NKRI Bersyariah Atau Eksploitasi Simbol Agama?

(Seri Tulisan merespon esai Denny JA : NKRI Bersyariah ATAU Ruang Publik Yang Manusiawi?)

MATRANEWS.id — Analisis data yang diajukan Denny JA (DJA) lewat tulisan berjudul “NKRI Bersyariah ATAU Ruang Publik Yang Manusiawi?”

Ini menarik perhatian saya, karena paradoks berikut: Nilai-nilai luhur yang bersifat universal yang ada dalam ajaran Islam atau Islamicity Index justru terwujud dan dipraktikkan. Bukan di negara-negara berpenduduk mayoritas Islam seperti Indonesia, Malaysia atau Turki.

Juga substansi yang terkandung dalam indeks tesebut tidak terbukti nyata di negara yang mengadopsi sistem negara teokratis Islam, seperti di Republik Islam Iran atau di Afganistan di bawah rejim Taliban, yang sangat ketat menerapkan hukum syariah Islam.

Sebaliknya, substansi nilai universal Islam dalam Islamicity Index –– yang disusun tahun 2017 oleh sejumlah pakar Islam yang kredibel dari berbagai disiplin ilmu tersebut— berkembang dalam kehidupan keseharian masyarakat negara-negara barat, seperti: Selandia Baru, Belanda, Swedia, Irlandia, Swiss, Denmark, Kanada, dan Australia.

Kita tahu negara-negara ini adalah negara maju sekuler dan mayoritas penduduknya bukanlah pemeluk agama Islam. Tradisi dan etos kerja negara-negara tersebut berakar pada nilai-nilai Kristen/Katolik.

​DJA bukan bermaksud mendiskreditkan Islam. Demikian juga saya, tidak melihatnya sebagai persoalan agama. Sebaliknya, sama seperti agama lain, Islam memiliki substansi nilai bersifat universal, menembus sekat ruang dan waktu.

Analisis DJA ingin terfokus mempertanyakan relevansi sebuah sistem yang memakai embel-embel agama (baca: NKRI Bersyariah), dalam memproduksi ruang publik yang sehat dan secara konsisten mampu “memanusiakan” warga masyarakat di dalamnya.

Gagasan sistem negara syariah memang sedang gencar diagendakan oleh sekelompok aktivis Islam garis keras di Indonesia, di bawah komando Habib Rizieq, baik di daerah lewat Perda Syariah maupun di tataran politik nasional di Indonesia melalui NKRI Bersyariah.

Sejumlah variabel seperti tata kelola pemerintahan bebas korupsi (good governance), kesejahteraan ekonomi, penghargaan terhadap hak-hak warga, kesetaraan gender, sistem hukum berorientasi keadilan, adalah daftar substansi “ruang publik” (public sphere).

Deretan variabel ini masuk ke dalam daftar Islamicity Index dan sering digunakan oleh lembaga survei untuk mengukur tingkat perkembangan sebuah negara dan masyarakatnya.

Ruang Publik dan Demokrasi

Ruang publik (public sphere) dapat dimaknai sebagai ruang milik kolektif masyarakat, di mana interaksi sosial dan relasi kekuasaan antara masyarakat dan negara berlangsung untuk mengatur kehidupan sosial, (re)distribusi sumberdaya dan preservasi nilai-nilai kolektif, yang menjamin kualitas pertumbuhan dan keberlansungan masyarakat dari suatu negara.

Tujuan pengembangan ruang publik yang sehat dan berkualitas tidak lain adalah untuk mendekatkan negara ke arah bentuk idealnya, sebagaimana dirumuskan di dalam konstitusi negara.

Karenanya, ruang publik hadir dalam aneka sub-sistem yang mengatur perilaku sosial, etika dan moral publik, kebijakan jaminan keterjangkauan public goods, yang secara asasi dibutuhkan oleh setiap warga masyarakat, termasuk rasa aman dan rasa nyaman.

Setiap individu masyarakat akan mendapat kesempatan untuk mengembangkan diri, potensi dan martabatnya lewat ruang publik yang berkualitas.

Hal inilah kemudian yang melandasi pemikiran bahwa proses demokratisasi sangat identik dengan pengembangan ruang publik yang manusiawi.

Semua negara yang disebut di atas, dengan skor tinggi dalam hal nilai ruang publiknya, adalah negara matang dalam demokrasi.

Makna demokrasi di sini tentu bukan prosedural tetapi bersifat substansial, di mana kebebasan, kemakmuran, sistem hukum yang fair dan social responsibility telah berkembang matang secara substansial.

Karenanya, keberadaan ruang publik akan turut berkontribusi secara langsung di dalam mereproduksi –dan sebaliknya mereduksi– tingkat kebahagiaan kolektif dari sebuah masyarakat.

