Budaya  

Sketsa Matra

MATRANEWS.id — DIA MASIH MUDA,  penuh semangat, pembaruan masa depan seakan bertumpu di atas pundaknya.

“Dunia menunggu kiprahku,” begitu dia bilang berkali-kali.

“Dan aku harus berbuat sesuatu”

Ya, ya, ya.

Dia datang ke rumahku pagi-pagi sekali. Dengan nekat membangunkan aku dari tidur.

Lalu dia mulai mengeluhkan banyak hal. Padahal hari ini hari minggu. Suaranya keras dan berapi-api. Tangan sering dikepalkan, seakan hendak meninju “musuh” yang ada dalam bayangannya.

Terkadang dia marah, kecewa, dan Cuma sedikit tertawa.

Itu pun tidak terlalu tepat jika disebut sebagai tawa. Mungkin lebih banyak tangisannya. Baginya tak ada yang lucu, tiada melodrama. Semuanya tragedi. Dan, dia berikrar berbuat sesuatu untuk membenahi semua ketidak beresan.

Dia wartawan, penyair, dan pengamat masalah-masalah sosial. Dia ada dalam keadaan stres berat. Sebagian cuplikannya

“Mataku kini mulai gampang lelah, Saat dipergunakan untuk membaca, timbul rasa pedih. Mendadak ada yang mengganjal. Itu membuat huruf-huruf yang kubaca menjadi bergoyang-goyang.

“Sering tanpa kutahu darimana datangnya, pendar-pendar cahaya mendadak menusuki penglihatan. Sangat menyakitkan. Maka, kini, aku mulai tak mampu menyerap makna dari kalimat atau bahkan kata yang kubaca.”

“Mata hanya mampu menangkap sosok atau garis-garis kecil, hitam, bertumpukan, dan tak fokus.

Aku yakin semua yang tampak kabur itu pastilah sesuatu yang berbicara. Tapi aku tak mampu mengurainya. Jika mata kupaksa keras mencari semua yang tersembunyi di balik kalimat atau kata, yang datang hanya pusing kepala.”

“Membaca, akhirnya, berubah menjadi penderitaan. Beban baru yang tak kutahu harus disiasati bagaimana. Padahal, membaca adalah hobiku paling utama. Aku bahkan sudah lama tak menganggapnya. Cuma sebagai hobi belaka.”

:Membaca itu tugas, kewajiban.Tapi dengan kondisi mata seperti yang kumiliki kini, alangkah sulit menyesuaikan diri.”

“Mata adalah jendela dunia.”

“Dan membaca, semua yakin, itulah pintu menuju pengetahuan”.

“Melihat” jadi salah satu gerbang menuju rasa syukur kepada Tuhan yang telah menganugerahi kita tempat di dunia seindah ini. Tapi, kini, melihat sudah berubah jadi malapetaka. Dunia seharusnya memang indah.

Demikian digariskan. Kita memikul tugas berat untuk menjadikan dunia surga sementara. Tapi nyatanya? Kita gagal.”

“Apa yang kita lihat tidak selaras dengan apa yang kita rasa. Semua yang tampak bukan yang seharusnya kita harapkan. Tapi aku yakin, mataku jujur.”

“Jadi apa yang sudah kulihat selama ini? Horor. Teror. Error. Bagaimana bisa betah? Wujud bergerak karena roh. Tapi wujud ataupun roh yang kulihat bukan yang seharusnya hadir.”

“Dan membaca! Ini juga malapetaka.”

“Pertanyaan yang berputar-putar mengganggu tidurku selalu: apa betul kita benar-benar mampu membaca? Apa betul kita membaca apa yang seharusnya kita baca?”

“Aku tak yakin. Huruf-huruf Cuma simbol. Jika dirangkai dalam kata atau kalimat, ia pasti menyiratkan makna. Dengan mata sehat saja, aku sering salah mengurai makna apa yang kubaca, apalagi dengan mata yang mulai gampang lelah.”

Dia masih terus menumpahkan segala ganjalan hati.

Hingga hari siang, lalu makan malam, kemudian menjelang dini hari. Suaranya masih keras ketika kokok ayam terdengar, berbarengan dengan dentang jam empat kali. Aku sesungguhnya sudah capek, tapi tak tega meninggalkannya.”

“Aku tahu dia baru saja dipecat dari pekerjaan. Dan kini, ikrarnya ingin memperbaiki dunia dengan cara melakukan berbagai penelitian. Mandiri.

Dia muda, masih sangat muda. Tangan tak bosan mengepal untuk memberikan tekanan pada teriakan, “Kita tak pernah mampu membaca.

Kita selalu salah membaca makna. Kita selalu terpeleset, terjerembab, terpental, tergusur, terpuruk….”

Sungguh, aku tak tahu terusan kalimatnya. Suaranya makin lama makin jauh, semakin ada diawang-awang.

Mungkin mataku sudah terpejam. Tapi lamat-lamat terdengar komentar, entah dari siapa: Kalau tak sanggup lagi membaca, mengapa memaksakan diri terus membaca? Lagi pula, kan, ada kacamata yang pas. Ya, ya, ya.

 

Tinggalkan Balasan