Launching Buku Ria Pasaman Soal Tenun di Art Galery Semesta Lounge, 10 Agustus 2018

Memilih fotografi sebagai media rekam dari apa yang dilihatnya, laiknya intuisi seorang jurnalis.

MATRANEWS.id — Jadwalnya padat, “lompat” dari satu negara ke negara lain. Jalan dari desa di Indonesia, ke desa atau lokasi lain. Mempelajari tradisi sekaligus kenangan ketika di perjalanan. Matanya terus merekam dan terus merekam keindahan abadi di planet ini, menyumbangkan jejak kecil bagi dunia fotografi Indonesia.

Bagaikan seekor kupu-kupu nan lincah yang terbang ke sana ke mari, tanpa lelah. Terbang dan hinggap di atas bunga-bunga untuk melihat keindahan dunia. Ia menyadari betapa indahnya dunia di matanya. “Saya hanyalah seorang traveller, yang hobi fotografi,” ujar Ria Indriana Pasaman, seakan sedang mengklarifikasi.

“Saya bersyukur bisa jalan ke sana kemari, bukan hanya foto-foto, tapi juga mempelajari art-nya,” papar anggota Ikatan Wanita Pengusaha (IWAPI) Jakarta dan Lions Club Jakarta (LCJC) ini mengaku juga memotret tempat-tempat bersejarah hingga menjelajah pasar tradisional. Kamera menjadi teman sejatinya.

Ria sangat menyenangi travelling dan fotografi. Ada sekitar 50 negara dengan ratusan kota yang ia lihat, sentuh, rasakan. Termasuk mempelajari adat istiadat dari pelbagai negara yang dikunjunginya.

Ada berbagai jenis bunga disukai dari warna, wangi, hingga keunikan bentuk daun beserta putiknya yang menjadi obyek foto. Di rumah Ria Flowery — julukan yang melekat padanya — bahkan tumbuh subur bunga matahari dengan indahnya.

Kecintaannya terhadap bunga, luar biasa. Ia memang sengaja berhenti, jika ada obyek yang menggugahnya untuk dipotret. Seperti misalnya, kala ada himpunan bunga matahari yang merekah, di sebuah ladang yang luas sempat menjadi obyeknya ketika di Tuscany, Italia. Demikian juga saat pulang kampung ayahandanya di Barus, Sumatera Utara.

Tak hanya di luar negeri, di pelosok desa juga begitu. Sosok kelahiran Palembang, tepatnya tanggal 10 Maret 1964 ini, sudah sampai tahap selera dan cita rasa. Ia menikmati perjalanannya dengan tempo dan “ritme”-nya sendiri.

Hobinya memotret sudah sejak SMP, seperti halnya mengenal budaya khas tradisional Indonesia, saat dia menjadi penari tradisional Palembang dan Bali di masa kecilnya. Memilih fotografi sebagai media rekam dari apa yang dilihatnya, laiknya seorang intuisi seorang jurnalis.

Through The Flowery Eyes adalah buku fotografi pertama, yang terbit pas di hari ulang tahunnya ke 50 tahun. Berbeda dengan bukunya yang terbit pada 2014 lalu. Kali ini, Ria Pasaman memulai buku Rambu Naomi – The Spirit of Sumbanese Women Weavers dari zero.

Momen diciptakan, dirancang, dipersiapkan sebagai bagian dari sebuah proses, termasuk tokoh-tokohnya di dalam buku itu dipilih, apakah dirinya yang menjadi model, keluarga hingga moment insidental yang dijepret. Ada juga yang tak masuk dalam bukunya, tapi dijadikan gymick, pemikat soal tenun.

Sekitar tiga bulan diproses buku itu, pada akhirnya terbit pada 10 Agustus 2018 di Art – Galery Semesta & Lounge, Jalan Taman Sari I, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

A Photography Book about Sumba – Indonesia

Bukan buku tenun biasa yang diterbitkan. Perempuan yang selama 20 tahun ini banyak mengurus program anak asuh, berencana menyisihkan sebagian keuntungan dari penjualan buku tersebut, untuk disumbangkan, berkait lagi-lagi soal tenun.

Anggota IPPA (Indonesia Professional Photographer Association) ini mendeskripsikan lewat fotografi tak hanya siapa sosok Naomi. Dari seorang pengrajin, serta penjual yang berjasa untuk daerah-nya. Ada section tersendiri mengenai siapakah sosok Naomi, seorang penenun Sumba.

Pemilik usaha bidang pendidikan TK Doctor Rabbit yang telah 17 tahun di kawasan Telaga Golf, Cinere, Depok Jawa Barat ini seolah ingin meng-eksplore bagaimana kehidupan alam natural di sekeliling Naomi juga. Sekarang ia sibuk memanage sebuah art & galery Semesta Gallery’s di kawasan, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Bagaimana anak-anak penari Sumba sejak kecil sudah mengenakan kain tenun sebagai busana adat. Mereka dari kecil sudah mengenakan kain tenun.
Sumba dikenal memiliki tenun yang indah dan sarat makna. Hampir seluruh pengrajinnya adalah perempuan.

Rambu Naomi, seorang perempuan desa yang mampu bersikap professional, melestarikan tradisi, dan gigih berjuang untuk keluarga, akan menjadi salah satu referensi yang bermanfaat bagi generasi muda Indonesia agar selalu bersikap profesional agar dapat meraih sukses.

Ria terpesona dengan kesederhanaan Rambu Naomi. Namun ulet dan gigih membawa tenun dari daerah asalnya ke Jakarta untuk dapat meningkatkan kehidupannya. Meski berasal dari desa yang jauh dari ibukota negara, perempuan berusia 40 tahun ini memiliki sikap profesional. Ia selalu tepat waktu, bahkan datang paling pagi saat berpameran.

