Mengenang Tulisan Sabam Leo Batubara, Soal Hari Lahir Pers Nasional

Menurut PWI setelah Indonesia merdeka, 9 Februari 1946. Menurut AJI dan IJTI, pers nasional sudah eksis sebelum proklamasi kemerdekaan.

 

MATRANEWS.id — Ketika Hari Pers Nasional di Banjarmasin akan berlangsung. Tulisan jurnalis senior ini demikian menggelitik, saat masih ada di dunia ini bisa menjadi sedikit, “catatan kecil” atau “catatan pinggir”.

“Tiga organisasi wartawan konstituen Dewan Pers Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), sedang berselisih soal kapan sebenarnya hari lahir pers nasional.

Catatannya adalah, menurut PWI setelah Indonesia merdeka, 9 Februari 1946. Menurut AJI dan IJTI, pers nasional sudah eksis sebelum proklamasi kemerdekaan.

Menanggapi usul AJI dan IJTI agar Dewan Pers merevisi tanggal Hari Pers Nasional (HPN), harian Kompas (20/4/2018) memberitakan reaksi PWI. PWI Sumatera Utara, PWI DKI Jakarta, PWI DIY, dan PWI Bali menolak perubahan tanggal HPN, mendesak Dewan Pers menghormati keputusan Presiden Soeharto itu.

Kini, mereka juga mendesak pengurus PWI Pusat melayangkan mosi tidak percaya kepada Ketua Dewan Pers, serta meminta agar sistem keanggotaan Dewan Pers diatur secara proposional berdasarkan jumlah anggota.

Menurut saya, ketiga organisasi wartawan itu perlu duduk bersama untuk sepakat kapan pers nasional lahir. Membiarkan perbedaan pendapat bereskalasi menjadi konflik berpotensi melumpuhkan Dewan Pers.

*Menemukan jawaban*
Agar masalah segera terpecahkan, para wartawan harus taat asas pada jati diri profesionalitasnya, yakni menyuarakan fakta dan kebenaran serta loyal kepada kepentingan umum.

Paling tidak ada lima peristiwa yang dapat dinilai sebagai hari pers nasional. Pertama, hari lahir PWI. Dalam buku Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila (1988), penulisnya Tribuana Said mengemukakan, “Pada 9 Februari 1946 wartawan-wartawan Republika mengadakan pertemuan di Surakarta dan dengan bulat menetapkan berdirinya PWI.”

Hari lahir PWI tersebut dinyatakan sebagai Hari Pers Nasional (HPN) berdasarkan keputusan Presiden Soeharto Nomor 5 Tahun 1985. Apakah keppres tersebut berdasarkan fakta sejarah yang benar? Hal tersebut memerlukan kajian.

Di era pemerintahan Soeharto berlaku kebijakan Sistem Pers Pancasila. Landasan konstitusionalnya Pasal 28 UUD 1945. Landasan yuridisnya tida UU Pokok Pers. Isinya antara lain Menteri Penerangan berwenang membatalkan SIUPP, Ketua Dewan Pers dijabat oleh Menteri Penerangan, dan organisasi wartawan hanya boleh satu. Sistem pers itu telah dikoreksi oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Anggota Dewan Pers hanya sembilan orang. Ada usul agar penentuan anggota diatur secara proposional berdasarkan jumlah anggota. Ada juga pendapat lain. Dewan Pers mempertimbangkan jumlah pengguna media dimana wartawan tersebut bekerja.

Pemilihan anggota Dewan Pers berdasarkan jumlah anggota dapat berarti jika terdapat satu anggota Dewan Pers dari unsur Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), yang jumlah anggotanya hanya 10 media televisi, mestinya anggota Dewan Pers dari unsur Serikat Perusahaan Pers (SPS) tercatat 471 penerbitan pers. Jumlah wartawan anggota IJTI hanya 2.600. Namun fakta menunjukkan sekitar 80 persen penduduk Indonesia adalah pemirsa televisi.

