UU Ciptaker Menuai Gelombang Demo dan Mogok Kerja

  • Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) Akan Gelar Demo Nasional Menolak Omnibus Law Cipta Kerja Pada Kamis 8 Oktober 2020

MATRANEWS.id — Momentum untuk “revolusi” sudah mulai ramai di grup-grup Whatsaps Jurnalis Indonesia dan grup-grup yang kemarin mengkristal menjadi “cebong-kampret”. Campur aduk antara berita  hoax dan idealisme.

Berita mengenai aksi mahasiswa tolak Omnibus Law, hingga polisi dilempari batu oleh mahasiswa tersebar dan viral.  Ada pakar menyebut, “Bakal Ciptakan Kucing Garong. Bukan Investor.”

Hanya  Partai Demokrat dan PKS yang dianggap “mengerti” dan bersama  suara rakyat bertalu-talu.

Sementara itu, para DPR RI mendapat banyak kecaman dan protes pasca meresmikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) pada Senin, 5 Oktober 2020 kemarin.

Serikat pekerja dunia mengirim surat ke Jokowi, hingga judul berita-berita luar Negeri yang senada dalam memuat gelombang penolakan dan kotroversi, yang hanya menguntungkan kelompok tertentu.

Demikian juga 35 investor Global kirim surat ke Presiden RI, karena alasan lingkungan.

Mahasiswa sudah mengajak masyarakat pada 8 Oktober 2020 untuk demo.  Sejumlah serikat pekerja/buruh kompak menolak terbitnya UU Cipta Kerja dengan berbagai alasan.

Tersebar juga alasan DPR mengenai rumors-rumors yang beredar. Antara lain, soal UMK dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) yang bakal dihapuskan.

Lewat grup-grup potensial, yang terdiri dari jurnalis, pejabat hingga mantan pejabat para “piar konsultan” menyebar penjelasan DPR.

Isinya antara lain, upah minimum ditetapkan dengan memperhatikan kelayakan hidup pekerja/buruh dengan mempertimbangkan aspek pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi daerah.

“Upah Minimum Provinsi (UMP) WAJIB ditetapkan oleh Gubernur. Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) TETAP ADA,” tulis DPR.

Sementara untuk UMSK, setelah UU Cipta Kerja disahkan, upah minimum sektoral tetap berlaku bagi daerah yang telah menetapkannya. Sehingga untuk pekerja yang telah menerima UMSK yang lebih tinggi dari UMK tidak boleh diturunkan.

Kedua, terkait pengurangan pesangon dari 32 kali menjadi 25 kali. DPR menyebutkan, pemerintah tetap memastikan bahwa pesangon betul-betul menjadi hak dan dapat diterima oleh pekerja/buruh.

Dalam hal ini, UU Cipta Kerja melahirkan skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang tidak mengurangi manfaat dari berbagai jaminan sosial lainnya, seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun.

“JKP tidak menambah beban bagi pekerja/butuh. Program KKP selain memberikan manfaat cash benefit juga memberikan manfaat lainnya yaitu peningkatan skill dan keahlian melalui pelatihan serta akses informasi ketenagakerjaan,” papar DPR.

Selain itu, DPR juga menggarisbawahi persyaratan untuk Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yang tetap mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan.

Perjanjian Kerja

Butir keberatan lainnya yakni terkait Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau kontrak seumur hidup (tidak ada batas waktu kontrak).

DPR menyatakan, ketentuan ini hanya untuk pekerjaan yang memenuhi syarat-syarat tertentu (tidak tetap).

PKWT tetap memberikan perlindungan kepada pekerja hingga kontrak selesai, dan mereka berhak mendapatkan uang kompensasi sesuai masa kerja ketika PKWT berakhir.

“Syarat PKWT tetap mengacu pada UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dengan penyesuaian terhadap perkembangan kebutuhan dunia kerja,” tulis DPR.

Berikutnya, DPR memberi jawaban soal penolakan atas sistem outsourcing pekerja seumur hidup tanpa batas jenis pekerjaan. DPR menyatakan, UU Cipta Kerja tetap mengatur hubungan kerja dalam alih daya, namun lingkup pekerjaan yang dapat dialihdayakan tidak dibatasi.

“Apabila terjadi pengalihan pekerjaan dari perusahaan alih daya, maka masa kerja dari pekerja/butuh tetap dihitung. Dan pengalihan perlindungan hak-hak pekerja harus dipersyaratkan dalam perjanjian kerja,” kata DPR.

Poin selanjutnya terkait waktu kerja dalam UU Cipta Kerja yang dinilai terlalu eksploitatif. Dalam atura baru ini, DPR merinci waktu kerja tetap mengikuti ketentuan UU 13/2003 yakni 40 jam dalam sepekan, dimana untuk 5 hari kerja sebanyak 8 jam per hari dan untuk 6 hari kerja sebanyak 7 jam per hari.

Namun, jenis pekerjaan mengikuti tren industri 4.0 dan berbasis industri ekonomi digital, yang waktunya sangat fleksibel sesuai dengan kesepakatan.

“RUU Cipta kerja memberi ruang optimalisasi waktu kerja dan optimalisasi kapasitas produksi dengan menambah jam lembut, dari 3 jam menjadi 4 jam per hari. Dengan tetap adanya pengaturan waktu untuk 5 atau 6 hari kerja, maka waktu untuk libur/istirahat tetap ada dan disesuaikan,” jelas DPR.

