Perry Tristianto: “Indonesia Itu Pasar Yang Sangat Meriah.”

“Bagi saya, yang berkaitan dengan fashion, wisata, dan makanan tidak pernah mati.”

MATRANEWS.id — Ada periode, pria ini dikenal dengan julukan Raja Factory Outlet yang disingkat FO. Majalah MATRA yang pertama kali mem-branding-nya, karena sejarah mencatat seperti itu.

Nama FO berawal dari nama toko yang didirikannya di tahun 1999 dengan nama FOS atau Factory Outlet Store.

Ayah dua anak lulusan Stanford College, Singapura ini yang membuat “sesuatu”.

Masyarakat seolah tersihir untuk berbelanja dengan buaian kata sisa ekspor yang diembuskan. FO pun booming sebagai tempat alternatif baru untuk berbelanja, di Bandung sebagai kota wisata belanja.

Berkat keberhasilannya dalam usaha FO, julukan sebagai raja FO pun dia sandang.

“Artinya konsep yang diterapkan awalnya sisa ekspor yang bermerek, namun dengan harga yang miring,” ujar Perry Tristianto Tedja, yang secara tak sadar sudah menciptakan pasar.

Tak pelak, kehadiran FO pun sempat dituding sebagai biang keladi bertambahnya intensitas kemacetan di kota yang dijuluki Parijs Van Java itu.

Dimulai bisnis FO pada 1995. Dengan modal nekat dan pinjaman Rp. 250 juta dari Bank Danamon. Ia membuka Outlet besar khusus busana sisa ekspor, seluas 200 m2 di Graha Manggala Siliwangi atau persis di sebelah Stadion Siliwangi Bandung.

Ketika pada tahun 1999, membuka sebuah cabang di Jalan Otten Bandung dengan nama FOS (Factory Outlet Store). Sejak pembukaan FOS itulah, istilah factory outlet menjadi terkenal.

Tahun 2000, ia membuka satu lagi outletnya di Jalan Buahbatu dengan nama Stock Town.

Berbeda di Graha Manggala Siliwangi yang area parkirnya luas, FOS dan Stocks Town tak lain adalah sebuah rumah yang dikontrak Perry untuk kemudian “disulap” menjadi outlet.

Pembukaan FOS berdampak pada makin banyak orang yang membuka usaha sejenis.

Hingga akhirnya, Bandung dicari oleh wisata belanja karena tercatat muncul FO (factory outlet), di satu jalan. Yang penting ada rumah tinggal yang agak luas. Dia tinggal modifikasi dikit, jadi deh outlet.

Di kala booming FO, pria kelahiran 22 Februari 1960 itu malah membuka outlet di Jalan dago Bandung yang sifatnya semi butik. Barangnya tak melulu sisa ekspor tapi ada juga yang impor. Outlet bernama ”Rich & Famous” ini dibuka bulan Oktober 2000.

Berbeda dengan outlet Perry sekarang yang membidik pasar pasangan keluarga muda, ”Rich & Famous” menargetkan pasar kalangan selebritis dengan semboyan Celebrities Choice. Beberapa celebritis dan public figure pernah berbelanja di sana.

Suami Elen Berkah itu mengatakan, masa keemasan FO mulai pudar. Sebab, setiap lini bisnis ada masanya. Bukan karena dahsyatnya gempuran toko online, melainkan lebih dipengaruhi tren kebiasaan multitasking.

Jalan Sukajadi yang sepi menjadi ramai dengan jualan factory outlet. Setelah jalan Sukajadi ramai, pindah ke jalan Dago. Lalu, pindah lagi ke jalan Riau pasca Dago ramai pengunjung.

Ia sukses menyulap kawasan Geger Kalong hingga Lembang di Bandung menjadi tempat yang ramai. Ia mampu mendirikan Kampung Bakso, Rumah Sosis, Tahu Susu Lembang, Floating Market, dan Farm House. Padahal dulunya kalau bersantap kuliner di Bandung hanya ada di daerah Dago ke atas.

