Budaya  

Februari Bulan Cinta

MATRANEWS.id — Februari Bulan Cinta, adalah sajak Dewa Putu Sahadewa sekaligus merupakan garapan anyar musikalisasi puisi oleh Fileski, penyair kelahiran Madiun 31 tahun lalu.

Sajak yang bernuansa romantis ini, menarik bagi Fileski untuk penciptaan musiknya.

Seperti kita ketahui, musik adalah merupakan bahasa universal untuk menyampaikan suatu makna pada penikmatnya, tanpa batas. Selain itu, dengan musikalisasi puisi, maka para penikmat lebih mudah mencerna makna puisi yang ditulis penyairnya.

Sebab, musik tersebut tercipta atas dasar interpretasi pemusiknya pada karya puisi yang bersangkutan, kemudian memberi titinada pada tiap baris puisi itu. Sehingga, karya akhirnya adalah puisi yang enak untuk dinyanyikan atau nyanyian puitik, dengan diiringi alat musik pilihan penciptanya.

Musikalisasi puisi adalah suatu proses ‘senyawa’ antara penyair yang mengekspresikan eksistensinya lewat kata, dan pemusik yang menambahkan makna atas sajak itu lewat titinada pada tiap kata.

Selanjutnya, dilengkapi pula dengan alat-alat musik untuk mengiringi.

Di sinilah, keterbatasan makna ‘kosa kata’ pada puisi (karena medium bahasa), diperluas pe-makna-annya oleh ‘kosa suara’ dan ‘kosa nada’ lewat interpretasi dan kreatifitas kompusernya.

Pada teks musikalisasi ini, “Saya tidak mempergunakan tanda petik – sebagai argumentasi saya, yang dipertanyakan oleh penyair Tan Lioe Ie atas perbedaan pandangan kami mengenai istilah musikalisasi puisi.”

Pada dasarnya — Tan Lioe Ie kurang setuju dengan peristilahan musikalisasi puisi — meski ia pernah mempergunakan peristilahan ini pada album musikalisasinya yang lalu.

Yang menarik dari dr. Dewa Putu Sahadewa, SpOG(K), selain sebagai penyair juga berprofesi sebagai dokter ahli kandungan. Artinya, keseharian dokter yang akrab dipanggil Sahadewa ini, lebih banyak berkutat dengan ‘benih cinta’, janin-janin atau mahluk hidup ciptaan-NYA.

Tentu, dari pergulatannya dengan persoalan reproduksi setiap harinya, bisa dipastikan banyak renungan tentang ‘kemahapenciptaan-NYA’.

Pasalnya (bagi yang percaya) – reproduksi bukan sekedar proses biologis, adanya ‘fertilisasi’ antara ovum dengan sel sperma yang kemudian membentuk sel zigot, untuk menghasilkan individu baru (keturunan).

Ada semacam campur tangan ‘Roh Absulut’ (sekali lagi bagi yang percaya) pada proses reproduksi itu, yang merupakan naluri dasar semua mahluk hidup dalam meneruskan keturunannya,

Sahadewa sudah menulis puisi sejak ia duduk di bangku SMP Negeri 1 Denpasar. Ia aktif serta ikut mendirikan sanggar Cipta Budaya, di bawah asuhan guru bahasa Indonesia-nya, penyair GM Sukawidana.

Ia juga aktif di Teater Angin SMA Negeri 1 Denpasar dan teater Hippokrates yang beranggotakan beberapa mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Udayana.

Setelah menyelesaikan studi spesialis kandungan, Sahadewa merintis karir sebagai dokter ahli kandungan di Kupang NTT, dan mendirikan Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) pada tahun 2008.

Yang terakhir, ia menjadi salah seorang pendiri komunitas Jati Jagat Kampung (JKP) Bali di kawasan Renon. JKP adalah komunitas nirlaba yang beraktifitas kesenian sastra, seni rupa, dan lain sebagainya.

Kembali ke soal profesi Sahadewa sebagai dokter spesialis dan penyair – pria yang pernah mengenyam pendidikan konsultan obginsos di Universitas Pajajaran Bandung dan pendidikan S3 di FKM Universitas Airlangga Surabaya ini, terlihat begitu dalam memaknai maut dan kehidupan cinta pada proses reproduksi.

Hal itu bisa kita pahami lewat sajak-sajaknya.

Seperti pada sajak Pebruari Bulan Cinta yang di-musikalisasi oleh penyair Fileski. Jelas terlihat kesedihan dan perenungannya soal cinta ‘agape’ dalam kehidupan mahluk hidup, dan bukan sekedar cinta ‘eros’.

