Mindset Kaum Muda Yang Tak Muda Lagi

foto dokumentasi awak Majalah MATRA saat di Warung Buncit, Grup Majalah Tempo.

 

MATRANEWS.id– Kahlil Gibran memang seorang pemikir hebat. Pemikiran yang tampaknya sederhana ternyata amat dalam maknanya dan abadi substansinya.

Dikisahkannya, empat ekor kodok bertengger di sebuah patahan ranting pohon dan terayun-ayun di aliran sungai.

Kodok pertama seolah bergumam, “Oh, nikmatnya terayun-ayun…, terima kasih ranting yang telah menyelamatkan kita dan memberi kenikmatan hidup!”

Ia begitu yakin bahwa rantinglah yang amat berperan.

Kodok kedua langsung protes.

“Bukan, bukan ranting yang memberikan kenikmatan, tetapi airlah yang berperan menggerakkan ranting, tanpa air tidak mungkin ranting-ranting itu akan memberikan kenikmatan pada kita!” sergahnya.

Belum juga kodok pertama menjawab, kodok ketiga sudah “naik darah”.

“Mana mungkin air yang berperan, air ini tidak akan mengalir kalau tidak ada sungai yang terbentang dari hulu ke muara! Jadi, sungailah yang berperan penting!”

Tentu saja ketiga kodok-kodok tersebut saling berdebat. Bahkan sudah menjurus ke anarkis, dengan saling mendorong untuk mengalahkan “ideologi” yang berbeda.

Akhirnya, kodok keempat pun turun tangan.

“Sudah, sudahlah jangan berkelahi. Masing-masing pemikiran itu benar! Benar bahwa ranting berperan penting. Benar juga bahwa air dan sungai itu berperan penting. Tanpa salah satunya, tidak mungkin kita bisa selamat dan menikmati perjalanan ini!”

Belum selesai kodok keempat bicara, ketiga kodok lain serta-merta menyerbu kodok keempat, mendorongnya hingga tercebur bersama kearifannya.

Eng-ing-eng
. Pemikiran Kahlil Gibran, yang dikisahulangkan secara bebas tersebut, terasa amat menohok kehidupan nyata kita sehari-hari.

Bahasa modern yang dipercaya bisa pas untuk mengekspresikan kisah tersebut adalah mindset fanaticism, yang merupakan sumber malapetaka sebuah bangsa bersatu, perusahaan yang bersatu, bahkan keluarga yang bersatu.

Para pemimpin, apakah itu pemimpin bangsa, pemimpin perusahaan, ataukah pemimpin keluarga, terpenjara dalam fanatisme kelompok maupun fanatisme pikiran dirinya sendiri. Hanya pendapatnyalah yang benar!

Memandang kelompok lain, orang lain, anggota keluarga lainnya sebagai “musuh ideologi” yang harus ditentang dan dimusnahkan. Karakter menang-menangan sudah begitu merasuk.

Bahkan, bila seseorang muncul di tengah krisis sebagai orang bijak yang ingin menengahi perbedaan, justru orang tersebut “diceburkan ramai-ramai ke kali”.

Kata kunci yang ditawarkan Stephen Covey, yaitu maturity atau kedewasaan yang berproses. Covey pun lalu berpendapat bahwa tingkat kedewasaan yang paling mumpuni adalah inter-dependency, kesalingtergantungan!

Indonesia, dalam sejarahnya, pernah memiliki contoh keteladanan kepemimpinan tersebut, ketika Sumpah Pemuda dikumandangkan pada 28 Oktober 1928.

Meskipun pilar-pilar mindset fanaticism kedaerahan tetap tegak berdiri, semua keanekaragaman tersebut diuntai oleh kesatuan, kebangsaan: Bhineka Tunggal Ika.

Sebuah mahakarya kepemimpinan yang visioner yang, sayangnya, kini hampir diruntuhkan oleh mindset fanaticism individu atau pun kelompok.

Pemimpin sejati memang dilahirkan atau terlahir dari sebuah krisis. Sudah saatnya kini, segera lahir atau dilahirkan pemimpin sejati yang memiliki kedewasaan inter-dependent tersebut, dan meredam mindset fanaticism.

Kami adalah pemuda di era-nya, yang kini sudah tak muda lagi.

Ada juga dari generasi kami — yang di zaman ini sudah tiada, mendahului kami. Tapi, kami tak pernah mati dalam berharap, mendapatkan pemimpin sejati.

Bagaimana dengan Anda?

 

Tim Waroeng Buncit, Majalah MATRA saat di Grup Majalah Tempo. Tampak N Riantiarno, Ananda Moersid, Arif Bargot, Andy F Noya, S.S Budi Rahardjo dan Usamah Hisyam. Juga ada Urry Kartopati, Rahmayunita, Meike Malaon, Hermien Kleden, Mba Ida, serta Ayu Utami. Ada Wibowo Sumadji, Muklis Tolomundu, serta Ayub Abdullah. Yang kini sudah almarhum, Ricardo Iwan Yatim, Kun Sy Hidayat, Firmiani Daryaf

 

Tinggalkan Balasan