Mari Tunjukan Solidaritas

Oleh: ST

MATRANEWS.id — Entah apa yang baru saja dialami, salah seorang rekan saya datang dengan emosi yang meluap-luap.

“Dasar OKB, orang kaya baru, gayanya minta ampun, deh,” katanya dengan nada sedikit sinis.

Saya cuma tersenyum menanggapi omelan kawan saya itu. Saya hafal betul cara dia bereaksi terhadap hal-hal yang dirasa kurang cocok di hatinya. Spontanitasnya tinggi dan emosinya gampang terbakar.

Setelah agak tenang, dia menceritakan apa sebenarnya yang dia protes. Rupanya, dia baru saja berkenalan dengan beberapa orang kaya baru yang membuatnya gerah.

“Gayanya selangit. Padahal rumah baru itu kan cuma pemberian. Jadi sebenarnya dia kan tidak benar-benar kaya,” kata kawan saya lagi.

Iri? Tidak. Sebab, kawan saya ini termasuk orang kaya lama.

Pendidikannya baik, pergaulannya luas, dan pengalaman hidupnya cukup beragam. Ia hanya kesal melihat tingkah orang-orang kaya baru yang menurut dia berlebihan.

Sebagai teman, saya mencoba memahami apa yang membuat kesal kawan saya itu. Menjadi kaya memang tidak salah, tapi menjadi sombong dan bertingkah di luar kewajaran bisa menyebalkan banyak orang.

Julukan OKB sendiri sebenarnya lebih merupakan sinisme daripada pujian. Tiap hari banyak orang menjadi kaya, tapi tidak disebut sebagai OKB.

Istilah ini lebih sering ditujukan kepada orang yang secara finansial tiba-tiba melejit dan menjadi “norak” karenanya.

Seorang OKB bisa saja tiba-tiba bertingkah laku aneh, merasa sekelas dengan orang kaya lama yang sudah mumpuni, dan merendahkan orang lain.

Mungkin, ia tak sadar bahwa apa yang dia lakukan menjadi bahan tertawaan bagi orang lain.

“Coba toh, Jeng,” kata kawan saya lagi, “kebetulan saja dia mendapat rezeki nomplok.

Tapi, apa benar dia pernah menjalani hidup seperti yang biasa dilakukan orang-orang kaya beneran, orang-orang kaya lama?

Kemampuan finansialnya yang tiba-tiba itu tidak dibarengi dengan kemampuan intelektual, wawasan, selera, dan pergaulannya toh.”

Di atas langit ada langit. Begitu kata orang-orang bijak. Jadi tak perlu menjadi congkak. Juga norak.

Sebagai orang Jawa, kita selalu diberi petuah: jadilah seperti padi, makin berisi makin menunduk. Sebab, semat (harta benda), drajat (kehormatan), dan kramat (kekuasaan) itu sementara.

Kita juga diajari bahwa hidup itu tak hanya boleh mengerti perasaan kita sendiri, tapi juga menghayati perasaan orang lain. Sebab, kita adalah makhluk sosial.

Dalam khazanah ilmu kebatinan bahkan ada ungkapan seperti ini: “Siapa mencari enak tanpa mengenakkan tetangganya sama halnya dengan membuat tali untuk menjerat lehernya sendiri.”

Saya masih ingat bagaimana orang-orang tua dulu mengajarkan bahwa dalam hidup manusia itu ada empat “ukuran” atau “tingkatan”.

Pertama, hidup seperti bayi yang baru lahir. Ia bisa merasakan sesuatu, tapi badan dan bagian-bagiannya belum dapat digunakan untuk mengikuti perasaannya. Persis seperti pohon.

Kedua, hidup sebagai anak-anak, yang badan dan bagian-bagiannya sudah dapat mengikuti perasaannya, tapi ia belum mengerti sifat hukum benda-benda. Ia tak tahu bahwa api itu panas, misalnya.

Ketiga, hidup sebagai manusia yang bisa merasakan sesuatu dan badannya dapat dipergunakan menurut perasaannya serta sudah mengerti sifat hukum alam benda-benda.

Hidup dalam ukuran ketiga ini menunjukkan berfungsinya tiga hal: pancaindra, organ yang menanggapi, dan pikiran.

Tapi itu saja tidak cukup. Sebab, orang dalam ukuran ketiga ini masih melulu terarah pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Benda-benda dan orang lain hanya dilihat sebagai alat atau sarana untuk memenuhi kebutuhan bagi dirinya sendiri.

Ia belum mempunyai dimensi “perasaan” untuk merasakan atau memahami perasaan orang lain (ukuran keempat).

Di level keempat ini, kita hidup dalam hubungannya dengan perasaan-perasaan. Bila dalam pergaulan sehari-hari kita tidak mengerti sifat-sifat perasaan, akan timbul kesulitan.

Hidup dalam ukuran keempat ini adalah tahap tertinggi yang harus ditempuh manusia agar bisa hidup atau bergaul dengan orang lain secara tepat.

Alat untuk mencapai tahap ini, antara lain, hati dan pikiran. Dan alat ini memang perlu dididik. Jika tidak, perkembangannya bisa tidak wajar.

Saya tak tahu apakah penjelasan itu ada hubungannya dengan OKB atau tidak. Yang jelas, kawan saya sedikit tenang ketika selesai mendengarkannya.


Tinggalkan Balasan