Wawancara Prof Dr H Yulius SH MH di majalah MATRA edisi cetak Bulan Mei 2024

Wawancara Prof Dr H Yulius  SH MH di majalah MATRA edisi cetak Bulan Mei 2024

MATRANEWS.id — Wawancara Prof. Dr. H. Yulius, S.H.,M.H di majalah edisi cetak Mei 2024.

Pria sederhana yang religius ini bisa disebut orang yang sangat mumpuni dalam bidangnya. Ia merupakan ahli hukum dan dianggap sebagai ‘oksigen’ baru di Kampus Universitas Diponegoro, Semarang.  Maka, ia pun dikukuhkan sebagai  Profesor Kehormatan.

Dr. H. Yulius, S.H., M.H merupakan pria kelahiran Bukit Tinggi 17 Juli 1958.  Datuk Yulius merupakan anak ke lima dari 11 bersaudara almarhum H. Rivai dan Almarhumah Hj. Samsuniar. Suami dari  Hj. Nelfaleni ini menjadi trending saat menangkan Kasasi Satgas BLBI.

Diangkat sebagai Hakim Agung pada 8 Maret 2010. Merupakan  Ketua Kamar Tata Usaha Negara, Dr. Yulius menyadari pentingnya PTUN sebagai alat kontrol bagi penggunaan kewenangan para pejabat negara, sekaligus sebagai pelindung hak-hak warga negara.

Sosok Yulius, dalam pandangan banyak orang, telah menjadi simbol keberanian dan integritas dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang hakim. Wajar jika Universitas Diponegoro (UNDIP) menjadikannya sebagai Guru Besar.

Diapresiasi publik dan menjadi sosok yang diperbincangkan dalam konteks hukum di Indonesia, terutama ketika kasus yang ditangani melibatkan dana sebesar ratusan triliun rupiah, yang sudah menguap dalam proses penanganan selama lebih dari dua dekade.

Putusan itu turut meyakinkan publik tentang fungsi kelembagaan Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir penegakan hukum. Padahal jejak digital, banyak juga putusan yang kerap diapresiasi sejumlah kalangan mulai dari putusan PK (Peninjauan Kembali) terkait dengan Partai Demokrat, Putusan HUM (Hak Uji Materi) atas PKPU mengenai Caleg eks napi korupsi.

Untuk mengetahui lebih jauh, Pemimpin Redaksi majalah MATRA S.S Budi Raharjo, yang juga ketua Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) sengaja terbang ke Bukit Tinggi dan sempat melihat rumahnya yang punya banyak kenangan.

Obrolan berlangsung di kampung halaman Yulius, tentang kasus BLBI berada di luar kendali: pengalihan aset, pengaburan identitas kepemilikan, pelelangan asset BLBI dengan nilai jauh di bawah harga pasar, maupun tindakan pengingkaran dan penyelundupan hukum yang dilakukan para obligor agar terhindar dari kewajiban pembayaran BLBI.

Obrolan menyangkut 6 April 2021, Presiden Joko Widodo menerbitkan Keppres Nomor 6 Tahun 2021 Tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang kemudian diperbaharui dengan Keppres Nomor 16 Tahun 2021.

Berikut petikannya.

Kita tahu Satgas BLBI ini sudah dikalahkan oleh pengadilan tingkat pertama dan banding. Lalu, keadaan berbalik di tingkat kasasi?

Pembentukan Satgas BLBI menandai era baru penanganan hak tagih dana BLBI. Konsep parens patriae dikedepankan dan negara hadir secara serius dalam upaya menyelesaikan hak tagih dana BLBI yang dihitung lebih dari 110 trilyun rupiah.

Upaya satgas BLBI tentu mengalami kendala, tantangan dan tentangan. Subject tracing dan asset tracing sulit dilakukan. Gugatan bertubi-tubi juga ditujukan pada keputusan dan tindakan satgas BLBI khususnya di lingkungan peradilan TUN.

Data SIPP PTUN Jakarta saja tercatat tidak kurang 12 gugatan yang diajukan terhadap keputusan maupun tindakan satgas BLBI.

Sebagian besar gugatan-gugatan itu di tingkat pertama dan banding dimenangkan oleh obligor maupun pihak-pihak yang ada pada sisi para obligor.

Pada fase ini Anda mengambil risiko untuk berseberangan dengan hakim judex facti dan berseberangan pula dengan kepentingan obligor dan kekuatan modal?