Penjelasan berikutnya terkait isu hilangnya hak cuti serta hak upah atas cuti. DPR memastikan pengusaha tetap wajib memberi waktu istirahat dan cuti bagi pekerja, dan UU Cipta Kerja tidak menghilangkan hak cuti haid dan hamil yang telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Kecaman selanjutnya yang coba ditanggapi terkait outsourcing yang tidak mendapat jaminan pensiun dan kesehatan akibat sistem kontrak seumur hidup. DPR menyangkal tudingan ini, dan menyatakan UU Cipta kerja tetap memberikan PKWT jaminan pensiun melalui kompensasi setiap berakhirnya kontrak.

Sedangkan untuk jaminan lainnya berupa jaminan kesehatan/kecelakaan/kematian, itu semua tetap ada dan sama dengan pekerja tetap.

Demikian juga jika terjadi pengalihan pekerja, maka perlindungan atas hak-hak pekerja dan buruh tidak boleh kurang. Dengan catatan, objek pekerjaannya tetap pada satu perusahaan pemberi kerja yang sama.

Terakhir, DPR memberikan menyampaikan seputar isu TKA yang bakal diberi kemudahan masuk ke Indonesia. Dijelaskan bahwa tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan dan waktu tertentu, serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki.

“Setiap pemberi kerja wajib memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Pemberi kerja orang perseorangan dilarang mempekerjakan TKA,” tutur DPR.

Walau sudah dijelaskan, malah yang beredar di masyarakat sejumlah kejadian menarik.  Salah satunya ketika Ketua DPR RI, Puan Maharani, mematikan mikrofon saat salah seorang anggota DPR RI, Irwan, dari Fraksi Partai Demokrat berbicara.

Suasana usai adegan mematikan mikrofon “suara” rakyat

Kejadian bermula saat Irwan menyampaikan pandangannya terhadap RUU Cipta Kerja ini.

“Undang-undang ini berpotensi memperparah kerusakan lingkungan dan menghilangkan kewenangan-kewenangan kami di daerah, menghilangkan hak-hak rakyat kecil,” kata Irwan.

Saat Irwan berbicara, terlihat Pimpinan Sidang Azis Syamsuddin berdiskusi dengan Ketua DPR Puan Maharani. Saat mereka berdiskusi, suara Irwan masih terdengar di ruang sidang, namun setelah itu Puan terlihat menekan tombol untuk mematikan mikrofon, suara Irwan langsung tak terdengar.

“Kalau mau dihargai tolong..” kata Irwan yang saat itu terputus karena mikrofonnya telah dimatikan.
Setelah suara protes Irwan tak lagi terdengar di ruang sidang, Pimpinan Sidang Azis Syamsuddin langsung mengambil alih dan meneruskan jalannya rapat pengesahan.

Interupsi yang lainnya setelah itu, seperti interupsi yang datang dari Didi Irawadi Syamsuddin yang juga menolak RUU Ciptaker tak dipedulikan. Begitu juga anggota lainnya yakni Benny K Harman yang mencoba melakukan interupsinya.

“Pak ketua, interupsi Pak Ketua. Pak Ketua interupsi, ini Pak ini sebelum sebelum dilanjutkan Pak Ketua. Tolong Pak Ketua, sebelum dilanjutkan kami dikasih kesempatan,” ujar wakil Fraksi Demokrat tersebut.

“Sebentar Pak Benny, saya tadi sudah berikan kepada Fraksi Demokrat tempat. Nanti Pak Benny setelah ada… Saya sudah berikan kesempatan Pak Benny,” ujar Azis Syamsuddin.

Terjadi perdebatan antara keduanya, dan Benny K Harman tetap bersikukuh untuk meminta interupsi di tengah-tengah jalannya sidang meskipun pimpinan mengatakan untuk interupsi nanti saja setelah adanya pandangan dari pemerintah.

“Ketua tadi sudah ambil keputusan, setelah itu nanti pemerintah. Kami ingin menyampaikan… ” ujar Benny.

“Makanya, nanti setelah pandangan dari pemerintah, saya berikan kesempatan pada Pak Benny,” jawab Azis.

Pimpinan kemudian tetap mempersilakan pihak pemerintah untuk memberikan pandangannya.

Sang Wakil Ketua DPR RI bahkan mengancam Benny K Harman untuk dikeluarkan dari ruang sidang jika ia tidak mengikuti aturan mekanisme persidangan.

“Pak Benny, saya minta, Anda nanti bisa dikeluarkan dari ruang paripurna kalau Anda tidak mengikuti aturan mekanisme,” tegas Azis Syamsuddin.

Azis Syamsuddin juga menegaskan bahwa dirinyalah yang berhak mengatur jalannya sidang, dan ia menolak dengan tegas interupsi dari salah satu fraksi.

“Saya yang ngatur dalam kesempatan ini, tidak. Kami persilakan kepada pemerintah untuk menyampaikan pandangan,” ucap Azis selaku pimpinan sidang.

Benny K Harman pun akhirnya menyatakan walk out (WO) karena tidak diberi kesempatan untuk interupsi selama satu menit sebelum adanya pernyataan dari pemerintah.

“Kalau demikian, maka kami Fraksi Demokrat menyatakan wolk out dan tidak bertanggung jawab… [mikrofon terputus],” pungkas Benny K Harman.

Hanya  Partai Demokrat dan PKS yang dianggap “mengerti”

baca juga Majalah MATRA edisi cetak terbaru: Klik ini

 

 

 

Tinggalkan Balasan