Hukum  

Ketua WP KPK Bereaksi Terhadap Tuntutan Jaksa Atas Penganiayaan Novel Baswedan

MATRANEWS.id —  Novel Baswedan disiram air keras oleh dua pengendara motor pada 11 April 2017 seusai shalat subuh di Masjid Al-Ihsan dekat rumahnya.

Saat itu, Novel Baswedan telah selesai menunaikan salat Subuh berjemaah di Masjid Al Ihsan, yang jaraknya sekitar empat rumah dari kediaman Novel, Jl Deposito I Nomor 8, RT 03 RW 10, Pegangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Pada pukul 05.10 WIB, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu meninggalkan masjid untuk pulang.  Tiba-tiba,  terdengar Novel berteriak. Novel seperti kesakitan, karena disiram air keras oleh orang tak dikenal.

Dia langsung dibawa ke Rumah Sakit (RS) Mitra Keluarga usai peristiwa itu. Perawatan Novel kemudian dipindah ke RS Jakarta Eye Center, Menteng, pada hari yang sama.

Mata Novel mengalami kerusakan sehingga ia harus menjalani perawatan di Singapura sejak 12 April 2017.

Setelah diburu lama, polisi akhirnya sukses dan berhasil menangkap tersangka.  Pada Kamis (26/12) malam. Itu berarti,  teror Novel ditangkap usai peristiwa penyiraman tersebut berusia 989 hari.

Tepatnya pada 26 Desember 2019. Siapa sangka, oknum penyiram itu ternyata dua polisi aktif.   Berinisial RB dan RM.

Kini,  RB dan RM  memasuki tahap sidang. Dan, dua orang terdakwa penyerang Baswedan itu  dituntut satu tahun penjara, oleh Jaksa Penuntut Umum. Ini yang lagi diperbicangkan.

Pasalnya, yang bersangkutan terbukti melakukan penganiayaan terencana yang mengakibatkan luka-luka berat.  Tapi,  Jaksa penutut umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Utara, Ahmad Fatoni, justru bersikap lain.

Di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Kamis (11/6),  JPU melancarkan tuntutan berdasarkan dakwaan pasal 353 ayat (2) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) menilai, tuntutan rendah terhadap dua terdakwa penyerang Novel Baswedan dikhawatirkan berimplikasi buruk di masa mendatang. Hal itu, bisa membuat jalannya kerja pemberantasan korupsi terganggu.

Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap menyebut ketiga implikasi itu, pertama, berdampak pada tidak terlindunginya kerja pemberantasan korupsi.

“Tuntutan rendah ini akan membuat para peneror yang mempunyai maksud untuk mengganggu pemberantasan korupsi tidak merasakan rasa takut untuk menduplikasi atau bahkan mengulangi perbuatan teror terhadap pegawai bahkan pimpinan KPK,” ucap Ketua WP KPK Yudi Purnomo Harahap.

Penyerangan terhadap Novel Baswedan, lanjutnya, bukan merupakan penyerangan terhadap individu tetapi serangan terhadap penyidik KPK yang diberikan amanah oleh negara dalam menjalankan fungsinya secara independen. “Untuk itu, segala serangan tersebut harus dilihat dalam konteks serangan terhadap kerja pemberantasan korupsi sehingga harus ditangani secara serius,” ujarnya.

Bahkan, katanya, dalam laporan yang dibuat oleh Tim Pemantau Kasus Novel Baswedan yang dibentuk Komnas HAM, secara tegas disebutkan bahwa serangan tersebut tidak terlepas dari pekerjaan yang dilakukan oleh Novel Baswedan. Kedua, ia menilai tuntutan rendah itu berdampak pada tidak terpenuhinya jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan pengabaian hasil temuan institusi resmi negara.

Proses penyerangan terhadap Novel Baswedan memiliki dimensi perlindungan HAM dengan adanya penetapan Novel Baswedan sebagai human right defender oleh Komnas HAM dalam laporannya. “Terlebih, pada proses penegakan hukum, laporan Komnas HAM tidak ditampilkan secara utuh dalam proses pembuktian persidangan,” kata Yudi.

Ketiga, ia juga mengatakan tuntutan rendah tersebut juga berdampak pada tidak dimintakan pertanggungjawaban pelaku intelektual penyerang Novel Baswedan.

Laporan Komnas HAM, kata dia, secara tegas menyinggung mengenai serangan yang dilakukan terhadap Novel Baswedan merupakan tindakan yang direncanakan dan sistematis yang melibatkan bebrapa pihak yang belum terungkap.

“Tindakan tersebut diduga melibatkan pihak-pihak yang berperan sebagai perencana, pengintai, dan pelaku kekerasan. Persidangan yang tidak membuka arah serangan sistematis dan rendahnya hukuman berpotensi membuat pelaku intelektual tidak dimintakan pertanggungjawaban,” kata Yudi.

Novel juga dulu sempat mendapat serangan buzzer politik terhadap KPK.

Soal kelompok polisi Taliban dan polisi India, Novel Baswedan menyebut skenario itu sengaja dibuat oleh oknum atau orang tentu untuk memecah belah internal KPK.

Novel disebut-sebut salah satu yang disebut sebagai kelompok polisi Taliban. Salah satu foto yang sering digunakan untuk membingkai Novel sebagai orang yang dekat dengan kelompok radikal adalah fotonya bersama dua perempuan menggunakan niqab.

Ada pula foto Yudi Purnomo ketua WP KPK misalnya, disebar dalam bentuk meme dengan ditambahi tulisan “Inikah Taliban di KPK? Yudi Purnomo Ketua WP KPK, Jidat Hitam, Jenggotan (Sekarang Dicukur) Dipanggil ‘Antum’” .

Istilah polisi India yang sebenarnya justru lekat pada polisi yang pemalas, lambat dan korup. Sebaliknya istilah Taliban justru melekat pada kelompok yang sedang berjuang.

baca juga: https://ebooks.gramedia.com/id/majalah/matra-indonesia/sep-2017

baca juga: wawancara ekslusif majalah Matra Indonesia

Tinggalkan Balasan