MATRANEWS.id — Pemuda blasteran Prancis bernama Enzo Zensi Ellie berbincang dengan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto. Viral, selain sosok Enzo, bahasa Prancis Marsekal Hadi yang fasih ternyata menarik perhatian netizen.
Pertemuan Marsekal Hadi dengan Enzo terjadi saat sidang pantukhir di Akademi Militer, Magelang, Jumat (2/8/2019). Saat itu, Marsekal Hadi mengajukan beberapa pertanyaan dalam bahasa Prancis dan Enzo langsung menjawabnya.
Berikutnya, giliran sosok yang lolos akademi militer (Akmil) itu, disebut terpapar radikalisme. Bahkan, seorang relawan Jokowi memaparkan foto Enzo yang menjadi pendukung Prabowo.
Tak hanya, akun Facebook putra berasal dari Prancis dan ibu bersuku Sunda itu yang ramai diperbincangkan, diduga terpapar organisasi terlarang Hizbut Tahrir Indonesia.
Dijawab oleh TNI, bahwa instansinya memiliki sistem seleksi mental ideologi. Mulai dari tes tertulis, wawancara, hingga penelusuran media sosial milik calon taruna akmil. “Sistem itu, sudah dari dulu dibakukan,” tutur Sisriadi, Kepala Pusat Penerangan TNI.
Menurut Sisriadi, seleksi TNI sangatlah selektif, bahkan kini mencakup penelusuran akun media sosial milik para calon taruna Akmil. Terlebih, dalam uji psikotes pun dapat diukur sejauh mana tingkatan ekstrem ideologi seseorang.
“Kita buktikan dulu dia terpapar atau tidak. Nanti kita dalami. Andaikata iya, ya kita berikan perhatian khusus. Kita kan punya sistem deradikalisasi. Jadi banyak jalan,” jelas Sisriadi mencontohkan bagaimana TNI melakukan seleksi ketat ideologi sejak dulu.
Pada saat penerimaan Prabowo Subianto menjadi taruna Akmil misalnya, kala itu Indonesia sangat anti terhadap Amerika.
“Pak Prabowo waktu masuk TNI kan dia tidak bisa bahasa Indonesia, bisa patah-patah. Wong sekolahnya dari kecil sampai SMA di Amerika kan. Zaman itu kita anti Amerika juga kan. Tapi, enggak ada masalah,” tutur Sisriadi memaparkan.
Sistem di TNI punya sistem untuk menyaring.
“Namanya sistem seleksi dan klasifikasi. Jadi alat saringnya itu ketat sekali. Kemudian potensi ekstremnya kita bisa baca di hasil psikotes di hasil kepribadiannya. Kebaca di situ ini anak begini begitu, kalau nggak lolos dia kecoret di situ,” Sisriadi memaparkan.
Kata Sisriadi, persoalan pemeriksaan paham-paham radikalisme ini memang terus dilakukan tak hanya untuk Enzo tetapi juga seluruh peserta didik di TNI.
Pemeriksaan itu kata Sisriadi dilakukan secara simultan untuk menghindari kemunculan paham kiri maupun kanan di luar ideologi Pancasila dalam diri peserta didik.
“Sistem yang ada di kami dalam perekrutan itu penelusuran ideologi itu terus dilakukan tidak hanya satu orang tapi seluruh peserta didik,” kata dia. “Terus ditelusuri selama mereka mengikuti pendidikan,” imbuhnya.
Apalagi pihaknya juga memahami dalam masa perekrutan di tingkat daerah, waktu untuk pemeriksaan paham dan ideologi ini terbatas. Oleh karena itu, pemeriksaan lanjutan mesti dilakukan selama peserta didik menjalani masa pendidikan hingga dinyatakan benar-benar lulus.
Selama masa pendidikan tiga bulan pun seluruh taruna akan menjalani pelatihan yang dapat membuatnya bersih dari berbagai pola pikir.
“Dia akan jadi nol lagi. Menjadi manusia biasa, bukan dengan segala ininya, mungkin bahasanya yang dia ahli itu bisa lupa itu,” Mayjen Sisrihadi menjelaskan.
“Kemudian potensi ekstremnya kita bisa baca di hasil psikotes, di hasil kepribadiannya. Kebaca di situ ini anak begini begitu. Kalau enggak lolos, dia kecoret di situ,” Sisriadi menandaskan.
“Tidak (radikal). Kita kan ada sistem seleksi yang berbeda dengan seleksi orang mau kerja sif siang, sif malam. Ini untuk megang senjata dia. Jadi sudah selektif,” tutur Sisriadi.
TNI sudah memiliki prosedur operasi standar (SOP)
Tidak hanya Enzo tapi semua calon taruna, tahap satu sampai tahap empat diawasi. Secara prosuder punya SOP. Sampai tingkat empat ditelusuri. SOP-nya begitu. Kodim, Koramil dilibatkan untuk meneliti orangtuanya dan keluarganya.
“Sampai tingkat empat tidak putus namanya pengawasan ini. Kalau ada prajurit taruna yang tidak Pancasilais, ketemu lalu dikeluarkan. Ini kan masih awal, kita dalami betul dan kita tidak buru-buru,” ia menambahkan.
Pengawasan yang dimaksud berlangsung secara periodik dengan melibatkan intelijen dan aparatur teroterial seperti dari Kodim, Koramil, dan BAIS TNI.
“Ini sudah berjalan sejak mereka diterima,” beber Sisriadi. “Kita mesti pelan-pelan dan serius menangani ini. Jangan sampai TNI dirugikan dan dia juga dirugikan.”
“Kita dalami kasus ini. Jadi Kodam Jaya selaku panitia daerah yang menerima dia pertama, kemudian BAIS (Badan Intelijen Strategis) TNI kita turunkan untuk mendalami masalah ini,” ungkap jubir TNI menegaskan.
baca juga: majalah Matra edisi cetak terbaru — klik ini