Daripada berdebat soal sistem pemilihan anggota Dewan Pers: berdasarkan jumlah anggota organisasi pers atau berdasarkan jumlah khalayak penggunanya, menurut saya, yang paling dibutuhkan Dewan Pers adalah kerelaan berkorban waktu untuk melaksanakan tujuh fungsi Dewan Pers sebagai diamanatkan oleh UU Pers.

Kedua, Adam Malik, Soemang, AM Sipahoetar, dan Pandoe Kartawigoena mendirikan Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) Antara di Jakarta pada 13 Desember 1937. Misinya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kontribusi terbesar LKBN Antara kepada bangsa adalah tidak lama setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, lembaga kantor berita tersebut segera menyiarkan teks proklamasi kemerdekaan ke seluruh dunia.

Ketiga, Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) Ke-85 diperingati pada 1 April 2018 di Palu, Sulawesi Tengah. Menurut Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), peringatan Harsiarnas untuk mengenang sejarah perjuangan dunia penyiaran.

Berawal dari Mangkunegara VII yang mendirikan Solosche Radio Vereeniging (SRV) di Solo pada 1 April 1933. Media radio berperan aktif dan efektif menyiarkan konsep Indonesia satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan. KPI berharap Presiden Joko Widodo segera menerbitkan keppres, menetapkan 1 April sebagai hari lahir media penyiaran.

Keempat, dalam penjajahan Belanda, lahir orang-orang pers dan atau sekaligus orang-orang pergerakan. Ada dr Soetomo, yang menjadi Pemimpin Redaksi Soeloeh Indonesia, Tjokroaminoto koran Oetoesan Hindia, Soekarno koran Persatoean Indonesia dan majalah Pikiran Ra’jat, Mohammad Hatta majalah Indonesia Merdeka, Amir Syarifuddin majalah Banteng, dan Sjahrir koran Daulat Ra’jat. Lewat media, mereka menumbuhkan kesadaran nasional orang Indonesia.

*Perintis pers*
Sejarah pers nasional mencatat para perintis pers yang melopori lahirnya pers nasional, antara lain Sam Ratulangi kelahiran Tondano, Sulawesi Utara (1980). Ketika kuliah di Universitas Amsterdam, ia menjadi Ketua Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Belanda. Pada 1938 ia menerbitkan koran National Commentaren.

Djerandeng Abdurachman Putera Dayak Putussibau menjadi wartawan Borneo Baroe Bergerak (1922) dan Pemimpin Redaksi Halilintar (1924). Ia juga menjadi Ketua Umum Nasional Indische Party (1922).

Pada usia 19 tahun (1906) Hezekiel Manullang menerbitkan koran Soara Batak di Balige. Motonya “Oela tanom asa oenang diboeat Oelande (Jaga negerimu agar tidak diambil Belanda)”.

Tirto Adhi Soerjo (1880-1918), cucu Bupati Bojonegoro dan pernah kualiah enam tahun di STOVIA, menjadi Redaktur Kepala Pembrita Betawi pada 1902. Dua tahun kemudian Tirto menerbitkan Soenda Berita, koran mingguan pertama milik Priboemi di Cianjur dengan bahasa Melayu. Pada 1 Januari 1907 Tirto menerbitkan koran Medan Pijaji berbahasa Melayu di Bandung.

Hasil perjuangan dan dedikasi mereka melahirkan konsep Indonesia. Untuk itu, Sam Ratulangi pernah dipenjarakan. Djerandeng dibuang ke Boven Digoel (1927).

Pada 1921 Pengadilan Negeri Tarutung memenjarakan Hezekiel karena korannya dinilai mencemarkan nama baik Belanda. Ia dibuang ke penjara Cipinang, Batavia (1922-1923).

