Budaya  

Untuk Yang Masih Jomblo, Baca Dulu Ini

“We’d both like to say a HUGE terimakasih for all the kind messages we’ve received in the last few hours congratulating us on our marriage.

” And also kepareng ngaturaken matur sembah nuwun kalian kadang- kadang kangmas diajeng ing pundi ke mawon.”

Pernikahan pria asal Muntilan dengan bule cantik dari Inggris menjadi viral. Foto keduanya mulai muncul di dunia maya, termasuk foto foto kemesraan keduanya.

Menjadi semacam “penyejuk” di tengah panasnya berita-berita politik. Ketika tak ada seorang pun yang pernah bisa meramalkan, apalagi merencanakan percintaan dan perjodohan dirinya.

Seperti halnya kematian, cinta dan jodoh masih dianggap suatu misteri dalam hidup kita.

Dalam masyarakat tradisional, biasanya perjodohan diatur oleh pihak keluarga. Karena itu, perkawinan biasanya terjadi antara sesama anggota komunitas dalam kampung, desa, yang klan-nya sama.

Benny Subianto pernah menulis ketika proses migrasi telah menyebabkan seorang migran menemukan cinta dan jodohnya dari luar komunitas ia berasal. Ketika orang Cina dari Provinsi Fujian dan Guangdong, yang pada umumnya adalah laki-laki lajang, merantau ke Asia Tenggara, mereka pun kemudian menemukan cinta dan jodoh di tempatnya menetap.

Karena itu, kini terdapat apa yang dikenal sebagai Cina-Peranakan di Indonesia atau Cina-Baba di Malaysia. Keduanya merupakan hybrid dari perkawinan dua bangsa yang berbeda.

Demikian juga halnya dengan percintaan antara tuan-tuan kolonial Belanda dan perempuan lokal di Hindia Belanda.

Kolonialisme pun melahirkan institusi yang disebut “nyai” alias perempuan lokal yang diperistri laki-laki Belanda. Kisah para “nyai” ternyata cukup legendaris, seperti kisah Nyai Dasimah atau Nyai Ontosoroh dalam novel Pramoedya Ananta Toer.

Jika proses percintaan dan perjodohan tersebut terjadi secara alami, itu lumrah karena memang cinta dan jodoh masih tetap merupakan misteri.

Lagi pula tak seorang pun yang berhak mengatur preferensi cinta seseorang. Namun demikian, ada sesuatu yang cukup menggelitik di sini: apa sebenarnya di balik kecenderungan, secara sadar dan dengan penuh usaha, perempuan Asia tertentu untuk menambatkan cinta mereka pada laki-laki bule atau malah sebaliknya.

Ada cerita, perempuan Indonesia mencari cinta pada cowok bule. Secara stereotipikal, laki-laki bule dianggap lebih sexually appealing. Mereka memiliki ukuran tubuh yang lebih tinggi daripada laki-laki Asia pada umumnya.

Dan pada umumnya mereka bertubuh atletis, berpenampilan macho, serta kulit putih yang masih diangap superior. Jadi, tak heran terdapat banyak perempuan Asia yang tergila-gila dengan cowok bule.

Di samping alasan di atas, ada lagi pertimbangan praktis, tapi tak kalah pentingnya. Mereka percaya bahwa cowok bule secara finansial lebih menjanjikan.

Maklum, para profesional bule di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya memperoleh gaji dan fringe benefit jauh di atas profesional lokal, meski kualifikasi pendidikan maupun kapasitas keprofesionalan mereka tak lebih daripada kaum profesional pribumi.

Maka, tak mengherankan jika kemudian banyak perempuan Asia yang membayangkan menjadi istri seorang ekspatriat, tinggal di rumah atau apartemen mewah dengan standar hidup di atas rata-rata ukuran orang lokal, dan liburan ke luar negeri sekali atau dua kali setahun.

Singkat kata, menjalin cinta dengan cowok bule bisa jadi eskalator sosial ke taraf hidup yang lebih baik: enjoy life and having more fun!

Jika saja kita berjalan-jalan di shopping mall, makan di restoran papan atas, atau minum di bar atau kafe tertentu di Jakarta, dengan mudah kita kenali perempuan yang menjalin cinta dengan cowok bule, sekalipun ia berada di sana tanpa disertai sang suami atau pacar.

Penampilan fisik mereka memang secara tak langsung menunjukkan bahwa mereka adalah tipe perempuan Asia yang diminati cowok bule.

Kebanyakan tergolong tak cantik dalam ukuran atau kacamata cowok Indonesia. Biasanya mereka berkulit gelap, berambut panjang tergerai, berwajah pribumi (bukan keindo-indoan), berbibir tebal, menyukai pakaian bernuansa aksesori yang bernuansa etnik.

Jadi, perpaduan antara eksotisme, erotisme, dan sensualitas itulah yang menjadi semacam trade mark perempuan tambatan cinta cowok bule.

