Seminar 25 Tahun Kelahiran AJI, The Biggest Challenge of Journalisme in Digital Era

 

S.S Budi Rahardjo, Pemred Matra dan CEO majalah eksekutif memberi ucapan selamat kepada organisasi AJI yang ultah ke 25 tahun.

 

MATRANEWS.id — Sejarah mencatat,  Aliansi Jurnalis Independen (AJI) lahir sebagai perlawanan komunitas pers Indonesia terhadap kesewenang-wenangan rejim Orde Baru.

Ada sekitar 100 orang yang terdiri dari jurnalis dan kolumnis berkumpul di Sirnagalih, Bogor, 7 Agustus 1994. Pada hari itulah mereka menandatangani Deklarasi Sirnagalih, serta mengumumkan berdirinya AJI.

Mulanya adalah pembredelan Detik, Editor dan Tempo, 21 Juni 1994. Ketiganya dibredel karena pemberitaannya yang tergolong kritis kepada penguasa.

Tindakan represif inilah yang memicu aksi solidaritas sekaligus perlawanan dari banyak kalangan secara merata di sejumlah kota.

Deklarasi Sirnagalih,  menuntut dipenuhinya hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers, menolak wadah tunggal untuk jurnalis, serta mengumumkan berdirinya AJI.

Pada masa Orde Baru, AJI masuk dalam daftar organisasi terlarang. Karena itu, operasi organisasi ini di bawah tanah. Roda organisasi dijalankan oleh dua puluhan jurnalis-aktivis.

Gerakan bawah tanah ini menuntut biaya mahal. Tiga anggota AJI, yaitu Ahmad Taufik, Eko Maryadi dan Danang Kukuh Wardoyo dijebloskan ke penjara, Maret 1995.

Taufik dan Eko masuk bui masing-masing selama 3 tahun, Danang 20 bulan. Menyusul kemudian Andi Syahputra, mitra penerbit AJI, yang masuk penjara selama 18 bulan sejak Oktober 1996.

Selain itu, para aktivis AJI yang bekerja di media dibatasi ruang geraknya. Pejabat Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia juga tidak segan-segan menekan para pemimpin redaksi agar tidak memperkerjakan mereka di medianya.

Organisasi AJI diterima secara resmi menjadi anggota IFJ, organisasi jurnalis terbesar dan paling berpengaruh di dunia, yang bermarkas di Brussels, Belgia, pada 18 Oktober 1995.

Setelah Soeharto jatuh, pers mulai menikmati kebebasan. Jumlah penerbitan meningkat. Setelah reformasi, tercatat ada 1.398 penerbitan baru.

Setelah rejim Orde Baru tumbang oleh “Revolusi Mei 1998”, kini Indonesia mulai memasuki era keterbukaan. Rakyat Indonesia, termasuk jurnalis, juga mulai menikmati kebebasan berbicara, berkumpul dan berorganisasi.

Departemen Penerangan, yang dulu dikenal sebagai lembaga pengontrol media, dibubarkan. Undang-Undang Pers pun diperbaiki sehingga menghapus ketentuan-ketentuan yang menghalangi kebebasan pers.

AJI, yang dulu menjadi organisasi terlarang, kini mendapat keleluasaan bergerak.

Ulang Tahun ke 25

Mengusung tema besar “The Biggest Challenge of Journalism in Digital Era“. Konferensi regional dan nasional digelar pada Selasa (6/8/2019), untuk membedah persoalan dan tantangan di era digital tersebut.

Ketua Umum AJI Abdul Manan mengungkapkan, ada banyak kegelisahan mengenai pers dan praktik jurnalisme hingga model bisnis di era digital. Rupanya hal tersebut tak hanya terjadi di Indonesia dan Asia Tenggara melainkan di berbagai negara di seluruh dunia.

Era digitalisasi juga mendatangkan kekhawatiran terhadap iklim kebebasan pers.

Komisioner Dewan Pers Asep Setiawan dalam paparannya mengatakan, tantangan nyata di era digitalisasi ini adalah adaptasi jurnalis dan media terhadap beragam platform digital. Realitanya adaptasi tersebut menuntut lingkungan dan kemampuan kerja baru bagi jurnalis.

Seminar Regional bertajuk The Challenge of Journalist and Media in Southeast Asia Region menghadirkan para pembicara Nonoy Espina (NUJP Filipina), Steven Gan (Pemimpin Redaksi Malaysiakini.com, Malaysia), Jane Worthington (Direktur IFJ Asia Pasific berbasis di Sydney, Australia), Adam Portelli (Victorian Branch of Media Entertainment and Art Alliance, Australia) dan Asep Setiawan (Anggota Dewan Pers, Indonesia).

Endah Lismartini, Ketua Panitia HUT dan Konferensi Aji 25 tahun menyebut, jalannya konferensi bisa dilihat live streaming melalui twitter @AJIIndonesia.

Seminar Nasional disampaikan oleh para pemimpin redaksi media, stakeholder pers, dan termasuk empat pemenang call paper yang diharapkan memberikan masukan baru untuk media dan pers di Indonesia. Berlangsung di Hotel Luwansa, Jl Rasuna Said, kav C-22, Kuningan, Jakarta Selatan.

baca juga:  majalah Matra edisi cetak terbaru — klik ini

 

Tinggalkan Balasan