Karakter asli kehidupan wanita desa itulah yang kemudian menginspirasi Ria Pasaman untuk mengetahui lebih jauh bagaimana perjuangan Rambu Naomi menekuni profesi sebagai perajin tenun.

“Sikap positif yang dimiliki Rambu Naomi menggugah saya untuk mendokumentasikan dan menuliskan kisahnya ke dalam sebuah buku,” tutur Ria tentang memberi kesaksian kegigihan sosok Naomi mewarisi leluhurnya perajin tenun Sumba, mulai dari menenunnya sampai menjualnya sendiri ke luar desanya.

Menggunakan mata batin dan lensa kamera untuk menunjukkan bahwa perempuan dari desa pun mampu bersikap profesional, tak mudah mengeluh ataupun menyerah dengan keadaan, dan gigih berjuang untuk keluarganya.

Dalam buku dual language, bahasa Indonesia dan bahasa Inggris ini akan disebarkan ke berbagai Perpustakaan dan juga kantor Kedutaan Besar Indonesia di luar negeri.

Sosok yang punya ciri khas, dengan atribut fesyen, gaya berbusana nuansa bunga ini menulis stories, culture dan spirit dari tenun Sumba melalui sebuah buku. Bagaimana tenun ini bisa diaplikasikan dalam ragam momentum dan tidak ndeso, tapi keren.

Juga memotret hal-hal yang menyentuh “sisi lain” mengenai tenun Sumba, termasuk kehidupan wanita desa Watuhadang (kampung Pau Umabara) kecamatan Umalulu. Kabupaten Sumba Timur, Waingapu, NTT dengan latar belakang alam desanya.

Menghadirkan foto-foto artistik, memotret keindahan alam Sumba, pegunungan, ngarai yang indah dan hijaunya hamparan rumput dalam bukunya. Kuda-kuda yang secara alami berlarian dan memakan rumput.

Alumnus MBA dari Southern New Hampshire University Amerika ini bahkan punya pemikiran, membeli hasil-hasil tenun untuk diolah lagi menjadi ragam media seperti baju, topi atau hal-hal yang menjadi tenun bisa go-internasional dan bisa membantu ekonomi desa si penenun.

Ria sendiri, akan membawa buku soal tenun ini ke pelbagai perpustakaan di seluruh Indonesia. Ia pencetus ide membuat perpustakaan keliling yang dinamakan “Kotan Pasaman” Library, dari nama ayahnya yang wafat tahun lalu.

Yang pasti, kebiasaan unik dirinya, selalu menyisihkan bagasinya untuk membawa buku-buku untuk membawa sumbangan buku-buku dari teman dan sahabatnya itu ke daerah-daerah yang kekurangan suplai buku, perpustakaan minim bacaan untuk dihibahkan.

“Ada berapa buku lagi yang siap diluncurkan, menunggu momentum dan sponsor,” ujar Ria, dengan mimik jenaka.

Istri dari Jan Semesta ini mengaku terus terang sudah ada beberapa daerah yang meminta dirinya mengulas semacam kain tenun, songket kain tradisional dari berbagai daerah lainnya di Indonesia seperti Palembang tempat kelahirannya, Padang tempat asal suaminya, serta Aceh tempat asal ayahandanya. Termasuk kain dari Kalimantan Timur.

Tak hanya untuk dibahas, banyak juga koleksi kain-kain nusantara itu yang dipinjam untuk kontes atau pameran. Yang selama ini, koleksi pribadi Ria dari berbagai daerah Indonesia dan luar negeri disimpan di Gallery Cita Rumaningrat — nama dari almarhumah ibundanya yang sejak kecil menanamkan kecintaan Ria terhadap songket, tenun dan batik.

Sejatinya, untuk menerbitkan buku Rambu Naomi, “The Spirit of Sumbanese Women weavers” ia mengaku independen. Bahwa kemudian, Bank BNI serta beberapa lagi perusahaan bahkan sahabat dan rekan-rekannya mensuport. “Tidak direncanakan, kalau saya mau buat buku, sesuai momentum saja, ya bisa saja berkait ulang tahun RI ke 73,” ujarnya.

Ria mengaku bersyukur masih diberi nafas kehidupan yang sehat hingga kini. Selama ada kaki dijejakan, nafas yang masih ia hirup akan terus membuat momen-momen fotografi yang menginpispirasi, syukur-syukur bisa untuk kemajuan bangsa.

Putri Kotan Pasaman (alm) dan Rukmaningrat Wargakusumah (alm) ini merasa kebiasaan traveling dengan kamera menjadikan kebahagian, kenangan yang membekas indah. Saat perjalanan dimanapun, misalnya, sebisa mungkin memotret. Bahkan, fotonya mengambil “rongsokan” kereta bekas yang dia upload ke medsos, wow, menjadi viral.

Senang jalan-jalan sambil membawa kamera. Ia mengaku bukan pakar dalam foto. Walau mengerti fotografi dan setingnya. “Setiap memotret, saya tidak selalu memakai tripot, bahkan ketika mengejar Aurora di Iceland saya lupa membawa tripot,” katanya dengan tertawa.

“Saya memotret memakai hati dan perasaan saya,” ibu dari Fadi, Andra dan Afia ini membuka kiatnya, dengan sikap selalu optimis.

baca juga: majalah MATRA (cetak) print edisi terbaru – klik ini

Bersama kurator foto Triyudha Ichwan (Tuta)

Tinggalkan Balasan