Pinalti MRT

“Mengapa naik dan turun di stasiun MRT yang sama, merupakan sebuah dosa.”

MATRANEWS.id —  1 Agustus 2019  — Rabu petang kemarin, rencananya saya melakukan pertemuan bisnis.

Pada restoran yang terletak di salah satu gedung perkantoran di Jl. Sudirman. Maka MRT adalah pilihan terbaik. Untuk menghindari kemacetan Jakarta di sore hari.

Saya membayangkan akan turun di Senayan. Perhentian ketiga setelah yang baru saja disinggahi kereta yang saya tumpangi. Nanti, dari stasiun bawah tanahnya, saya akan naik melalui tangga di sisi timur.

Lalu menyusuri trotoar jl. Sudirman yang lega ke arah utara. Mungkin sekitar 100-200 meter sebelum lokasi restoran tempat pertemuan akan berlangsung.

Tapi, di layar telepon selular saya, terlihat notifikasi.

Pesan dari rekan yang akan ditemui. Katanya, mohon maaf. Pertemuan kami harus dijadwal ulang. Ada hal mendesak yang perlu diselesaikan.

“Ops! Ok. Saya balik kanan ya?”, demikian pesan balasan yang saya kirim.

Saya pun segera mengambil keputusan. Turun di stasiun berikutnya. Blok M. Pindah ke kereta arah berlawanan yang dapat membawa saya kembali ke stasiun semula.

Dari sana, saya akan memesan ojek online lagi. Seperti ketika berangkat dari rumah sebelumnya. Lalu bergegas melanjutkan lagi pekejaan yang sempat terhenti. Gara-gara pertemuan yang batal tadi.

Menjelang tiba di stasiun Fatmawati, kereta MRT selalu melambat. Sebab, lintasannya memang melengkung, karena harus berbelok, sebelum berhenti di stasiun yang terletak beberapa ratus meter setelahnya.

Saat yang selalu saya gunakan untuk mulai melakukan prosedur pemesanan ojek online.

Tapi baterai hp saya tingga 15 persen. Biasanya cukup hingga bertemu dengan pengemudi ojek online yang menerima pesanan saya.

Kereta telah berhenti sempurna. Pintu terbuka. Saya bergegas menuju pintu keluar.

Mengeluarkan kartu yang digunakan sebelumnya. Lalu menempelkan pada alat pemindai di gerbang otomatis stasiun itu.

Tapi lampu pemindai yang biasanya berwarna hijau, kini berganti merah, dengan pesan bahwa kartu saya tak dapat diproses dan diminta segera menghubungi petugas.

Seorang petugas berseragam kemudian menghampiri untuk membantu. Kartu kemudian berpindah ke tangannya. Lalu mengajak saya ke kantor yang berada di dekat situ.

Tak lama dia kembali, dan bertanya, “Bapak tadi dari mana?”

“Dari sini, mas!”

“Oh, kartu Bapak tidak bisa digunakan. Mestinya Bapak harus keluar dulu. Baru masuk lagi. Jadi kami kenakan pinalti. Bapak bayar tunai Rp 3.000 di loket ya.”

Saya teringat supir ojek online yang sudah menunggu di bawah stasiun. Juga baterai hp yang sudah sekarat. Bukan waktunya berdebat. Lagi pula, mereka mungkin tak paham apa yang diucapkannya.

Pinalti?

Saya keluarkan lembar Rp 50 ribu. Petugas wanita di loket mengembalikan Rp 47 ribu. Sementara petugas pria tadi, meminjam kembali kartu saya.

Katanya, untuk memastikan agar dapat digunakan lagi.

Telpon saya mungkin berdering. Dari supir ojek yang dipesan tadi. Saya tak sempat mengangkat. Sebab baterainya terlanjur habis.

Kartu sudah dikembalikan dan saya tetap berdiri di depan loket. Petugas wanita di dalamnya kemudian bertanya, “Sudah, pak?”

“Receipt-nya, mana mbak?”

Tanpa ekspresi bersalah, atau malah agak kesal, dicetaknya tanda terima pembayaran pinalti itu, lalu menyerahkannya kepada saya

(Catatan: perhatikan kolom “Jumlah Terbayar” dan “Jumlah Uang Kembali” pada lembar tanda terima yang saya sertakan di sini. Tak ada angka Rp 50 ribu dan Rp 47 ribu yang saya sebutkan di atas).

Sampai di bawah, setelah menumpang mengisi baterai di warung seberang stasiun dan bisa menelpon, supir ojek yang menerima pesanan tadi, sudah membatalkannya.

Sebelumnya dia sempat mengirim pesan menanyakan posisi saya. Lalu, sayapun menghubunginya kembali. Memohon maaf hingga 2 kali. Sambil mengatakan bahwa handphone saya kehabisan baterai.

“Minta nomor rekeningnya, saya ganti ongkos tadi, mas?”

“Tak usah, pak. Terima kasih.”

Saya tak tahu, apakah pembatalan pemesanan yang dilakukan supir ojek itu, bakal mempengaruhi penilaian perusahaannya, terhadap kinerja yang bersangkutan.

Sebab setahu saya, nilai kinerja mempengaruhi perolehan bonus mereka. Mudah-mudahan pada menu aplikasi mereka, ada pilihan “penumpang tidak ditemukan”, atau “penumpang tak bisa dihubungi.”