Kini, Perry Tristianto tak sekedar pengusaha kuliner, konveksi, distro, event organizer, hingga pengusaha perhotelan.

Perry juga menyediakan panganan bulat panjang yang menjadi ikon, dia juga menawarkan rekreasi di alam terbuka seperti flying fox, wahana air, dan gokart.

Destinasi turisme yang mengedepankan pengalaman ini juga dia tuangkan dalam area wisata lainnya semisal Kampung Baso, Tahu Susu Lembang, dan D’Ranch.

Wawancara berlangsung di Bumi Serpong Damai (BSD), di sebuah pertemuan bisnis keagamanaan, dimana Perry laiknya motivator membagikan kiat-kiatnya melakukan usaha.

Pria yang rendah hati dan tak suka berpenampilan formal ini, kerap memakai busana casual dan jeans. Bahkan kalau lagi membereskan barang di gudang, ia hanya memakai kaos, celana pendek dan sandal jepit.

Berikut wawancara S.S Budi Rahardjo dari majalah MATRA, kepada Perry yang sudah lama tak berjumpa dan tetap bersahabat itu. Kali ini, ia kelihatan berpenampilan trendi saat di podium kesaksian WTC.

Petikannya?

Pelemahan ekonomi secara nasional apakah berdampak pada sektor usaha Anda?
Tidak terlalu. Karena berwisata tetap menjadi sebuah kebutuhan primer. Masyarakat kelas menengah dan menengah ke atas selalu memiliki dana alokasi untuk rekreasi keluarga.

Yang juga menarik, wisatawan ialah pasar tersebut selalu membeli barang atau melakukan transaksi dalam jumlah besar.

Mengapa FO demikian booming kala itu?

Orang Jakarta memiliki brand knowledge yang baik. Mereka tahu persis kalau merk kayak GAP, Calvin Klein. Merek-merek itu sangat mahal di luar negeri. Di FO, harganya cuma 25-30 persen dari harga di luar negeri. Tentu dong mereka beli di FO.

Busana di FO itu buatan Indonesia?
Ada juga busana sisa ekspor dari Singapore, Malaysia, Kamboja, Filipina, Srilanka, RRC, dan Afrika Selatan. Juga merk-merk terkenal seperti Calvin Klein, Versace, Tommy Hilfiger, Banana Republic, Gap, Yves Saint Laurent. Bahkan saya berani menambah koleksi barang dari Thailand, India, sampai Turki.

Jadi, merek-mereka di FO yang terkenal itu sisa eksport?
Orang banyak salah mengerti tentang busana sisa ekspor. Mereka berpikir kalau sisa ekspor pasti jelek, padahal tidak selalu begitu. Ada grade-nya. Kami hanya menjual yang grade A atau sama dengan kualitas barang yang dikirim ke luar negeri. Beberapa merk tertentu malah hanya ada di outlet saya.

Kenapa begitu?
Bisnis begini kan sama dengan menjual taste (selera). Menjual kepuasan kepada konsumen. Kalau mau berkembang kita harus punya sesuatu yang tak dipunyai orang lain. Ekslusif. Barang di saya, benar-benar berkualitas, eksklusif dan stylist.

Bagaimana jika ada pengunjung yang membeli kemudian dijual ke luar Pulau Jawa?
Banyak yang begitu. Bahkan, ada juga yang mereka kirim ke Rusia dan Nigeria.

Menurut Anda, Bisnis FO sudah tidak begitu baik pertumbuhannya di tahun 2011-2012.
Suatu tren memang ada titik jenuhnya.

Bagaimana ceritanya Anda malah bisnis wisata naik kuda?
Saya ingin bikin sesuatu terus. Melihat ada lahan luas dan banyak ternak kuda, saya terpikir untuk memulai usaha wisata kuda. Maka terciptalah De Ranch yang memberikan nuansa lain dengan berwisata naik kuda ala koboi yang bertempat di kawasan perbukitan Maribaya Lembang Bandung Utara.

