viral  

Catatan Tengah Bagya Mulyanto

 

MATRANEWS.id  -“Tanah yang terpisah, (tapi) berbagi langit.”  Sebuah tulisan,  ungkapan solidaritas dari Jepang di tengah wabah, meskipun tidak jelas siapa yang memasang label itu di kotak

Netizen Cina merasa terharu membaca tulisan pada kotak bantuan virus Corona dari Jepang yang berisi puisi kuno yang beredar di media sosial.

Sekian dari unggahan media sosial yang paling banyak beredar terkait dengan bantuan Jepang di Cina, adalah salah satu foto yang memperlihatkan kotak masker wajah yang dikatakan sumbangan dari pusat tes berbahasa Cina di Jepang menuju Wuhan.

Dikutip dari Quartz, 4 Februari 2020, foto tersebut memperlihatkan satu baris tulisan pada label yang dilekatkan pada kotak, yang berbunyi: “Tanah yang terpisah, (tapi) berbagi langit.”

Kata-kata itu adalah baris dari T Daiwaj Tseiden, sebuah cerita Jepang tentang biksu Buddha Cina Jianzhen yang bepergian di Jepang pada abad ke-8.

Jianzhen mengatakan kepada murid-muridnya bahwa baris puisi ini dijahit ke jubah yang diberikan kepadanya oleh seorang raja Jepang, yang mengundangnya untuk memberikan ceramah di Jepang. Tergerak oleh ketulusan raja, dia menerima undangan itu.

Mari kita belajar dari sikap bangsa Jepang yang,  walau hubungannya dengan China pernah kurang harmonis akibat luka sejarah penjajahan.

Pujian untuk Jepang telah menjadi hal biasa di internet dalam beberapa hari terakhir, yang sejatinya adalah peristiwa yang jarang mengingat sejarah panjang permusuhan antara kedua negara sejak invasi Jepang ke Cina pada tahun 1937.

Sebelum Jepang mengevakuasi warganya, mereka sudah lebih dulu mengirim sebuah pesawat penuh peralatan medis dan masker yang sangat dibutuhkan warga  kota Wu Han.  Sumbangan 1 juta masker dari masyarakat Jepang juga sudah lebih dulu tiba di kota Wu Han.

Banyak orang, mungkin tidak ingat, ketika diantara 264 warga Jepang yang dievakuasi terdapat empat orang yang sudah positif terjangkit Virus Corona.  Oleh Tiongkok, disarankan agar mereka dirawat dulu di rumahsakit di China.

Namun,  apa yang terjadi? Pemerintah Jepang tetap mengevakuasi atas pertimbangan ingin berbagi beban kesulitan dan tidak mau merepotkan Pemerintah China.

Selain itu, Pemerintah Jepang mengumumkan, bahwa bangsa apapun yang berada di Jepang dan terdampak Virus Corona tanpa pandang kewarganegaraan semua diobati. Juga, biaya ditanggung Pemerintah.

Bagi warga Tiongkok yang berada di wilayah Jepang dan berakhir masa visanya, bila masih ingin menetap di Jepang, diberi perpanjangan visa gratis selama dua bulan. Tidak diusir.

Di media sosal (medsos) Jepang membahana seruan, agar warganya ramai-ramai menyumbang apapun untuk membantu China melewati musibah kemanusiaan ini.

Masyarakat Jepang, telah memperlihatkan sifat kemanusiaannya melalui spanduk/symbol: “Support Wu Han” “Support China”.  Harga masker bukan naik, malah dijual secara diskon, dengan menempelkan plakat: “Tidak menari di atas penderitaan orang lain.”

Jerman pada kesempatan pertama mengirim team ahli medis membantu China.  Finlandia mengumumkan tidak melakukan pembatasan dan pemeriksaan khusus terhadap turist dari Tiongkok. Bahkan, apabila ada yang terdampak Virus Corona akan diobati oleh team medis Pemerintah Finlandia.

Pemerintah Thailand menyatakan, bebas visa 15 hari tetap berlaku bagi warga Tiongkok. Apabila mereka masih ingin menetap, imigrasi akan memberi perpanjangan visa selama dua bulan.

Tak bermaksud menggurui, tapi inilah ruang kita hidup konkret dan usaha memberi makna setiap langkah.

Viral sebuah tulisan dan foto-foto mengenai antrian orang membeli masker, bahkan harganya dilipatgandakan oleh penjual.

Kita juga saksikan, betapa “tak berempatinya” warga di pulau Natuna saat menyambut anak-anak muda Indonesia yang berhasil dievakuasi dan akan dikarantina.

Belum lagi, tak berempatinya netizen yang menyebarkan hoax berupa text atau video, menghadang turis China dan seterusnya. Bukannya membantu, tapi justru menganggu integritas pribadi.

Ibarat pasukan pemadam kebakaran yang memadamkan api. Tetapi, mereka malah merusak rumah serta perabotannya dengan air yang terlalu banyak disemprotkan.

Banyak ilustrasi dari sebuah regresi berkaitan erat dengan kemunduran emosional. Regresi emosi itu, jika meminjam klasifikasi emosi dasar Descartes, adalah yang berhubungan dengan emosi dasar “cinta” dan emosi dasar “benci”.

Betapa “sesak-napasnya” contoh-contoh semacam itu, terjadi dan mengalir di tengah situasi saat ini, jika kita tak sepakat bergandengan tangan. Misalnya? Belajar, bekerja, berkarya, beramal, dan selanjutnya.

Justru sejatinya, saat inilah,  kita perlu muncul ke permukaan dan menggerakan nurani.  Berbuat sesuatu yang bermakna dan berdampak besar bagi keseluruhan, dynamic, sesuatu yang terus bergerak maju ke arah yang benar, dan encouraging, sesuatu yang menggetarkan hati.

Sekedar reflelksi diri. Sebagian dari kita barangkali hanya bisa menghela napas, mengurut dada. Tatkala, si buruh tani mungkin cuma bisa menatap bulan di teras rumah sembari berdoa: “Ya, Tuhan, mudah-mudahan esok masih ada pemilik sawah yang menyewa tenagaku.” Tapi, sebagian sawah di desanya habis dihantam banjir. Atau hama tikus. Atau sudah jadi perumahan.

Sementara, kampung sebelah sudah rata dengan tanah karena pertikaian antarumat beragama. Atau coba kita bayangkan, doa apa kiranya yang diucapkan buruh harian yang duduk di pinggir jembatan dan di bawah jalan layang?

Yuk, mari kita mulai dari diri kita sendiri untuk membantu sesama.

Majalah Matra

Tinggalkan Balasan