Indeks Kebahagiaan (World Happiness Index) mulai kerap diukur secara sekuensial dan global, guna menjadi bahan utama koreksi terhadap kemajuan dan kualitas sistem yang diadopsi.

Alasannya sederhana, karena indeks ini tidak hanya berhubungan dengan indikator kuantitatif sempit, seperti tingkat kemakmuran ekonomi atau GDP nasional saja. Tetapi juga mencakup berbagai aspek yang intangible, seperti kualitas relasi sosial individu dengan sesamanya dan dengan lingkungan hidupnya.

Secara ringkas, DJA ingin menarik korelasi antara substansi nilai-nilai yang bersemai di ruang publik dengan hasil (keluaran) yang dirasakan secara bersama-sama oleh masyarakat berupa Happiness Index (Indeks Kebahagiaan).

NKRI Bersyariah atau Eksploitasi Simbol Agama

Dengan analisis sekilas tentang makna ruang publik berikut substansi nilai kolektif di atas, DJA menyodorkan pertanyaan sederhana namun kritis, menyangkut proposal atau gagasan NKRI Bersyariah.

Apakah sikap kita terhadap gagasan NKRI Bersyariah? Apakah Habib Rizieq Shihab dan kawan-kawan, serta segelintir kelompok Islam garis keras di tanah air, telah memikirkan konsekuensi logis penerapan NKRI Bersyariah ini untuk masa depan ruang publik yang manusiawi di masyarakat majemuk Indonesia ?

Terhadap pertanyaan ini sejumlah jawaban dapat dikemukakan secara gamblang.

Pertama, NKRI Bersyariah merupakan gagasan politik yang secara sosiologis bertentangan dengan kondisi objektif masyarakat Indonesia yang sangat plural.

Kemajemukan masyarakat Indonesia, dilihat dari aspek agama, suku, bahasa, tradisi dan akar budaya, adalah sesuatu yang secara alamiah menjadi elemen dasar pembentukan nation-state (negara bangsa) Indonesia.

Pemberian label Bersyariah kepada NKRI tampak berbeda dengan substansi universal Islamicity Index yang disodorkan oleh para pakar Islam kredibel yang disebut DJA.

Sebaliknya, gagasan ini identik dengan pendekatan totalitarian yang bertujuan melakukan penyeragaman di atas eksploitasi simbol agama.

Rekayasa homogenisasi secara paksa atas kondisi heterogen sebuah masyarakat akan jelas menggiring kita ke jurang konflik horizontal, sebagaimana telah dialami banyak negara di Timur Tengah dan negara-negara Balkan di dekade 1990-an.

Dengan demikian, proposal NKRI Bersyariah ini otomatis mengandung potensi konflik yang bersifat hegemonik di atas prinsip zero sum game.

Kedua, perdebatan keras atas dasar landasan pembentukan NKRI pernah terjadi di era dekolonisasi. Para founding fathers, yang juga berasal dari keberagaman Indonesia, berhasil mempersatukan visi kebangsaan Indonesia lewat figur proklamator Soekarno-Hatta, dan penemuan ideologi Pancasila dari alam realitas kemajukan masyarakat Indonesia.

Tarik menarik kepentingan antara kelompok nasionalis versus religius tidak terelakkan, hingga dicapainya konsensus dasar bahwa Indonesia bukanlah negara teokratis berbasis agama.

Juga bukan negara sekuler bersifat etatis yang menolak keberadaan institusi agama. Namun merupakan negara republik (res publica) di atas empat pilar, yaitu NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila dan UUD’45 sebagai sumber hukum nasional.

Dari titik historis itu hingga ke masa depan, secara sosiologis, Pancasila berfungsi sebagai perekat kemajemukan dan payung keberagaman. Nilai-nilai ideal dalam Pancasila secara politik diyakini sebagai bentuk visioner dari imajinasi kolektif kita akan keberadaan dan legitimasi “Indonesia Raya.”

Fakta sejarah ini pulalah yang menjadi salah satu modal sosial bangsa Indonesia saat ini, untuk diakui sebagai model sukses (best practice) negara berkembang, di mana demokrasi, Islam dan pluralisme bergerak beriringan secara damai.

Munculnya gagasan “NKRI Bersyariah” dalam konteksnya versus NKRI Pancasila, karenanya, menjadi ahistoris atau menjadi gagasan yang terkesan kuat menolak fakta sejarah. Terlebih tanpa kejelasan tujuan dan definisi operasionalnya di dalam memproduksi ruang publik yang manusiawi.

Gagasan yang didengungkan oleh Habib Rizieq di tahun 2016 (kemudian diulangi pada 2017 dan 2018) muncul sebagai simbol populisme Islam di dalam pertarungan politik sesaat (power struggling) Pilkada DKI 2017, yang berlanjut hingga ke Pilpres 2019 mendatang.