Mereka pun memunyai bahasa tubuh yang lain daripada perempuan Indonesia pada umumnya, dan tentu saja ketika mereka mulai bicara, terdengar suara cas-cis-cus yang menunjukkan kemahiran mereka berbahasa Inggris atau bahasa Barat lainnya.

Para istri atau pacar cowok bule ini tampak atau berpretensi sangat kosmopolit, tapi sekaligus merasa perlu untuk menonjolkan sesuatu yang bersifat etnik sebagai sesuatu yang eksotis.

Konon, di Jakarta terdapat sekelompok perempuan, baik lajang maupun yang sudah pernah menikah, secara sistematis coba menemukan cinta cowok bule karena alasan-alasan tersebut. Tapi di Bali, banyak loh, perempuan bule yang jalan dengan pria sejati Indonesia.

Karena itu, ada yang mengatakan bahwa di bar itu atau diskotek ini adalah tempat rendezvous.

Tak aneh bila kemudian muncul sebutan atau sindiran sukbul alias suka bule.

Fenomena perempuan Asia yang tergila-gila dengan cowok bule, tertuang dalam buku Jim Aitchinson dan Theseus Chan berjudul Sarong Party Girl.

Buku yang konon telah terjual sebanyak 60.000 eksemplar itu, dengan baik sekali, meski dianggap terlalu sarkastis, menceritakan sejarah perempuan lokal di Singapura yang secara sadar berharap dan berusaha menemukan cinta mereka pada laki-laki bule.

Mereka disebut “sarong party girl” karena cewek-cewek ini sangat suka memakai sarung ketika mereka datang ke pesta. Konon, “sarong party girl” telah ada di Singapura sejak zaman kolonialisme Inggris di pulau tersebut.

Mereka sengaja memakai sarung untuk menunjukkan identitas, dan jika berkencan dengan cowok bule, mereka dengan mudah dapat melepas sarung yang menutupi tubuh untuk langsung memadu cinta dengan sang cowok bule.

Tentu saja gambaran ini sangat stereotipal dan berlebihan, dan karena itu mendapat kritik tajam dari kalangan feminis. Tapi, potret SPG (sarong party girl) ini juga bukan berarti sekadar olok-olok belaka.

Di Filipina kisahnya lain lagi. Filipina adalah salah satu negara Asia dengan kultur mestizo yang sangat kental. Banyak di antara penduduknya, dari kelas paling bawah sampai paling atas, yang “jatuh cinta” pada Amerika, sang bekas penjajah.

Tak aneh bila telah sejak lama begitu banyak orang Filipina yang ingin pergi ke Amerika atau bercinta dengan orang Amerika. Meskipun Amerika memerdekakan Filipina pada tahun 1946, banyak tentara Amerika (GI) yang masih tinggal di pangkalan militer Clark dan Subic hingga awal tahun 1990an.

Interaksi antara serdadu Amerika yang kesepian dan perempuan Filipina yang memang sangat suka pada segala sesuatu yang bersifat Amerika, dengan sendirinya mendorong proses percintaan perempuan Filipina dengan laki-laki Amerika.

Biasanya, keluarga Filipina akan merasa sangat bangga bila anak gadisnya menjalin cinta dengan cowok Amerika. Meski cowok yang menjadi suami atau pacar mereka hanyalah bule kelas bawah alias white trash.

Bahkan, ketika tentara Amerika telah hengkang dari Filipina sejak awal tahun 1990an, ada saja jasa yang melayani mail order bride (pesanan pengantin) yang menawarkan perempuan Filipina untuk diperistri atau sekadar dijadikan pacar laki-laki Amerika.

Satu hal yang menarik dalam brosur mail order bride itu disebutkan bahwa jika Anda (cowok bule) menikah dengan cewek Filipina, maka ia tidak saja kawin dengan sang istri, tapi juga kawin dengan seluruh anggota keluarganya.

Ini menunjukkan bahwa kawin dengan cowok bule sekaligus punya konsekuensi ekonomi untuk mengangkat keadaan keluarga yang biasanya dililit kemiskinan.

Cinta dan perjodohan memang masih tetap suatu misteri. Kawin atau bercinta dengan orang bule bukan sesuatu yang aneh apalagi nista.

Namun demikian, membaca pola perkawinan dan percintaan sekelompok perempuan Asia dengan laki-laki bule jelas-jelas menunjukkan relasi kekuasaan yang tak setara. Seperti halnya hubungan negara-negara Selatan dengan negara-negara Utara. Tapi tak seorang pun, bahkan negara sekalipun, yang berhak mengatur apalagi membatasinya.

Benny Subianto adalah peneliti tinggal di Jakarta belum berkomentar atas foto perempuan cantik dan laki sederhana ini. Pria sederhana, menikahi perempuan bak model cantik.

Dody Kusuma, fotografer kondang hanya berkomentar di medsosnya. “Untuk yang masih jomblo, sabar yah, mungkin Jodohmu masih di luar negeri.”

Kalau Anda, apa komentarnya?

#S.S Budi Rahardjo

Tinggalkan Balasan