Orang Tua, Diancam Pidana 6 Bulan Kurungan Bila Anaknya Jadi Pecandu

MATRANEWS.id  — Banyak yang tersentak dengan judul di atas. Padahal, itu adalah realitas.

Orang tua, diancam pidana enam (6) bulan kurungan bila tidak melaksanakan kewajiban untuk melaporkan anaknya yang menjadi pecandu, ke rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh Menkes untuk mendapatkan perawatan berupa rehabilitasi (pasal 128).

Rehabilitasi secara yuridis, menjadi tanggung jawab dan kewajiban orang tua pecandu untuk melaporkan ke institusi penerima wajib lapor (pasal 55).

Kewajiban tersebut, selama ini tidak dilaksanakan, karena takut jangan jangan kewajiban wajib lapor itu sebagai jebakan bad man.

Loh?

Iya,  karena secara empirik penyalah guna dan pecandu dalam mempertanggung jawabkan perbuatannya ditahan dan dijatuhi hukuman penjara.

Rehabilitasi dilaksanakan oleh pengemban fungsi rehabilitasi yaitu BNN sebagai koordinator, Kemenkes dan Kemensos sebagai regulator dan pelaksana.

Jenis rehabilitasi, berdasarkan ketentuan perundang undangan:

Pertama, atas insiatif orang tua merehabilitasi anaknya yang sakit kecanduan narkotika, orang tua bisa memilih rumah sakit namun membayar sendiri.

Kedua, rehabilitasi berdasarkan kewajiban orang tua pecandu untuk melaporkan diri ke IPWL untuk mendapatkan penyembuhan, biaya ditanggung oleh pemerintah dialokasikan pada anggaran pengemban fungsi rehabilitasi.

Ketiga, rehabilitasi berdasarkan kewenangan penegak hukum pada semua tingkatan pemeriksaan yang bersifat wajib untuk menempatkan penyalah guna dalam lembaga rehabilitasi biaya ditaggung pemerintah alokasi anggarannya pada engemban fungsi rehabilitasi.

Keempat, rehablitas berdasarkan keputusan hakim, biaya ditanggung oleh pemerintah alokasi anggarannya berada pada pengemban fungsi rehabilitasi.

Itu sebabnya dalam proses penegakan hukum penyidik, penuntut umum dan hakim diberikan kewenangan untuk menempatkan tersangka/terdakwa kedalam lembaga rehabilitasi (pasal 13 PP no 25/2011 tentang wajib lapor pecandu).

Khusus hakim diberi kewenangan absolut dapat menjatuhkan hukuman rehabilitasi baik terbukti salah atau tidak bersalah (pasal 103).

Kewenangan absolut hakim tersebut sebagai pengejawantahan dari tujuan UU narkotika (pasal 4d) dalam menjamin penyalah guna mendapatkan pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu.

Siapakah pecandu itu ?

Pecandu adalah, pelaku kejahatan penyalah guna narkotika dimana kepemilikannya digunakan untuk dikonsumsi sendiri dan dinyatakan dalam keadaan ketergantungan narkotika, baik secara fisik maupun psykis oleh ahli yang ditunjuk.

Ketergantungan narkotika adalah, kondisi “sakit” yang ditandai adanya dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus dan apabila penggunaannya dikurangi secara tiba tiba menimbulkan “sakit” dengan gejala fisik dan psykis yang khas dikenal dengan sakau.

Untuk mengetahui kadar kecanduan penyalah guna dilakukan melalui proses assesmen atau visum et repertum agar diketahui riwayat pemakaian narkotika, dampak pemakaian yang muncul, tingkat kecanduan dan rencana penyembuhannya.

Jelasnya, pecandu adalah penyalah guna narkotika untuk diri sendiri yang diancam pidana (pasal 127) setelah dilakukan assesmen atau divisum oleh team dokter.

Kalau penyalah guna sudah diassesmen  maka sebutannya menjadi pecandu. Penyalah guna yang sudah dinyatakan sebagai pecandu ini yang wajib direhabilitasi (pasal 54).

Dapat dibayangkan betapa pentingnya assesmen atau visum dari team dokter bagi hakim dalam mengadili perkara penyalahgunaan narkotika.

Penyalah guna yang diancam pidana maksimal empat tahun, kalau sudah diassesmen atau divisum, status perkaranya berubah.

Maksudnya berubah adalah, dari penyalah guna menjadi pecandu, berdasarkan pasal 54 wajib menjalani rehabilitasi dan status pidananyapun berubah menjadi tidak dituntut pidana (pasal 128/2).

Ini adalah bagian dari politik hukum pemerintah dalam menanggulangi penyalahgunaan narkotika.

Prinsipnya, penyalah guna yang diancam pidana penjara, pertanggungan jawab pidananya berupa pidana rehabilitasi melalui dua cara.

Untuk cara pertama, yaitu melaksanakan kewajiban wajib lapor untuk mendapatkan penyembuhan melalui rehabilitasi.

Apabila melaksanakan wajib lapor maka pertanggungan jawab pidananya menjadi gugur karena status pecandu yang melaksanakan wajib lapor berubah menjadi tidak dituntut pidana.

Kedua, melalui keputusan hakim. Apabila tidak mau melaporkan diri ke IPWL untuk mendapatkan penyembuhan maka akan ditangkap oleh penyidik, dan dibawa ke pengadilan.

Hakim diberi kewenangan mutlak berdasarkan pasal 103/1 untuk menjatuhkan sanksi rehabilitasi baik terbukti salah maupun tidak terbukti bersalah.

Ketentuan ketentuan tersebut diatas perlu disosialisasikan kepada masarakat dan penegak hukum bahwa untuk memerangi penyalahgunaan narkotika adalah tugas utama orang tua dan pengemban fungsi rehabilitasi bukan tugas utamanya penegak hukum.

Oleh karena itu stategi penegakan hukum lebih tepat mengancam orang tua yang anaknya jadi pecandu dari pada memenjarakan penyalah guna narkotika.

Tugas utamanya penegak hukum adalah, memberatas peredaran gelap narkotika. Dan, memutus jaringan peredaran gelapnya melalui penerapan tindak pidana pencucian uang.

Juga bersama-sama orangtua pecandu, mendukung pengemban fungsi rehabilitasi melalui penegakan hukum rehabilitatif. Yaitu: penegakan hukum dengan tujuan penyembuhan tanpa upaya paksa berupa penahanan dan penjatuhan hukuman penjara.

Dengan kewajiban menempatkan penyalah guna ke dalam lembaga rehabilitasi, selama proses penegakan hukum dan penjatuhan hukumannya berupa hukuman pidana rehabilitasi.

www.majalahmatra.com

Tinggalkan Balasan