Hukum  

TNI-Polri Terpapar Radikalisme = Terpapar Narkoba?

foto Anang Iskandar-dok (istimewa)

“Hal yang sama menyedihkan, kalau sudah TNI-Polri kena (narkoba) itu berbahaya,” kata Anang Iskandar, mantan Kepala BNN RI, menyikapi situasi terakhir.

MATRANEWS.id—Ramai menjadi perbincangan di dunia maya hingga warung kopi dan pembicaraan masyarakat, ketika seorang istri tentara mencuit sesuatu di medsos, kemudian sang suami dipecat gara-gara itu.

Orang lantas teringat, ketika Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu menyebut ada sekitar tiga persen prajurit TNI yang terpapar radikalisme dan tak setuju Pancasila sebagai ideologi negara.

Tak hanya tentara TNI, prajurit yang masih aktif maupun purnawirawan untuk menepati sumpah prajurit. Terpapar radikalisme, menjadi trending topik.

Hasil penelitian menyebut, ada  23,4 persen mahasiswa setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam atau khilafah.

Sedangkan 23,3 persen pelajar SMA setuju jihad untuk negara Islam. 18,1 persen pegawai setuju tak setuju dengan ideologi Pancasila. 19,4 PNS menyatakan tidak setuju dengan ideologi Pancasila.

Dan, ada sekitar 9,1 persen pegawai BUMN yang menyatakan tak setuju dengan ideologi negara, dan kurang lebih 3 persen ada TNI terpengaruh dan tak setuju Pancasila. Sungguh memprihatinkan.

Baik tentara, masyarakat atau polisi yang masuk jaringan teroris, kalau terbukti, akan dihukum. Untuk tentara, bukan hanya dicopotnya jabatan saja.

Pun demikian, karena mereka dianggap telah melakukan tindak indisipiner, pihak TNI memberikan hukuman tambahan. Yakni berupa kurungan selama 14 hari karena dianggap telah melakukan pelanggaran ringan.

Sanksi ini diambil karena keduanya telah dianggap memenuhi pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2014 yaitu hukum disiplin militer.

Perlu Rehabilitasi Bagi Anggota TNI – Polri

“Hal yang sama menyedihkan, kalau sudah TNI-Polri kena (narkoba). Dan itu, berbahaya,” kata Anang Iskandar, mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI, menyikapi situasi terakhir.

Anang menyebut, terpapar narkoba di kalangan TNI dan Polri juga tak kalah berbahaya dengan radikalisme.

Oknum TNI-Polri yang menyalahgunakan narkoba, harus diakui, penyebaran narkoba telah menyentuh semua lapisan. TNI dan Polri tentu saja sudah melakukan penertiban di internalnya.

“Siapa saja, dimana saja, kapan saja di seluruh dunia, kalau tertangkap melakukan pelanggaran hukum memiliki, menguasai narkotika dengan jumlah terbatas dan digunakan untuk diri sendiri, termasuk anggota TNI dan Polri wajib dijatuhi sanksi alternatif berupa sanksi rehabilitasi,” tutur Anang Iskandar.

Anang Iskandar menjelaskan, dengan sistem peradilan pidana di Indonesia, kewenangan menjatuhkan sanksi rehabilitasi secara khusus diberikan kepada hakim (pasal 103/1) bersifat wajib (127/2), baik hakim peradilan umum maupun hakim militer bila masuk yuridiksi peradilan militer.

Jenis sanksi rehabilitasi, tercantum dalam pasal 103/2 UU narkotika bahwa masa menjalani rehabilitasi dihitung sebagai masa menjalani hukuman, ini cantolan bahwa rehabilitasi sebagai jenis hukuman bagi penyalah guna narkotika.

Sanksi rehabilitasi, merupakan sanksi yang relatif baru bagi anggota TNI – Polri yang menyalahgunakan narkotika untuk diri sendiri yang notabene adalah orang sakit adiksi ketergantungan narkotika dan gangguan kejiwaan.