Kalau rumah Sosis?
Awalnya saya mengajak kawannya untuk berjualan sosis di depan outlet-outlet saya. Ternyata, sosis itu cukup disenangi.

Maka, saya ciptakan sebuah resto keluarga yang diberi nama Rumah Sosis. Di mana menunya dirancang sangat sesuai cita rasa sosis yang memang enak, lezat dan gurih.

Kemudian saya buka usaha kuliner lainnya seperti Kampung Baso yang juga berlokasi di jalan Setiabudhi.

Membuka usaha kuliner yang dipadukan dengan Factory outlet dengan nuansa bali di daerah Pasteur-Bandung. Usaha itu diberi nama Bali Heaven.

Benarkah menjamurnya FO, banyak yang berbelanja pakaian. Dampak negatif pun timbul, kota Bandung jadi semrawut?

Makanya saya sangat berharap Pemda bisa bertindak tegas, terlebih dalam pemberian ijin harus selektif benar.

Anda sempat memperluas usahanya ke Surabaya, Makassar Bali dan Jakarta. Kenapa usaha retail, kemudian ditutup?
Karena susahnya melakukan pengawasan.

Pada prinsipnya, yang abadi di dunia ini hanyalah perubahan. Maka kami pun harus siap untuk mengikuti perubahan (dinamis). Dan untuk anda, para konsumen setia, kami akan mempersembahkan yang terbaik.

Anda mencoba keluar dari persaingan yang sudah kurang sehat?

Saya mengembangkan area wisata. Kesempatan itu datang saat booming buah stroberi pada 2004 seiring munculnya Film Strawberry yang dibintangi Rachel Maryam.

Saat itulah All About Strawberry lahir dengan konsep wisata yang menonjolkan pengalaman (experience) bagi pengunjung. Perseroan menyediakan fasilitas memetik, membuat jus, dan beragam hidangan dengan buah dari tanaman perdu ini.

Ngomong-ngomong, kabarnya Anda bisnis sejak masih SD?

He-he-he. Dari kecil, kelas 2 SD saya sudah mulai membantu orangtua berjualan di toko kelontong. Berlanjut sampai SMA. Masih duduk di bangku kuliah jurusan Administrasi Niaga Universitas Parahyangan Bandung (Unpar), saya buka peternakan ayam.

Buka di rumah orang tua?
Iya, jalan Garuda Bandung. Jumlah ayam dipeternakannya mencapai 1500 ekor. Omsetnya sekitar 600 ribu perbulan. Usaha yang lancar itu, saya tinggalkan ketika harus berangkat ke Singapura untuk melanjutkan studi di Jurusan Administrasi Bisnis, Stanford College.

Terus terang kuliah yang di Unpar saya tinggalkan setelah naik tingkat 2, karena saya pikir bakal lama kuliah di Unpar, bisa 5-6 tahun baru lulus. Sementara di Singapura cuma 3 tahun.

Sekembalinya dari Singapura, tahun 1984, Anda bekerja di perusahaan rekaman kaset?

Ya. Gajinya waktu itu sudah Rp. 500 ribu per bulan. Bekerja di perusahaan rekaman sebagai tenaga penjual di tahun 1983 sampai 1985. Sampai akhirnya menjadi pemimpin di tahun 1990, menjadi Presiden Direktur Alpine Record.

Perusahaan rekaman tersebut akhirnya gulung tikar?
Karena tak mampu lagi membayar royalti kepada para artis.

Anda memilih berbisnis kaos?
Ya, menjual kaos-kaos di toko kaset se-Indonesia yang telah mengenal diri saya. Dulu, belum ada kaos yang dijual di toko kaset. Maka saya jual kaos di sana. Karena, kita akan sukses apabila bisa menciptakan pasar, bukan memasuki pasar.

