Budaya  

Kongres Kebudayaan Bali III

MATRANEWS.id– Bali — Kongres Kebudayaan Bali III yang berlangsung di Gedung Wiswa Sabha Denpasar, sejak tanggal 3 hingga 4 Desember 2018.

Dibuka resmi oleh Gubernur Bali I Wayan Koster dan dihadiri juga oleh Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid. Selain itu, juga dihadiri oleh para budayawan, seniman, intelektual, agamawan, dan lain sebagainya dari sembilan kabupaten/kota yang ada di Bali.

Kongres ini menghasilkan rancangan Pola Dasar Kebijakan Pemajuan Kebudayaan Bali (PDKPKB) 2018 – 2038.

Kepala Dinas Kebudayaan Propinsi Bali Dewa Putu Beratha, pada kesempatan itu menjelaskan, bahwa kongres ini bertujuan “mepetakan” potensi dan kondisi faktual kebudayaan masing-masing kabupaten/kota, serta merangkumnya dalam pokok-pokok pikiran kebudayaan yang dipaparkan pada konggres tersebut.

“Kongres yang memiliki payung hukum, yakni UU no 5 tahun 2017 ini tepat dilaksanakan sekarang, karena menjelang Kongres Kebudayaan Nasional pada 7-9 Desember 2018.”, tutur Beratha.

Pada kongres ini, Dewa Beratha menambahkan, penyusunan pokok-pokok pemikiran masing-masing kabupaten/kota tersebut kemudian akan dikompilasi menjadi pokok-pokok pemikiran kebudayaan Bali.

Hal itu akan menjadi kebijakan kebudayaan dalam rencana pembangunan jangkan menengan 2019 – 2023. “Kebijakan kebudayaan tersebut, paralel dengan visi misi Gubernur Bali Wayan Koster, yakni Nangun Sat Kerthi Loka Bali di bidang kebudayaan. Implementasinya, adalah kegiatan-kegiatan kebudayaan tiap tahunnya, Dewa Beratha memaparkan.

Gubernur Bali I Wayan Koster, Pada Kongres Kebudayaan Bali III itu mengatakan, bahwa di bidang kebudayaan, Bali memang memiliki keunggulan dari beberapa daerah yang ada di Indonesia.

Hal itu, tambah sang Gubernur, karena memang masyarakat Bali adalah sumber daya budaya itu sendiri.

Oleh karenanya, tambah Koster, secara otomatis kebudayaan yang ada akan terus hidup dan dilestarikan oleh masyarakatnya. Ini telah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu.

Adalah merupakan keuntungan tersendiri bahwa Bali memiliki sumber daya budaya. Bali, kata Koster, tidak memiliki sumber daya alam. Kekayaan sumber daya budaya berbeda dengan kekayaan sumber daya alam.

Sumber daya alam, tambah Koster, ada yang bisa diperbaharui ada pula yang tak bisa diperbaharui, dan dampak terhadap lingkungan tak dapat dihindarkan. Memang, Eksploitasi sumber daya alam sebagai salah satu sumber pendapatan acapkali, menimbulkan dampak lingkungan yang tidak sederhana.

Selain itu, ketergantungan harga terhadap pasar global juga menjadi masalah tersendiri. Jadi, jika dibandingkan dengan kekayaan sumber daya alam, maka kekayaan sumber daya budaya lebih bersifat langgeng dan tidak akan pernah habis selama manusianya masih menghuni ruang yang ada.

“Kendatipun demikian, tetap dibutuhkan perawatan. Sebab, setiap eksploitasi pasti ada yang dikorbankan,” tutur antropolog Bali, Ign Darmawan.

Soal perawatan terhadap kebudayaan seperti yang diingatkan antropolog Darmawan, sudah termaktub pada visi misi dan program pembangunan Bali oleh gubernur Koster, yakni : ‘Nangun Sat Kerthi Loka Bali’ yang mempunyai arti menjaga kesucian dan keharmonisan alam Bali dan isinya.

Kebudayaan Bali, tak akan berhenti melainkan akan terus berkembang mengikuti jamannya, selama manusia Bali masih ada.

“Jadi, kekayaan sumber daya budaya Bali tak pernah habis. Karena ia ada di ‘Mind’, ada di pikiran, ada di dalam kepala dan jiwa masyarakat Bali,” Gubenur Koster menjelaskan.

Selain itu, produk budaya masyarakat Bali juga tercatat di buku-buku, ada tersimpan galeri maupun di museum, ada di perguruan tinggi. Intinya, ada dimana-mana. “Tak bisa dicongkel maupun di cangkul. Ia abadi dan terus berkembang sesuai jamannya,” ujar Koster.

Mengenai dinamika budaya tersebut, Ign Darmawan setuju bahwa kebudayaan semacam ‘organisme’ yang hidup di ruang masyarakat, dan menjadi identitas masyarakat yang bersangkutan.

“Kebudayaan Bali ini dinamis dan lentur dalam pertumbuhannya mengikuti perkembangan jaman,” kata Darmawan.

Maka, Darmawan menjelaskan soal perawatannya menjadi penting. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, pihak swasta dan masyarakat seluruhnya punya tanggung jawab moril atas hal ini. Semua pihak perlu bertanggung jawab.

Masih menurut IGN Darmawan, sebab produk budaya tak hanya semata produk kesenian, bangunan, struktur sosial, dan lain sebagainya. Sebab, intinya manusia sebagai subyek. Selain itu, perlu jadi catatan, potensi pariwisata di Bali tidak hanya alam atau keindahan hotelnya saja, melainkan juga kebudayaannya.

Selanjutnya, tim perumus Kongres Kebudayaan Bali III yang diketuai Prof Dr I Gede Arya Sugiartha M.Hum merumuskan bahwa kebudayaan Bali merupakan tata kehidupan ‘Krama Bali’ (masyarakat Bali).

Tata kehidupan tersebut memiliki tiga unsur utama, yakni ; ‘Krama Bali’, Alam Bali, dan Kebudayaan Bali.

Alam Bali, merupakan entitas terintegrasi antara daratan, pegunungan, pesisir danau, pesisir laut, dan kepulauan. Entitas geografis, demografis dan ekologis tersebut menuntut adaptasi tata kehidupan ‘krama Bali’ yang mendiami wilayah-wilayah itu dengan membentuk kebudayaan yang khas.

Atas dasar pertimbangan itu, Kongres kebudayaan Bali III mengajukan pembacaan atas peta kebudayaan Bali tak hanya berdasar satuan obyek kebudayaan, tetapi juga karakteristik geografis, ekologis, dan demografis suatu wilayah.

“Sehingga bisa kita pahami kebudayaan Bali secara holistik – baik itu kebudayaan pesisir, kebudayaan dusun, dan kebudayaan pegunungan.”, ujar Dr Kun Adnyana, sekretaris tim perumus.

Kongres sudah usai, perencanaan program pemajuan kebudayaan Bali sudah dirancang dan akan dituangkan pada PDKPKB 2018-2038. Ada baiknya kembali mengingkat pendapat mantan gubernur Bali Prof Dr Ida Bagus Mantra, bahwa ; Kebudayaan adalah benteng terakhir sebuah bangsa.

#Hartanto

baca juga: majalah MATRA cetak (print) terbaru — klik ini

Tinggalkan Balasan