Sisi Gelap Ekonomi Neolib –

MATRANEWS.id — Dalam beberapa kali diskusi dengan para aktifis maupun tokoh-tokoh yang bukan ekonom saya sering ditanya apa itu ekonomi neolib (neo liberal).

Kemudian, pertanyaan lanjutannya adalah, mengapa merugikan Indonesia, apa yang salah dengan ekonomi neolib, dan apa bedanya dengan sistem ekonomi Pancasila atau dengan Pasal 33 UUD 1945.

Apa hubungannya dengan para ekonom yang biasa dikenal dengan ekonom Mafia Berkeley yang pro neolib?

Secara popular, saya jelaskan bahwa ilmu ekonomi dan ekonomnya itu tidak selalu hitam putih, dan bahwa pada intinya ilmu ekonomi adalah bagaimana cara mengalokasikan sumber-sumber ekonomi yang ada untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia atau untuk kemakmuran rakyatnya dengan cara yang seadil-adilnya.

Instrument yang dipakai untuk mengalokasikan sumber-sumber ekonomi itu adalah pasar, dan pasar itu bisa bermacam-macam aturan dan pemain atau pelakunya, baik swasta ataupun negara yang dalam hal ini atau lebih tepatnya adalah pemerintah.

Seperti kita ketahui bahwa besaran ekonomi dalam suatu negara lazimnya disebut atau diukur dengan nilai PDB (Pendapatan Domestik Bruto) yang bisa diukur atau dihitung dari penjumlahan nilai konsumsi masyarakat, belanja negara, investasi, dan net ekspor-impor.

Bisa juga diukur dari sektor-sektornya seperti pertanian, manufaktur, transportasi, perdagangan, keuangan, pemerintah, dan lain-lain.

Meskipun riilnya atau volume transaksinya sama saja atau itu-itu, juga tetapi bila pelakunya yang dominan adalah negara, biasanya nilai rupiahnya kecil karena umumnya bersifat non-commercial values atau murah sehingga dalam perhitungan atau penjumlahan PDB-nya kecil.

Misalnya jasa pemakaian jalan non toll yang dibangun negara adalah gratis (karena public goods) sehingga nilainya dalam perhitungan PDB tidak nampak.

Tetapi, bila jalan tersebut di swastakan (private goods) sehingga menjadi komersil atau berbayar maka nilainya dalam PDB nampak.

Dengan kata lain semakin besar peran negara dalam perekonomian atau pasar akan semakin besar porsi public goods-nya dan berarti semakin besar kegiatan atau transaksi non-commercial valuesnya sehingga nilai rupiah PDB-nya cenderung kecil.

Sebaliknya bila public goods dan servicenya digeser atau diubah atau jatuh ketangan swasta, maka barang atau jasa yang semula gratis atau berharga murah akan menjadi berbayar atau bernilai komersil atau diperjual belikan sehingga pada akhirnya memperbesar nilai PDB-nya.

Dengan naiknya atau membesarnya PDB maka pendapatan per-kapita penduduk, -diatas kertas,- meningkat. Tentu saja peningkatan pendapatan per kapita ini belum tentu berarti peningkatan pendapatan riil penduduk, dan belum tentu meningkatkan kesejahteraan penduduknya.

Ekonomi neolib menginginkan semaksimal mungkin peran swasta dalam pengadaan barang dan jasa yang di perjual belikan di pasar, dan sebaliknya seminimal mungkin peran negara dalam perekonomian atau pasar agar PDB-nya cepat meningkat atau membesar dan dengan sendirinya hitungan income per kapita penduduk juga meningkat.

Ekonomi neolib percaya bahwa semakin besar peran swasta dalam pasar atau dengan kata lain dalam pengalokasian sumbersumber ekonomi akan semakin efisien dan harga-harga semakin bersaing.

Dengan demikian produksi barang dan jasa sebesar-besarnya harus ditangani swasta dan negara harus dijauhkan dari berperan dalam pasar apalagi dari produksi dan distribusinya.

Sayangnya, target-target “ideal” neolib tadi tidak selalu terwujud sebab cenderung mengakibatkan kenaikan harga-harga (inflasi) dan membesarkan jurang antara si kaya (kapitalis) dengan si miskin (rakyat kebanyakan) seperti tercermin dari kenaikan Gini Ratio yang memburuk.

Singkatnya, dengan perubahan menuju ke ekonomi neo liberal tadi berarti transaksi-transaksi atau kegiatan ekonomi dan sosial yang lazimnya tidak diperjual belikan, tidak dikomersilkan, tidak diperdagangkan, atau tidak diekonomi– pasarkan, kini berubah menjadi di perjualbelikan atau dikomersilkan sehingga mempunyai nilai uang.

Bahkan saking kebablasannya sampai-sampai pencoblosan suara dalam Pemilu ikut diperjual- belikan.

Dengan komersialisasi yang tidak wajar itu atau kebablasan tadi, konon jabatan strategis atau jabatan publik sekalipun ikut diperjual-belikan seperti kasus di Pemda Kabupaten Klaten yang Bupatinya terkena OTT oleh KPK.