Sikap dan pendirian itu mula-mula didasari oleh gagasan yang sangat sederhana: hutang adalah hutang, hutang harus dibayar, dan kalahnya penagih hutang di muka pengadilan tidak berarti hapusnya hutang.

Kekalahan satgas BLBI di peradilan tingkat pertama maupun banding tidak berarti hapusnya hak tagih negara terhadap dana BLBI.

Jadi, kasus BLBI ini adalah problematika hukum?

Ya, sehingga harus bisa diselesaikan oleh hukum. Kemenangan para obligor di pengadilan memang tidak menghapus hak tagih negara, namun sayangnya putusan-putusan itu juga tidak memberi manfaat terhadap penyelesaian hak tagih terhadap dana BLBI. Bahkan bisa menambah benang kusut yang semakin sulit diurai di kemudian hari.

Berkaitan dengan kemanfaatan putusan dalam kasus BLBI ini, apa yang menjangkau keadilan?

Paulus Efendi Lotulung pernah mengajarkan bahwa apabila putusan pengadilan tidak dapat menjangkau tiga tujuan hukum dari Gustav Radbruch yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan, maka setidaknya putusan hakim harus memberikan manfaat.

Maksudnya gimana?

Gagasan utilitarianisme model Bentham perlu dipertimbangkan untuk dikedepankan sebagai upaya membangun kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.

Ada pula gagasan hukum di Universitas Diponegoro yang menambah satu lagi tujuan hukum yaitu kasih sayang.

Dalam kasus BLBI, Anda memandang ajaran ini sebagai kasih sayang?

Benar, yang condong kepada rakyat, bangsa dan negara dengan memberikan pemulihan dalam bentuk pengembalian kerugian keuangan negara yang akan dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat Indonesia.

Teori dualisme perlindungan yang termaktub dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 kiranya cukup menjelaskan fungsi peradilan tata usaha negara tidak semata-mata memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi juga melindungi hak-hak masyarakat.

Dalam konteks kasus BLBI, putusan peradilan tata usaha negara selayaknya tidak hanya berfokus pada perlindungan hak perseorangan para obligor, tetapi juga pada perlindungan hak-hak masyarakat yang dijelmakan oleh peraturan, keputusan dan tindakan satgas BLBI.

Berpijak pada paradigma itu, Apa yang Anda renungi?

Saya mencoba merenungi makna hakiki dari teori hukum progresif yang digawangi oleh Satjipto Rahardjo. Hasil dari perenungan, bahkan upaya dialog imajiner dengan gagasan Satjipto Rahardjo itu melahirkan kesimpulan bahwa hukum progresif sejatinya lebih berorientasi pada penegakan keadilan substantif.

Apabila aspek prosedural dan hukum acara secara nyata menjadi penghambat tegaknya keadilan substantif itu, maka aspek prosedural dan hukum acara itu dapat ditabrak dan dikesampingkan.

Jadi, seandainya Prof Tjip saat ini masih hidup Anda secara langsung akan menemui beliau dan mengucapkan terima kasih?

Ya. Karena teori hukum progresif yang dikembangkannya telah menjelma menjadi inspirasi dan garis pedoman saya dalam membangun  konstruksi hukum putusan-putusan saya.

Baca juga :  Kritis Gud Fren 4evr, Born The Silver Spoon

Saya akan bercerita kepada beliau betapa saya merasakan menerapkan teori hukum progresif dalam putusan ternyata lebih mudah dibanding memahaminya dari teks-teks literatur hukum semata.

Tanpa inspirasi teori hukum progresif, paradigma, cara dan metodologi berfikir saya belum tentu akan berujung pada kesimpulan yang sama.

Bagaimana dengan aspek prosedural dan hukum acara dalam keadaan tertentu dapat ditabrak dan dikesampingkan?

Gagasan ini tentu tidak boleh dilakukan serampangan dan harus dilakukan dengan sangat hati-hati, didasarkan pada hati yang tulus dan jiwa yang bersih demi mewujudkan keadilan dan hukum itu sendiri.

Tindakan itu, dapat dilakukan apabila tercukupi dua syarat: pertama, terjadinya kebuntuan hukum. Kedua, ada kepentingan masyarakat banyak dan kepentingan lingkungan yang bersifat memaksa.

Kembali ke kasus BLBI, bagaimana?

