Nomophobia, Orang Yang Bermain Smartphone atau Tablet Melanda Indonesia

MATRANEWS.id — Ramai di medsos, tokoh dan petinggi Indonesia termasuk nomophobia.

RIDMA Foundation (perusahaan riset investigasi and multimedia) memberi release bahwa 6 dari 10 orang Indonesia diamati di kota besar Jakarta, di lokasi pusat perbelanjaan dan aktivitas publik, dari stasiun kereta hingga ojek online.

Nomophobia, orang yang bermain smartphone atau tablet melanda Indonesia, khususnya ibu kota. Masih dalam risetnya, dipertanyakan. Apakah itu Anda?

Realitasnya begini. Banyak orang di stasiun commuter line, busway, kereta api, terminal antara propinsi, ataupun bandara, asyik dengan “gadget”nya masing-masing.

Mereka bermain dengan smartphone dan tablet, seakan-akan lebih mengasyikkan daripada berdiskusi dengan orang lain.

Bahkan, bisa kita lihat satu keluarga sedang makan bersama tapi masing-masing asyik memandang gadget-nya. Bukan ngobrol dengan keluarga sendiri.

Seakan, gadget sudah menjadi semacam ‘fetish’ yang menarik seluruh kesadaran mereka. Bagi kaum milenial, permainan games menjadi seakan “candu” tersendiri.

Nomophobia (no mobile phone phobia) adalah istilah baru, yang berarti ketakutan akan dipisahkannya pengguna dengan gadget kesayangannya.

Istilah ini diperkenalkan oleh peneliti dari Inggris. Memang sampai sekarang belum ada data yang pasti untuk di Indonesia.

Komunikasi antar manusia secara tatap muka jadi makin jarang. Generasi muda kini lebih suka berkomunikasi via gadget (email, chatting, Twitter, Facebook), daripada tatap muka langsung.

Orang jadi jarang mengamati lingkungan sekitar, karena lebih tenggelam dengan gadgetnya. Akibatnya, rasa peduli pada sekitar berkurang, justru lebih mempedulikan isu-isu di socmed dari gadgetnya.

Manusia dapat saja teralineasi oleh mesin. Pada saat itu, manusia akan menjadi apatis dan anti sosial. Gadget, sebagai ‘fetish’ baru, telah menjadi semacam ‘dewa’ baru yang dipuja-puji.

Apa yang harus kita lakukan untuk terhidar dari nomophobia?

Salah satu yang dapat dilakukan adalah disiplin dengan gadget. Kita seyogyanya membiasakan waktu tertentu dimana pertemuan keluarga ‘disterilkan’ sama sekali dari gadget, supaya ada diskusi yang hangat dan bermakna.

Gadget adalah ciptaan manusia, sehingga jangan sampai kita diperbudak olehnya. Kemudian, salah satu aktivitas yang dapat mengurangi “nomophobia” adalah mengintensifkan kegiatan outdoor, seperti rekreasi alam, dan olahraga secara teratur.

Satu hal yang tak kalah penting, sebagai orang yang beragama, maka mengintensifkan ibadah dan terlibat secara intens pada pertemuan jemaat atau umat dapat mengurangi tendensi anti sosial yang timbul dari nomophobia.

#

RIDMA Foundation memberi “Tanda-tanda” atau Gejala Nomophobia

* Terobsesi dengan ponsel Anda, selalu mengeceknya tiap ada kesempatan, khawatir bila ada panggilan masuk atau pesan yang terlewatkan.
* Merasa gelisah bila baterai mulai habis, tak pernah lupa membawa powerbank, selalu menjaga dan memastikan baterai ponsel dalam keadaan penuh.
* Membawa dan menggunakan ponsel ke mana saja, termasuk ke kamar mandi, kamar tidur, di atas motor, di dalam mobil.
* Memiliki lebih dari satu ponsel, sebagai cadangan bila salah satunya hilang atau tak berfungsi.
Sebenarnya tak masalah memiliki banyak ponsel, namun bila itu adalah alasan untuk menghilangkan kegelisahan dan ketakutan akan kehilangan ponsel, bisa jadi
Anda memang seorang nomophobic.
* Panik ketika tak bisa menemukan ponsel, lupa di mana menaruhnya.
* Timbul kecemasan berlebihan bila ponsel tidak berfungsi atau kehilangan sinyal, atau pulsa mulai menipis.
* Lebih peduli terhadap isu-isu yang berkembang di media sosial daripada yang terjadi di sekitarnya.
* Jarang bersosialisasi secara langsung karena lebih nyaman bersosialisasi lewat media sosial yang bisa diakses setiap saat dengan ponsel.

Langkah awal untuk bisa bebas dari sindrom nomophobia dan kecanduan akan jejaring sosial harus dimulai dari kesadaran sang individu sendiri.

Salah satu cara yang paling mudah adalah dengan mematikan notifikasi jejaring sosial di telepon genggamnya. Dengan demikian, godaan untuk mengecek layar handphone setiap saat pun menjadi berkurang.

Di era digital seperti sekarang memang sulit membayangkan untuk hidup tanpa telepon genggam.

Tapi, sulit bukan berarti tidak mungkin. Toh, berpuluh-puluh tahun yang lalu manusia masih bisa berkomunikasi tanpa gadget canggih dan Twitter. Bahkan mungkin kehidupan sosial mereka lebih sehat karena tidak terhalang oleh layar handphone setiap saat.

 

Tinggalkan Balasan