Pada 1973, pemerintah mengukuhkan Tirto sebagai Bapak Pers Nasional. Pada 3 November 2006, Tirto mendapat gelar Pahlawan Nasional (sumber: Biografi RM Tirto Adhi Soerjo oleh Guru Besar Universitas Padjadjaran, Prof Dr Nina Herlina Lubis, MS).

Setahun sebelum Tirto dianugerahi gelar pahlawan nasional, Pramoedya Ananta Toer menerbitkan Sang Pemula. Buku setebal 418 halaman tersebut berisi rekam jejak kepahlawanan Tirto sebagai pelopor lahirnya pers nasional.

Dari guntingan-guntingan hasil karya jurnalistik Tirto tampak kontribusinya membuka babak baru dalam sejarah Indonesia.

Pertama, penggunaan pers untuk membentuk pendapat umum. Kedua, penggunaan pers sebagai alat memperjuangkan hak dan keadilan. Ketiga, menyalakan keberanian menghadapi kolonial. Tirto juga menggunakan pers sebagai pemersatu masyarakat yang heterogen.

Akibat tulisan-tulisannya, Tirto dua kali divonis bersalah. Pada 1908 Tirto dibuang ke Teluk Betung, Lampung. Kemudian, gara-gara pemberitaan Medan Prijaji edisi 28 Mei 1912 dinilai menghina pejabat kolonial, Tirto dibuang ke Pulau Bacan, Maluku Utara.

Kelima, dari tulisan Akhir Matua Harahap (Poestakadepok.blogspot.com) diperoleh informasi bahwa Dja Endar Moeda Harahap adalah Kakek Pers Nasional. Dia dijuluki Kakek Pers Nasional karena lima tahun sebelum Tirto menjadi editor Pemberita Betawi 1902, Dja Endar Moeda telah menjadi editor Pertja Barat di Padang.

Karena kebolehnnya, Pertja Barat milik percetakan Winkeltmaatschappij meminta Dja Endar Moeda menjadi editor koran tersebut pada 1897. Tiga tahun kemudian Dja Endar Moeda mengakuisisi Pertja Barat beserta percetakannya. Maka, Dja Endar Moeda pertama dalam sejarah pers Indonesia menjadi pemilik dan editor surat kabar.

Akibat pemberitaan Pertja Barat, pada 1905 Dja Endar Moeda mendapat hukuman cambuk dan diusir dari Padang. Dia hijrah ke Atjeh dan dia menerbitkan surat kabar Pembrita Atjeh (1906). Pada 1910 dia menerbitkan surat kabar Pewarta Deli di Medan. Pada 1911 di ke Kotaradja menerbitkan Bintang Atjeh.

*Kesimpulan*
Dapat disimpulkan, pertama karena media cetak nasional lahir lebih dulu dari media penyiaran nasional, lahir 1 April 1933, maka hari lahir pers nasional jelas bukan 9 Februari 1946.

Kedua, sejarah Kebangkitan Nasional menunjukkan, tumbuhnya gerakan kebangkitan nasional tidak bisa dipisahkan dari gerakan pers nasional. Oleh karena itu, hari pers nasional tentu berdekatan dengan hari Kebangkitan Nasional 20 Mei 1908.

Ketiga, berbagai fakta di atas memproyeksikan dua kemungkinan kapan hari pers nasional. Satu hari antara tahun 1902 dan 1907 sejalan dengan dikukuhkannya Tirto Adhi Soerjo sebagai Bapak Pers Nasional atau ketika Kakek Pers Nasional Dja Endar Moeda Harapan jadi pemilik koran Pertja Barat, 1900.

Keempat, Dewan Pers memprakasai dialog antara PWI, AJI, IJTI, SPS, PRSSNI, ATVSI, ATVLI, KPI,Dewan Pers, dan pemangku kepentingan lainnya.

Penulis adalah Wakil Ketua Dewan Pers 2006 – 2010. Dituangkan ketika beliau masih rajin menulis dan sehat.

 

 

 

Tinggalkan Balasan