Karena semua kegiatan sosial dan bahkan keagamaan ikut dikomersilkan tentu saja pemenangnya adalah mereka yang berduit dan muncul istilah-istilah sinis seperti wani piro (berani bayar berapa) dan Keuangan Yang Maha Kuasa.

Sejalan dengan itu faham ekonomi neolib cenderung tidak menyetujui adanya subsidi-subsidi negara, keberadaan BUMN atau lembaga negara yang mengurusi langsung pengadaan atau produksi dan distribusi barang seperti Bulog yang digembosi.

Konsekwensinya, ekonomi neolib selalu mengupayakan pencabutan subsidi negara terhadap barang dan jasa, melakukan privatisasi BUMN, menghilangkan atau mengurangi proteksi dan mencabut daftar negatif investasi asing.

Proses perubahan menuju ke ekonomi neolib cenderung menyakitkan rakyat kecil yang kehilangan subsidi harga dan berbagai macam jenis perlindungan negara khususnya terhadap barang dan jasa yang merupakan kebutuhan pokok hidup sehari-hari.

Sementara negara mulai kehilangan kontrol terhadap pasar, swasta semakin mampu mencengkeram pasar.

Dibarengi dengan pengaturan negara yang lemah dan inkonsisten, perubahan ke ekonomi neolib ini mengakibatkan negara cenderung bisa didikte pengendali pasar yang kini tidak lain adalah kartel-kartel dagang. Inilah yang sering dikritisi bahwa kini kedaulatan negara dikalahkan oleh kedaulatan pasar yang nota bene adalah kartel-kartel dagang atau pengusaha kuat.

Pihak swasta (kapitalis besar) yang menampung bisnis yang semula dikuasai negara dan BUMN tentu tidak menginginkan bisnis tersebut kembali lagi ketangan negara. Sebaliknya rakyat kecil yang kini merasakan semua serba mahal, cenderung menginginkan kembalinya kehadiran dan peran negara dalam pengadaan dan distribusi barang agar terkendali.

Sementara subsidi-subsidi negara untuk rakyat kecil dikurangi bahkan dicabut kini ada keputusan untuk memperbesar dana bantuan (subsidi) negara terhadap parpol yang naik 925% yang membebani APBN, yaitu dari Rp108,-/suara menjadi RP1000,-/suara.

Di tengah era reformasi politik proses perubahan politik kini juga membutuhkan uang yang cukup besar baik untuk menjadi anggota DPR, presiden-wakil presiden, gubernur, bupati/ walikota, dan jabatan-jabatan publik lainnya.

Dengan demikian proses perubahan menuju ke-neolib ini sebenarnya tidak saja di bidang ekonomi tetapi juga dibidang politik. Karena semua serba membutuhkan uang dapat diperkirakan dan bahkan sudah terbukti akan melahirkan “budaya” korupsi dan/atau pengendalinya adalah mereka yang kuat secara finansial.

Kalau saja tidak ada perlawanan dari mereka yang menentang komersialisasi yang tidak semestinya, bukan tidak mungkin fungsi-fungsi pelayanan publik seperti paspor, KTP, SIM, akta lahir, pensertifikatan tanah, dan lain sebagainya sudah jatuh ketangan swasta.

Kita tentunya ingat dengan Sisminbakum (pengesahan badan hukum perseroan terbatas oleh Kemenkumham) yang pernah jatuh ketangan swasta dengan fee yang ketika itu langsung meningkat +/- 6 (enam) kali lipat.

Sementara penerimaan negara dari proses itu (Sisminbakum) tetap sama tetapi masyarakat harus membayar berlipat-lipat yang menjadi keuntungan si pengusaha swasta yang mendapat limpahan kewenangan publik dari Kemenkumham.

Atau proses e-KTP yang melibatkan terlalu jauh pihak swasta sehingga bukan saja terjadi skandal korupsi dan keterlambatan pelayanan KTP tetapi yang lebih memprihatinkan lagi adalah dikuasainya data penduduk Indonesia oleh pihak swasta.

Atau jabatan-jabatan publik dan karir sipil yang diisi melalui proses pelelangan, bukan lagi berdasarkan kondite atau catatan karier yang bersangkutan.

Bersyukur bahwa sistem pelelangan jabatan ini tidak sampai memasuki jabatan di Kepolisian dan TNI. Proses neo-liberalisasi yang kebablasan ini perlu diakhiri sebelum memasuki wilayah Kepolisian dan TNI.

Entah bercanda atau serius seorang kawan sampai mengingatkan jangan sampai TNI berubah dari prajurit pejuang menjadi semata-mata prajurit profesional.

Kalau sudah demikian maka cepat atau lambat negara ini akan dikendalikan atau diatur oleh mereka yang berduit.

Itulah sisi gelap ekonomi neolib.

Diatas itu semua, faham ekonomi neolib juga bertentangan dengan faham Sistem Ekonomi Pancasila sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanatkan pentingnya negara berperan aktif dalam perekonomian nasional.

Catatan DR Fuad Bawazier Jl. Banyumas No. 4 Menteng, Jakarta Pusat
____________________________________

Tinggalkan Balasan