- Pengamat militer Soleman B Ponto menegaskan, berdasarkan UU No 5 tahun 1983 penegakan hukum di wilayah ZEE adalah TNI AL.
Selama ini, banyak pihak yang tidak faham keberadaan Badan Keamanan Laut (Bakamla) namun sesumbar diberbagai media terkait fungsi Bakamla.
Mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) ini menegaskan, berdasarkan UU Nomor 32 tahun 2014, tidak ada yang menyatakan Bakamla sebagai penegak hukum atau penyidik.
Oleh karena itu, tugas Bakamla hanya muter-muter di laut saja.
Sementara untuk pertahanan sudah jelas ada TNI AL yang mengawal pertahanan dan kedaulatan NKRI di laut.
“Adanya Bakamla justru menambah ruwet di laut,” tegasnya menanggapi pernyataan anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi. Tentang persoalan kapal China di Perairan Natuna Utara disebabkan belum adanya payung hukum yang mengatur kekuatan Bakamla.
Sebelumnya, dalam sebuah program di sebuah televisi swasta, Jumat (17/9/2021) lalu, Anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi bicara persoalan kapal China di Perairan Natuna Utara.
Disebabkan belum adanya payung hukum yang mengatur kekuatan Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Oleh karena itu, Bobby menilai pengiriman KRI ke Natuna bukan untuk menilang atau menindaklanjuti sesuai proses hukum merupakan bentuk kegagapan yang disebabkan legislasi.
“Bakamla ibaratnya Polantas yang tidak bisa nilang. Kalau tidak bisa nilang bagaimana proses hukumnya, lagi-lagi TNI yang dikirim lagi dengan 5 kapal KRI ke Natuna. Ini kegagapan disebabkan tidak adanya legislasi mengenai siapa Coast Guard,” katanya.
Menurut Bobby legislasi soal Bakamla sebagai National Coast Guard atau Penjaga Pantai Nasional adalah sebuah upaya untuk tidak mengulang persoalan serupa.
Politikus Golkar ini juga menyebut jika selama ini China selalu menghadirkan National Coast Guard di laut lepas Indonesia, maka yang harusnya menghadapi adalah sama-sama National Coast Guard
Bakamla Bikin Kisruh dan Lembaga itu Sebaiknya Dilebur dengan KPLP saja?
Soleman menegaskan, Bakamla dibentuk oleh Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan.
Tidak ada satu pasal pun dalam Undang-undang itu yang menyatakan bahwa Bakamla dibentuk untuk menjadi Coast Guard. Oleh karena itu, jika ada yang menyebut Bakamla sebagai Coast Guard adalah palsu.
“Yang berhak menyandang identitas Coast Guard adalah Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP), mereka adalah Coast Guard-nya Indonesia sebagaimana yang tertulis pada Penjelasan Undang-undang nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran,” papar mantan perwira TNI AL itu.
Soleman memaparkan, Bakamla juga bukan Coast Guard. Karena petugas Coast Guard adalah sipil. Bakamla juga bukan seperti polisi yang bisa menilang jika ada pelanggaran seperti layaknya di darat.
Oleh karena itu, pengamat Maritim itu menilai pernyataan yang disampaikan Bobby Adhityo Rizaldi adalah penggiringan opini atau pembelaan seakan – akan yang dilakukan Bakamla adalah benar. Padahal, yang terjadi sebaliknya.
Bakamla Berdiri Berujung Korupsi?
Kalau kita search dengan kata kunci (keyword): Kasus Korupsi Bakamla, maka berderetlah kasus korupsi yang tersingkap dan menjadi jejak digital.
Soleman pun menduga, ada pihak-pihak yang membela Bakamla karena berharap sesuatu dari Bakamla.
Padahal selama Bakamla berdiri justru pengadaan peralatannya berujung korupsi, seperti pengadaan radar. Jika tetap dipertahankan maka yang menjadi korban tetap rakyat.
“Yang jadi korban rakyat, karena perairan Indonesia dianggap high risk yang pada akhirnya membuat biaya menjadi tinggi dan harga – harga barang menjadi mahal. Masyarakat yang menanggung kerugian,” paparnya.
Hal ini dibenarkan oleh pengamat maritim dari National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi.
“Sebagai wakil rakyat, harusnya Bobby memahami tentang hukum kelautan yang berlaku internasional,” ujarnya memaparkan juga, kenapa “Diam”-nya Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Panjaitan .
Terkait adanya kapal perang China di sekitar Laut Natuna Utara, karena kedua pejabat tersebut faham dan mengetahui. Karena Laut Natuna Utara merupakan wilayah internasional atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sehingga bukan milik satu negara.
“ZEE itu bukan wilayah kita, itu milik internasional,” tegasnya.
Menurut Rusdi, para pihak yang mempertanyakan adanya kapal perang China di Laut Natuna Utara juga harusnya fair.
Bahwa di wilayah internasional itu ada juga kapal perang dari berbagai negara. Di antaranya Amerika Serikat, Perancis dan negara lain yang juga membawa peralatan perang.
Harusnya mereka juga mengkritisi kapal perang dari Amerika Serikat, Prancis, Thailand, Vietnam dan negara lainnya.
“Jangan ketika ada kapal perang China dikritisi, tapi giliran ada kapal perang dari negara lain tidak mengkritisinya,” jelasnya.
Oleh karena itu Rusdi mengaku prihatin adanya pihak-pihak yang tidak faham wilayah internasional berkomentar seakan – akan wilayah internasional adalah milik Indonesia.
Padahal dalam hukum kelautan internasional Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) tidak masuk wilayah negara manapun. Sehingga karena wilayah internasional maka kawasan itu bebas dilewati oleh berbagai kapal negara lain, termasuk militer dan lainnya.