“Tempat menjalani rehabilitasi bagi anggota TNI – Polri yang dijatuhi sanksi rehabilitasi adalah lembaga rehabilitasi atau rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan,” tutur pria kelahiran Mojokerto, 18 Mei 1958 itu.

UU Narkotika Memberikan Unsur Pemaaf Bagi TNI – Polri

Sayang, masih menurut Anang, hal ini sampai sekarang tidak dilaksanakan, apa lagi secara teknis juga tidak ada pengaturan detailnya tentang administrasi yang mengatur penempatan kedalam lembaga rehabilitasi baik selama penyidikan,  penuntutan, pengadilan dan penjatuhan sanksi rehabilitasinya.

“Penyidik, penuntut umum dan hakim baik peradilan umum maupun peradilàn militer tidak menjalankan amanat UU narkotika,” mantan Bareskrim Polri ini berterus terang.

Padahal, politik hukum negara yang tercantun dalam tujuan UU narkotika bahwa negara menjamin penyalah guna direhabilitasi. Oleh karena itu, upaya paksa penahanan dan penjatuhan sanksi penjara digantikan dengan penempatan dalam lembaga rehabilitasi dan diberikan sanksi rehabilitasi.

Selain sanksi pidana rehabilitasi sebagai hukuman pokok bagi anggota TNI – Polri, mereka juga dapat dikenakan sanksi tambahan berupa hukuman disiplin dari atasan yang berhak menghukum berupa pemecatan dari dinas TNI dan Polri.

Anang pun memberi wacana dan referensi, bahwa UU narkotika memberikan unsur pemaaf kepada anggota TNI – Polri dan masarakat yang menjadi penyalah guna narkotika.

“Dengan catatan, melaksanakan wajib lapor ke IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor) yaitu tempat rehabilitasi atau rumah sakit yang ditunjuk Menkes untuk mendapatkan kesembuhan (pasal 55),” tutur putera dari pasangan Suyitno Kamari Jaya dan Raunah. Ayahnya berprofesi sebagai tukang potong rambut.

“Anggota TNI -Polri dan masyarakat yang memenuhi kewajiban wajib lapornya ke IPWL maka status hukumnya berubah menjadi tidak dituntut pidana (pasal 128),” tutur pria yang sempat menjadi calon legislator DPR RI dari PPP untuk Daerah Pemilihan Jawa Timur VI yang meliputi Kabupaten dan Kota Blitar, Kabupaten Tulungagung serta Kabupaten dan Kota Kediri.

Artinya, Anang memaparkan, anggota TNI – Polri dan masarakat yang statusnya “tidak dituntut pidana” bila kambuh mengkonsumsi lagi dan ditangkap oleh yang berwajib, langsung dimasukkan ke lembaga rehabilitasi, tidak lagi dituntut ke pengadilan.

Karena anggota TNI – Polri terikat peraturan disiplin maka disamping secara pidana dijatuhi sanksi rehabilitasi, Ankumnya dapat menjatuhkan hukuman disiplin berupa pemecatan, penundaan kenaikan pangkat maupun kenaikan gaji berkalanya.

Di Dalam Penjara & Peredaran Gelap Narkotika “Ditolerir” Aparat Lapas.

“Akan menjadi kontra produktif kalau anggota TNI – Polri yang menyalahgunakan narkotika untuk diri sendiri diberi sanksi penjara,” ujar Anang Iskandar, pria yang hingga kini rajin menulis kolom dan terus menjadi aktivis anti narkoba ini.

Masih dalam penjelasan Anang, “UU saja memberikan unsur pemaaf, agar penyalah guna menjalani rehabilitasi, kenapa hakim nekat menjatuhkan sanksi penjara. Padahal ada pilihan bagi hakim penjatuhkan sanksi penjara atau sanksi rehabilitasi.”

Sanksi penjara tidak membuat penyalah guna kapok atau jera tetapi justru sebaliknya akan menjadi residivis. “Sekali lagi, ingat bahwa penyalah guna narkotika adalah orang sakit kecanduan dan mendapatkan gangguan mental kejiwaan,” demikian Anang menegaskan.