Dalam kasus BLBI tidak terhitung lagi putusan pengadilan perdata maupun putusan pidana yang dijatuhkan bagi obligor BLBI. Namun pada faktanya, hak tagih negara terhadap dana BLBI tetap tidak selesai dan kerugian negara tetap tidak dapat dipulihkan.

Terjadi pula pengaburan subjek maupun objek aset para obligor. Keadaan ini cukup menjadi indikasi bahwa selama ini hukum mengalami kebuntuan dalam menyelesaikan hak tagih negara terhadap dana BLBI.

Kedua, hukuman perdata maupun hukuman pidana, terlepas dilaksanakan atau tidak dalam kasus BLBI, dalam kasus BLBI ini ternyata tidak menyelesaikan apalagi memulihkan kerugian yang telah diderita negara.

Maksudnya gimana?

Putusan-putusan seperti itu juga tidak akan memutus derita yang dialami oleh seluruh rakyat Indonesia selaku pembayar pajak, selaku penyumbang APBN, dan terutama selaku pemilik asli kedaulatan negara ini.

Dalam khazanah hukum, kita terbiasa mendengar konsep peradilan pidana sebagai ultimum remidium. Konsep ini secara umum dipahami bahwa peradilan pidana merupakan sarana terakhir dalam penegakan hukum.

Apabila masih tersedia upaya hukum dari cabang hukum yang lain, maka upaya hukum itu harus didahulukan dari hukum pidana.

Dalam kasus BLBI, kondisi yang terjadi seolah mementahkan konsep ultimum remidium itu?

Pemidanaan yang dijatuhkan ternyata tidak menyelesaikan keadaan, dan tidak memulihkan kerugian keuangan negara.

Kondisi ini erat dengan limitasi yang secara inheren dikandung oleh sanksi pidana.

Barda Nawawi Arief mencatat beberapa kelemahan sanksi pidana. Dua di antaranya: hukum pidana merupakan kurieren am symptom atau pengobatan gejala, bukan pengobatan kausatif yang menyelesaikan sebab-sebab terjadinya tindak pidana, juga tidak mengobati akibat-akibat buruk dari tindak pidana yang dilakukan.

Kedua, sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual, tidak bersifat struktural maupun fungsional.

Karena sifat ini, pemidanaan memang hanya berfokus pada perbuatan pelaku yang telah dirinci delik maupun hukumannya dalam peraturan perundang-undangan.

Hukuman pidana kita sejak semula memang tidak didesain untuk menyelesaikan akibat buruk bagi pihak lain yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut?

Tidak selesainya pemulihan kerugian negara melalui putusan pidana dan perdata mendorong lahirnya gagasan bahwa konsep ultimum remidium dalam beberapa kondisi dapat diingsut dari peradilan pidana kepada peradilan administrasi, terutama dalam perkara yang melibatkan masyarakat banyak dan perkara lingkungan hidup.

Dalam kasus sengketa pajak, pergeseran konsep ultimum remidium itu juga terjadi. Yurisprudensi perkara pajak di Mahkamah Agung menetapkan bahwa meskipun sanksi pidana telah dijatuhkan bagi seorang wajib pajak, apabila tagihan pajak yang harus dibayar belum seluruhnya ditunaikan, maka lembaga yang berwenang tetap dapat menagih pajak kurang bayar dari wajib pajak tersebut.

Yurisprudensi ini sebagian besar juga didasarkan pada paradigma penyelamatan keuangan negara, karena yang sesungguhnya dibutuhkan oleh negara bukanlah menghukum warga negaranya karena melakukan pidana perpajakan, melainkan bagaimana pajak dapat dihimpun secara optimal untuk kemanfaatan dan kesejahteraan masyarakat.

Apakah gagasan ini dapat pula diterapkan dalam kasus korupsi dan lingkungan hidup?

Bisa. Pemulihan keuangan negara yang dikorupsi melalui mekanisme perampasan aset koruptor maupun paksaan pemerintah (bestuur dwang) salah satunya dalam bentuk tindakan rencana pemulihan lingkungan yang disusun pemerintah pada prinsipnya merupakan tindakan-tindakan yang akhirnya harus dilindungi oleh peradilan TUN.

Pemulihan kerugian yang diderita masyarakat banyak dan lingkungan itu akan ditopang oleh dua unsur: pertama, hadirnya negara sebagai representasi yang kuat dari kepentingan masyarakat banyak sesuai konsep parens patriae.