Coba simak sajaknya ;

Februari tidaklah indah//tidak pula penuh cinta//sampai sepasang serangga mencumbui putik bunga// Dan bertukar lara di sela warna cahaya yang dibiaskan setitik embun//dimana kau bermukim musim begini dingin//udara jahat yang kau benci sementara aku tak mampu menyentuh//bibirmu yang mengeras biru dan jauh//sepasang serangga telah berpulang tinggalkan wajahmu diantara bunga//Bisik gerimis dan garis pucat diambang gerbang setengah terbuka//aku menggigil.//Pebruari memberikan cinta lewat pesan singkat//tak terkirim dan kita senantiasa menyia-nyiakannya//.. o…???

Kekayaan diksi puisi-puisi Sahadewa yang mengandung metafor khas Bali, tampaknya menarik bagi Fileski.

Pria asal Madiun yang punya nama lengkap Walidha Tanjung Files ini, adalah seorang penyair sekaligus pemusik yang acap mencipta musikalisasi puisi.

Puisi Sahadewa, kata Fileski, kaya akan diksi yang mengandung metafor khas bali (mantra ethnik), pekat akan nuansa alam, romantisme malam dan kerinduan. “Selain itu, juga mengandung konflik batin asmara antar manusia, antara kebahagiaan dan penantian”, ujar alumnus jurusan teater Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta Surabaya ini lewat pesan singkat.

Lebih lanjut — penyair yang acap berkeliling ke negara-negara Asia Tenggara  mementaskan musikalisasi puisi ini menandaskan – ia menyukai puisi Sahadewa karena beberapa puisi Sahadewa yang ia garap juga ada kritik sosial, antara manusia dengan lingkungan, anak dan orangtua.

“Pilihan kata yang musikal dan jumlah susunan kata yang simetris pada puisi-puisi Sahadewa,” tutur penerima Anugerah HESCOM Musikalisasi Puisi Terbaik dari e-sastra Malaysia tiga periode berturut-turut, dan anugerah kompuser terbaik musikalisasi puisi ‘Kerinduan’ di PESTAB Brunai Darussalam 2015 ini.

“Memudahkan saya untuk proses menulis komposisi nada dan arransemennya. Bagi saya, dia penyair yang paham musikal.”

Mengenai pilihan genre musik pop yang segmentasi nya condong ke kaum millenial, menurut Fileski memang niatnya memilih puisi Sahadewa adalah untuk menarik minat kaum milenial terhadap puisi.

Memang, cara paling tepat untuk menumbuhkan Apresiasi sastra bagi kaum muda adalah melalui musik.

“Oleh karenanya, saya pilih dari beberapa dari sekian banyak karya sahadewa yang saya anggap cenderung musikal,” tutur Redaktur di negerikertas.com dan Pendiri Komunitas Negeri Kertas dan Komunitas Musik Sastra pada MATRA.

Salah satunya adalah Pebruari Bulan Cinta. Puisi ini bicara tentang problematika asmara dan menyiratkan makna bahwa cinta itu kemerdekaan dan pengorbanan.

Begitulah kolaborasi kreatif antara karya Sahadewa dan Fileksi. Namun, bagi Fileski, ada saja kesulitan dalam menggarap musikalisasi sajak Sahadewa ini.

Kesulitannya, kata Fileski, ketika menemukan suasana yang tepat. sehingga ia harus membaca beberapa kali untuk menemukan nuansa puisi. “Setiap puisi memiliki warna. dan warna puisi februati itu saya menemukan hijau sendu”, Fileski menjelaskan.

Pilihan sajak Pebruari Bulan Cinta sepertinya menandaskan pergulatan keseharian Sahadewa pada kesehatan ibu dan anak, atas dasar cinta kesemestaan.

Keduanya seperti memiliki obsesi tersendiri terhadap makna cinta yang terdalam. Seperti kata penutup Fileski pada pesan singkatnya, ‘Cinta itu memberi, bukan membui’.  Saya menambahkannya ; dan ‘tidak membully’.

#Hartanto.

Februari tidaklah indah
tidak pula penuh cinta
sampai sepasang serangga mencumbui putik bunga
Dan bertukar lara di sela warna cahaya yang dibiaskan setitik embun
dimana kau bermukim musim begini dingin
udara jahat yang kau benci sementara aku tak mampu menyentuh
bibirmu yang mengeras biru dan jauh
sepasang serangga telah berpulang tinggalkan wajahmu diantara bunga
Bisik gerimis dan garis pucat diambang gerbang setengah terbuka
aku menggigil.
Februari memberikan cinta lewat pesan singkat
tak terkirim dan kita senantiasa menyia-nyiakannya
.. o…???

Tinggalkan Balasan