Bagaimanapun saya merasa berdosa padanya.

+++

Pinalti adalah hukuman. Karena ada ketentuan yang dilanggar. Bisa berupa denda. Bahkan dijebloskan ke penjara. Jadi pinalti berkaitan dengan dosa atau kesalahan.

Saya tak pernah mengetahui, tak pernah pula menyadari, juga tak mengerti, mengapa naik dan turun di stasiun MRT yang sama, merupakan sebuah dosa atau kesalahan, sehingga perlu dihukum denda Rp 3000.

Meski demikian, adalah hak PT MRT Jakarta, menentukan apa yang boleh dan tidak, pada area kekuasaannya. Tapi tetap harus bijaksana. Nyatakanlah secara terbuka dan jelas.

Seperti larangan merokok yang bisa didenda hingga Rp 50 juta. Atau membuang sampah dan lain-lain yang tarifnya Rp 500 ribu.

Semua itu terkomunikasi dengan baik kepada penumpangnya. Sebab, terpampang jelas pada seluruh stasiun mereka. Juga di dalam kereta.

Tapi saya belum pernah menemukan, maklumat yang melarang penumpang, naik dan turun di stasiun yang sama. Baik di dalam kereta. Maupun di pelataran stasiun-stasiunnya.

Apakah saya luput melihatnya?

Tanpa pemberitahuan, pernyataan pinalti itu adalah sebuah kesemena-menaan. Menyatakan seseorang bersalah, tak bisa dilakukan sembarangan. Sama saja dengan menudingnya berdosa.

Menyebabkan yang bersangkutan digelayuti penyesalan. Apalagi jika dihubung-hubungkannya dengan siksa “neraka”.

Jadi, sampaikanlah “fardlu ain” maupun “fardlu kifayah” yang harus dimaklumi semua prnumpang dengan baik. Mereka yang tak mengetahui, sesungguhnya tak berdosa. Tak bersalah. Tuhan pun memaafkannya.

+++

Saya sebetulnya lebih mengkhawatirkan, tepatnya curiga, algoritma sistem pembayaran MRT Jakarta, luput memahami kemungkinan itu.

Sebab, berdasarkan ketentuan tarif yang sempat tertunda-tunda, sebelum mereka beroperasi beberapa waktu lalu, formula yang telah dipublikasikan adalah, setiap penumpang dikenakan biaya Rp 3 ribu setiap kali melalui gerbang pembayaran. Lalu dikenakan tarif Rp 1000 untuk setiap stasiun yang dilaluinya.

Artinya, jika ada penumpang yang memasuki platform untuk naik ke dan turun dari kereta pada sebuah stasiun, tapi kemudian memutuskan keluar lagi, maka yang bersangkutan dikenakan biaya Rp 3 ribu.

Pantaskah hal tersebut dipandang sebagai dosa atau kesalahan?

Menurut saya tidak. Sepenuh keyakinan pula dapat saya katakan, ketentuan itu tidak diperbolehkan.

Mengapa?

Coba bayangkan jika pembatalan dari rekan yang ingin saya temui kemarin, disampaikannya sesaat sebelum saya menaiki kereta di stasiun Fatmawati tersebut.

Tentu saya langsung mengurungkan perjalanan dan melangkah keluar lagi. Apakah PT MRT Jakarta akan mengatakan bahwa saya melakukan dosa atau kesalahan sehingga harus dikenakan pinalti?

Dari sini, bisa disimpulkan, algoritma sistem yang merupakan cerminan cara berfikir pengelola MRT Jakarta, tak paham soal pelayanan (service). Terlebih lagi pelayanan publik.

Sebab yang terakhir, sejatinya menyajikan layanan prima demi kepentingan umum. Hal yang harus selalu berada pada prioritas utama (top of mind) dari seluruh direksi hingga jajaran yang bekerja di sana.

Mereka dibayar dengan uang Negara — yang sebagian besarnya bersumber dari keringat masyarakat pembayar pajak — untuk melakukan hal itu.

Sama sekali bukan mencari untung. Sebab, pengoperasian dan pengelolaan moda angkutan umum massal seperti MRT dan Busway, secara berdiri sendiri, tak akan pernah memberikan keuntungan secara finansial.

Faktanya, nilai subsidi per penumpang yang diangkut Transjakarta, justru terus meningkat setiap tahun.

Atau, karena keinginan berlebih ingin mengejar pendapatan untuk menutupi sebagian subsidi, PT MRT Jakarta hendak memberlakukan keberadaan masyarakat di area stasiun dan kereta pengangkutnya, sebagai aktifitas tamasya?

Boleh saja. Tambahkanlah algoritma waktu pada sistem tarif yang dikenakan. Semakin lama penumpang berada di wilayah kekuasaannya, semakin mahal biaya yang dikenakan.

Tapi jangan seperti jalan tol.

Janjinya — sesuai undang-undang dan peraturan yang berlaku — kecepatan minimum adalah 60 km per jam. Tapi karena kekuasaan hampir absolut di tangan mereka, tak pernah berfikir soal kompensasi atas ketidak mampuannya memenuhi “standar” pelayanan itu.

Terutama ketika terjadi kemacetan parah. Hingga para pengguna tak lagi menggerutu dan menganggapnya biasa. Karena begitulah memaknai kehadiran Negara di republik ini.

baca juga: majalah MATRA edisi cetak — klik

Tinggalkan Balasan