Banting setir menjadi pengusaha kaos bergambar?
Kaus bergambar penyanyi kelas dunia seperti Shakatak, Al Jarreau, dan Michael Frank. Modalnya didapat dari tabungan gaji selama bekerja di Alpine Record.
Kebetulan waktu itu belum banyak saingan.

Menggemari musik jazz dan country. Bekerja seorang diri, kaos-kaos itu kemudian dititipkan pada toko-toko kaset di Jakarta dan Bandung.

Benarkah, ketika ada konser penyanyi manca negara di Balai Sidang Senayan Jakarta, Anda selalu hadir?
Ha-ha-ha. Misalnya ketika konser AL Jerreau dan Tina Turner. Tentu tidak sebagai penonton melainkan pedagang kaos bergambar artis tersebut. Seorang diri, saya berjualan di emperan atau halaman parkir. Benar-benar kenangan yang indah.

Anda juga mencoba peruntungannya dengan menjual kaos di parkiran Rindu Alam, Bogor sekitar 1988-1990?

Kala itu, C-59 demikian banyak penggemarnya. Melihat banyak penggemar musik jazz, saya pun memilih memproduksi kaos bernuansa Jazz. Menawarkan masyarakat yang datang ke lokasi wisata tersebut.

Anda memulai usaha FO dari pedagang kaki lima (PKL)?

Ya, menjadi satu-satunya penjual kaus yang mengedepankan ilustrasi musik jazz.

Anda sempat mengembangkan bisnis pakaian di luar kota, seperti Bekasi, Depok, dan Cimone?
Sewa rumah di Perumnas sebagai tempat berdagang. Kaos yang dijajakan pun sangat beragam, mulai dari baju kantor, baju tidur, hingga pakaian sehari-hari. Saya memiliki 14 tempat dan target pasar saya adalah masyarakat di perumahan.

Target pasar Anda saat itu?
Mereka yang memakai sandal jepit dan berbaju daster. Kalau saya buka di mall, ongkosnya mahal dan kenyamanan mereka dalam berbelanja berkurang.

Anda kemudian usaha kecil-kecilan di rumah orang tua di Jalan Cihampelas – kawasan Jeans terbesar di Bandung kala itu?
Saya memproduksi busana jeans dengan merk Blue Notes. Penjualan waktu itu, lumayan, bisa mencapai 20-30 ribu potong perbulan. Belakangan Blue Notes berhasil masuk ke department store terkenal untuk ikut dipasarkan.

Kenapa kemudian Anda kecewa, dan memutuskan kerja sama itu?

Kerja sama dengan perusahaan besar terkadang tidak enak karena mereka menentukan segalanya sampai ke masalah harga jual dan keuntungan yang bisa saya peroleh. Cash flow saya goyang. Saya banyak memberikan utang, sementara risiko saya besar.

Jadi, Anda lebih memilih bisnis busana secara retail di 14 perumahan di Jakarta dan Bandung.
Tujuannya agar bisa secepatnya memperoleh fresh money dari penjualan.

Pemilihan lokasi di perumahan sebenarnya mencontek konsep Indomart: mendekatkan diri ke konsumen. Bisnis retail berbentuk warung pakaian yang diberi nama Gudang Stock ini ternyata mendapat sambutan luar biasa.

Bagi saya, yang berkaitan dengan fashion, wisata, dan makanan tidak pernah mati. Indonesia itu pasar yang sangat meriah.

Anda mempopulerkan Susu Lembang. Uniknya dimana?
Mencampurkan proses pembuatan tahu dengan susu yang dihasilkan di Lembang. Harga jual tahu susu juga lebih tinggi, sebesar Rp 2.500 per buah. Memerhatikan packaging Selain Tahu Susu Lembang. Ada juga tahu mentega.

Benarkah proses pembuatannya sama dengan yang dilakukan saat membuat tahu sutera?

