yang diamini oleh seluruh ekosistem startup (founder, investor, mentor, dan bahkan regulator) adalah growth pertambahan pengguna.

Hal ini, serupa dengan traffic growth saat awal-awal bisnis Internet tahun 90an. Dengan “ideologi” ini, investor menjadi raja yang mengendalikan sebuah startup.

Kalau tidak terus disuntikan dana, startup akan mati. Atau customer segera hilang dicuri oleh kompetitor, yang bisa jadi juga didanai oleh investor yang sama.

3. Market Domination. Investor selalu terobsesi dengan sebuah bisnis yang tidak memiliki pesaing.

Era ekonomi digital telah memberikan beberapa peluang inovasi yang memungkinkan hal ini, karena dapat melahirkan bisnis yang benar-benar baru, atau mendisrupsi bisnis yang ada, atau memonopoli ekosistem bisnis.

Namun pada praktiknya, dominasi pasar dan disrupsi bisnis banyak dilakukan dengan cara menghancurkan pasar melalui kekuatan modal yang disuntikan oleh investor.

Hal ini, berbeda dengan Microsoft dan Apple misalnya. Kekuatan modal mereka untuk makin menguasai pasar didapatkan dari keuntungan perusahaan.

Model bisnis mereka sedari awal adalah untuk membukukan keuntungan dari setiap barang yang dijual.

Semua argumen tersebut, oleh founder startup, investor dan mentor, dibungkus dalam sebuah story telling yang hebat.

Inovasi teknologi diceritakan terkadang melebihi kemampuan me-generate value yang sebenarnya.

Jumlah penduduk Indonesia yang 260 juta lebih digadang-gadang sebagai market yang addressable, padahal tidak semua populasi membutuhkan produk yang dijual.

Network effect yang ringkih dikisahkan memiliki defensibility yang kuat. Istilah super-apps dihembuskan dengan mengeneralisasi tuntutan industri yang berbeda-beda.

Expansi ke pasar regional dilakukan untuk terus mendapatkan growth story, walaupun sebenarnya produknya dibangun spesifik untuk kebutuhan lokal.

Kemudian, story telling ini diperkuat dengan merekrut advisor dan komisaris yang memiliki reputasi hebat, yang sebenarnya tidak banyak kerjaannya.

Lalu, bagaimanakah seharusnya investor yang baik dan benar?

Jawabannya adalah: investor yang rajin mencari dan menelaah proposal dari startup yang benar-benar solid, dan jujur melihat kekuatan dan kelemahan startup yang didanainya.

Investor harus memberikan perhatian lebih pada startup yang didirikan oleh founder yang berpengalaman dalam industri vertikal.

Tanpa founder yang berpengalaman di industrinya, keberhasilan suatu investasi akan sangat bergantung pada nasib.

Sebuah riset memaparkan bahwa usia rata-rata founder startup sukses memiliki umur 42 tahun. Hal ini menyiratkan bahwa pengalaman founder menjadi hal yang sangat kritikal.

Investor juga perlu melakukan review terhadap metric-metric yang dipakai dalam menilai sebuah proposal. Tidak semua metrik ala sillicon valley bisa diterapkan untuk semua model bisnis dan sektor industri yang beragam.

Dan, yang paling ideal adalah: carilah startup yang sedari awal sudah menetapkan profit margin dari selisih harga jual dengan biayanya.

Bukan yang mejanjikan margin setelah melakukan dominasi pasar yang mensyaratkan investasi (bakar duit) besar-besaran.

Startup yang baru bisa mendapatkan keuntungan setelah melakukan dominasi pasar menunjukkan adanya broken business model.

Startup seperti itu hidupnya akan sangat tergantung dari fase investasi yang satu ke fase investasi berikutnya. Istilah kasarnya: hoping for the the next idiot to come in the last investment round.

Prediksi saya, apabila tidak ada perubahan sikap dari seluruh ekosistem ekonomi digital, economic bubble dapat meletus dalam 2-3 tahun mendatang.

 

Di Indonesia akan ada unicorn yang tumbang. Akan ada banyak startup yang gagal berkembang. Program 1.000 startup bisa jadi menghasilkan ratusan founder startup yang gagal dan frustrasi.

Akan banyak uang investor baik privat maupun publik yang terbuang percuma.

Bagi investor lokal kebanyakan, akan sulit menjangkau skala investasi karena valuasi startup idaman sudah digelembungkan secara fantastis oleh investor asing. Investor lokal hanya menjadi pengikut minoritas.

Ini adalah saat yang tepat bagi investor Indonesia untuk memainkan game yang bebeda dengan pengetahuan lapangan dan jaringan lokal-nya.

Investor Indonesia harus bekerja lebih keras dan merubah selera untuk berinvestasi pada kuda zebra yang nyata ada, yang warna hitam-putihnya terlihat jelas. Jangan menggantungkan harapan mendapatkan Unicorn yang merupakan produk mitologi dari luar.

“Growth for the sake of growth is the ideology of the cancer cell.” – Edward Abbey.

baca juga: majalah Matra edisi cetak — klik ini

 

 

Tinggalkan Balasan