Anang memberi contoh, di kalangan masyarakat non TNI – Polri yang terkenal sebagai residivis penyalahguna narkotika adalah: Jeniver Dunn, Rizky dan Darma Jogya, mereka melakukan kejahatan berulang / residivisme hingga 3 kali dijatuhi sanksi penjara.

Ada lagi nama beken seperti Roy Marten, Polo dan Tio Pakusadewo yang juga mengalami menjadi penyalahguna berulang. “Mereka, kalau tidak mendapatkan upaya rehabilitasi, tinggal menunggu kapan mereka tertangkep ke tiga, ke empat kali dan selanjutnya,” ujarnya.

Secara empiris, Anang menjelaskan, bila penyalahguna dipenjara akibat logisnya adalah terjadi penyalahgunaan narkotika di dalam penjara dan peredaran gelap narkotika yang “ditolerir” oleh aparat lapas.

“Ini terjadi di Lapas non TNI – Polri, yang tidak menutup kemungkinan terjadi di lapas TNI – Polri,” ujar Anang mengingkatkan.

Masih dalam wawancara terhadap pria yang bergelar doktor, SH, MH dan menjabat  Kepala Badan Narkotika Nasional tahun 2012-2015 itu, apabila penjagaan diketati oleh petugas, dipastikan aparat dihadapkan pada masalah sakau secara bersama sama di dalam penjara karena putus obat / narkotika.

Korban penyalahgunaan Narkotika Berbeda Dengan Pecandu.

“Sakau bareng itu, justru beresiko tinggi bagi aparat lapas,” ujar Anang. “Dapat menyebabkan terjadinya pembakaran dan pembunuhan serta kerusuhan dalam lapas yang disebabkan karena kebringasan penyalah guna saat putus narkotika atau sakau,” jelasnya.

Itu sebabnya, masih menurut Anang, secara rasional petugas lapas “melonggarkan” pengawasannya takut terjadi “sakau bareng” selama di Lapas dan akhirnya “membiarkan” penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di dalam Lapas.

Dengan sistem peradilan pidana, hakim pengadilan umum maupun militer, menjatuhkan sanksi penjara terhadap perkara penyalahgunaan narkotika, seakan akan benar.

Padahal,  “Menahan tersangka  dan memenjarakan penyalah guna narkotika  bertentangan dengan UU narkotika dan akal sehat.”

Anang mengatakan, apalagi politik hukum negara jelas tercantum tujuan dibuatnya UU narkotika menyatakan bahwa yang diberantas adalah pengedar, sedangkan penyalah guna dijamin mendapatkan rehabilitasi.

Kalau baru pertama kali menyalahgunakan narkotika UU menyatakan sebagai korban penyalahgunaan narkotika. Kalau sudah sering menyalahgunakan, disebut Pecandu.

Secara yuridis penyalahguna yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika dan pecandu wajib menjalani rehabilitasi (pasal 54).

Oleh karena itu, perlu perubahan implementasi dalam menangani perkara penyalahgunaan narkotika, tidak lagi melakukan penahanan dan pemenjaraan.

Penahanan dan pemenjaraan disamping bertentangan dengan UU narkotika, juga menjadi beban orang tua, beban masarakat serta beban bangsa dan negara.

Penegakan hukum dengan pemenjaraan hanya menghasilkan kerugian dan menghasilkan generasi mabuk narkotika serta  menyebabkan lost generation.

“Ini berlawanan arah dengan tujuan pemerintah yang sedang membangun sumber daya manusia sehat, cerdas, jujur dan profesional,” tutur Anang Iskandar yang bisa disebut sebagai aktivis media digital ini.

Saat Anang Menerima Matra Award, diserahkan oleh Pemred Majalah Matra, beberapa waktu lalu.

Bersama aktivis LSM Anti Narkoba, Asri Hadi dan S.S Budi Rahardjo, diskusi soal radikalisme dan bahaya narkoba.

baca juga: majalah Matra edisi cetak — klik ini

Tinggalkan Balasan