Benar. Saya hanya mengganti nama produknya saja menjadi Tahu Mentega dari Tahu Sutera. Hasilnya, Tahu Mentega laris di pasaran. Packaging dalam berbisnis juga adalah hal yang penting. Seperti Rumah Sosis, misalnya. Packaging-nya adalah rumah. Sedangkan sosis adalah hal yang sudah umum.

Packaging yang sukses, ketika Anda membuat House of Strawberry di Cihanjuang, Bandung?
Ha-ha-ha. Mengusung konsep memetik strawberry sendiri dengan harga Rp 45 ribu per kilogram (kg). Padahal, strawberry dijual di pasar seharga Rp 15 ribu per kg. Konsep yang diusung ini ternyata laris. Setiap akhir pekan, banyak keluarga yang meluangkan waktu untuk memetik strawberry.

Anda optimis sekali di 2020?
Ya dong, optimisme. Sebab, kebutuhan akan makanan, pakaian, dan hiburan bakal terus ada dalam masa ekonomi yang bergairah maupun suram.

Bergantung dari cara orang menjualnya. Dengan kata lain, perlu inovasi untuk lebih besar daripada sekadar survive dari ketatnya persaingan.

Kuncinya adalah inovatif dan jeli melihat tren, serta jangan mengikuti orang. Tapi, ikutilah kemauan pasar. Untuk itu dibutuhkan modal dan investasi yang besar, kalau tidak makan tidak akan bisa eksis.

Bagaimana dengan situasi saat ini sebagian orang mulai malas berbelanja langsung di toko?

Daya tahan pengusaha diuji oleh ketatnya persaingan, juga kondisi ekonomi. Ini berarti kita harus menciptakan pasar.

Bila perlu, di apotek pun bisa dimasuki untuk jualan kaus. Target pasar juga penting. Dulu konsumen yang datang cukup disapa, ’Silakan, Pak atau Bu, ada yang bisa dibantu?’ Tapi, sekarang tidak.

Maksudnya gimana?
Kelas anak muda, mungkin konsumen dipanggil kakak. Kelas distro, bisa jadi bro atau sis. Hal itu membuat konsumen lebih nyaman karena merasa tidak ada sekat usia. Saya mengikuti tren, bukan berarti saya berubah bisnis.

Untuk FO masih ada dua. Dari dulu, target market saya adalah wisatawan dari Jakarta. Tambahannya dari Malaysia dan Arab Saudi.

Jadi konsep bisnis Anda sekarang ini apa?
Rumah Sosis pada 2007-2008. Resto tersebut dihadirkan dengan brand experience berupa tempat bermain atau rekreasi anak-anak. Resto-nya tentu saja yang berbau sosis. Waktu itu, belum ada yang menawarkan konsep seperti itu.

Pada 2008-2009, saya mencoba menawarkan konsep wisata berkuda dengan merekrut tukang kuda di pinggir jalan. Menyediakan kostum koboy bagi para pengunjung di sana. Inovasinya berlanjut dengan meluncurkan konsep pasar terapung di Lembang di tahun 2011.

Saya melibatkan para pedagang di sekitar Lembang untuk berdagang di sana, hanya dengan bagi hasil tanpa uang sewa. Ada banyak spot-spot menarik untuk menjadi lokasi foto di area tersebut. Tahu Susu Lembang dengan menghadirkan pabrik tahu. Tahu buatannya bisa dibawa untuk oleh-oleh wisatawan.

Kunci utama untuk mengembangkan bisnisnya ada pada kekuatan inovasi. Sejak dulu saya berganti-ganti konsep usaha, namun target market saya tidak berubah. Saya hanya harus terus bergerak, menginovasi lahan usaha dan mengikuti apa yang orang-orang

Terakhir apa yang Anda ingin ungkapkan?
Saya mempekerjakan sekitar 1.200 karyawan, bekerjasama dengan para pelaku UMKM. Saya bisa begini karena karyawan saya. Mereka aset saya yang paling berharga.

 

baca juga: majalah MATRA edisi cetak terbaru — klik ini

 

Tinggalkan Balasan