Dus, di balik gagasan NKRI Bersyariah terdapat tujuan politik pragmatis bersifat jangka pendek, yaitu membangun kekuatan “populisme Islam” sebagai antitesis terhadap NKRI Pancasila di dalam kancah pertarungan Pilpres 2019.

Saya sepakat dengan DJA dan penulis lainnya bahwa gagasan NKRI Bersyariah ini baiknya ditelaah secara terbuka dan kritis di atas basis data, analisis, dan perbandingan dengan negara-negara lain.

Minimnya penjelasan rinci bersifat komprehensif atas operasionalisasi gagasan NKRI Bersyariah ini juga memicu penilaian skeptis bahwa gagasan ini akan menyuburkan sikap eksklusifitas berlebihan di atas ekstremitas agama.

Fenomena aturan “Nonmuhrim Café”, “Perumahan Syariah”, larangan ritual tradisi lokal larung laut, pemotongan salib nisan makam, aksi sweeping tempat hiburan, pembatasan pendirian rumah ibadah, larangan selebrasi tahun baru “masehi,” serta sikap-sikap intoleran yang terkesan mematikan nalar dan dialog akal sehat, menjadi trademark yang sulit dilepaskan dari atribut “NKRI Bersyariah.”

Sama halnya dengan gerakan populisme semu (pseudo populism), yang inheren di dalam krisis politik elektoral banyak negara saat ini, eksklusifitas berbasis ekstremisme agama akan sangat mudah ditransformasikan secara politik ke dalam perilaku destruktif.

Terlebih bila dikemas dengan isu provokatif seputar kecemburuan sosial, ketimpangan ekonomi, dan konflik kelas.

Dari berbagai studi empirik kita belajar bahwa sentimen agama adalah instrumen paling “mudah dan murah,” untuk dimanfatkan guna membangun protes sosial yang massif, bilamana tingkat pendidikan dan ekonomi warga masyarakat relatif masih rendah.

Karenanya, sangat relevan bagi para penggagas NKRI Bersyariah ini untuk secara terbuka dan jujur mengemukakan kerangka operasional, indikator, strategi dan metode pengukuran konsep mereka tersebut.

NKRI Pancasila

Adalah benar bahwa substansi ruang publik yang manusiawi terbentuk bukan berdasarkan penerapan secara paksa sistem sosial dan politik berbasis agama yang puritan. Namun, sebagaimana dialami oleh negara-negara Barat yang menerapkan Islamicity Index di atas, ruang publik yang manusiawi tercipta lewat proses peradaban.

Peradaban itu sendiri (civilization) adalah proses sejarah yang mengembangkan berbagai sub-sistem yang fungsional dan mampu beradaptasi secara dinamis, untuk berbagai kemajuan berkualitas, baik di bidang ekonomi, politik, teknologi, seni budaya, pendidikan, tata-kota, infrastruktur, pengorganisasian masyarakat, dan seterusnya.

Hal ini hasil akhirnya menempatkan manusia dan seluruh masyarakat di dalamnya sebagai insan yang bermartabat (human dignity).

Dalam konteks ini, tentu, agama memberi peran signifikan terhadap kemajuan peradaban dan sekaligus menjadi tameng kekuatan di dalam konflik peradaban itu sendiri (clash of civilizations).

Khususnya di kala “peradaban” condong berkembang mengarus-utamakan uniformitas, dan marjinalisasi akibat ketidak-adilan yang terstruktur secara global. Peran positif agama sebagai rujukan moral dan etika yang luhur harus dijaga, dan bukan dibelokkan secara sempit ke politisasi agama yang salah arah.

Saat ini Indonesia berada di tengah pertarungan peradaban global memasuki Revolusi Industri 4.0.

Terdapat tekanan politik hebat, baik dari dalam maupun dari luar, yang sedang menguji ketahanan kita sebagai negara bangsa (nation-state). Persatuan, kebersamaan dalam keberagaman, dan kerja keras menjadi kunci utama menghadapi ujian tersebut.

Di titik ini, saya menilai bahwa “NKRI Pancasila” yang sarat dengan nilai-nilai ideal bernegara, menjadi pegangan penting atas tantangan global tersebut.

***

​Biodata Penulis:

*Kastorius Sinaga adalah sosiolog dan pengajar di UI. Ia meraih Ph.D dari Universitas Bielefeld, Jerman. Ia pernah mengajar di Pascasarjana Bidang Ilmu Sosial UI, Anggota Tim 11 Pemilu 1999 dan Penasehat Ahli Kapolri (2005-2017). Juga pernah sebagai peneliti senior di ADB dan World Bank Jakarta.

 

baca juga: majalah MATRA edisi cetak — klik ini

Majalah Matra

Tinggalkan Balasan