Bagaimana apabila negara tidak hadir dan tidak berpihak pada masyarakat banyak?

Maka dibutuhkan masyarakat sipil (civil society) yang muncul membela kepentingan masyarakat dengan menggunakan sarana hak gugat organisasi, class action maupun citizen law suit.

Daya masyarakat sipil melalui putusan pengadilan TUN inilah yang akan memaksa aparatur negara untuk mengambil sikap tegas guna menjamin terlaksananya pemulihan terhadap kerugian negara yang terjadi.

Apa yang Anda ingin tegaskan?

Selain berperan mengembalikan kerugian keuangan negara seperti dijelaskan sebelumnya, putusan peradilan tata usaha negara sesungguhnya juga memiliki peran dalam menyelamatkan keuangan negara.

Putusan peradilan TUN sangat berperan dalam optimalisasi fungsi anggaran yang berasal dari pajak sebagai komponen penting penerimaan negara.

Sebagai ilustrasi, dari 7.034 perkara peninjauan kembali perkara pajak yang diputus Mahkamah Agung pada tahun 2023, 6.340 perkara diputus ditolak. Sampling terhadap 102 perkara dari total jumlah perkara ditolak telah menyelamatkan keuangan negara lebih dari 270 Milyar Rupiah baik dalam bentuk mata uang rupiah maupun dalam bentuk valuta asing.

Penyelamatan keuangan negara oleh Peradilan TUN juga dilakukan dalam perkara PNBP, perkara pengadaan barang dan jasa, dan berbagai perkara serupa, yang semuanya berimplikasi secara langsung pada keuangan negara.

Jadi, watak pemeriksaan perkara di peradilan tata usaha negara didasarkan pada hukum public?

Ya, sehingga putusan peradilan TUN lebih bersifat erga omnes atau mengikat semua pihak yang berkepentingan.

Konsep ini berbeda dengan watak pemeriksaan di peradilan perdata yang didasarkan pada hukum privat sehingga putusannya menjadi bersifat inter partes.

Sebagai implikasinya, Putusan dalam kasus BLBI selayaknya berperan sebagai apa?

Menjadi kaidah bagi sengketa sejenis dan menjadi pedoman bagi pengelola keuangan negara dalam menerbitkan kebijakan, keputusan, maupun dalam melakukan tindakan pemerintahan terhadap aset para obligor BLBI lainnya.

Baca juga :  Bermain Kelinci Di Tengah Pandemi

Apabila putusan peradilan tata usaha negara secara konsisten dijadikan sebagai pedoman bagi penanganan kasus yang sejenisnya di masa yang akan datang, maka dengan sendirinya legitimasi sistem hukum akan menguat dan kepercayaan publik pada negara hukum itu sendiri akan semakin meningkat.

Apakah penguatan legitimasi hukum dan peningkatan kepercayaan publik itu nantinya akan ikut menopang perwujudan kewibawaan Putusan Peradilan TUN?

Ya, sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Yos Johan Utama dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar-nya yang berjudul Membangun Peradilan Tata Usaha Negara Yang Berwibawa.

Dengan demikian, putusan peradilan tata usaha negara berperan pula dalam menjamin legitimasi sistem hukum, bahkan legitimasi negara hukum itu sendiri.

Berdasarkan rangkaian uraian di muka, dapat disimpulkan bahwa dalam konteks pengelolaan keuangan negara, Putusan Peradilan TUN secara nyata berperan penting dalam menyelamatkan keuangan negara dan mengembalikan kerugian keuangan negara.

Selain itu, Putusan Peradilan TUN dalam konteks keilmuan akan menjadi kaidah untuk sengketa sejenis, memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat maupun pemerintah, dan menjamin legitimasi sistem hukum.

Sebagai seorang hakim, saya dituntut untuk mengambil keputusan apabila saya menyakini bahwa pendapat saya itu ditopang oleh fakta-fakta yang meyakinkan.

Sekaligus sebagai insan akademis, semuanya itu dalam tatanan keilmuan yang obyektif, namun sebagai suatu produk ilmiah pemikirian saya ini tentu terbuka untuk diskusikan oleh para ilmuwan yang lain.

Berdasarkan keterangan Anda simpulan di atas, dapat disarankan apa?

Hakim Peradilan TUN harus memutus sengketa terkait keuangan negara dalam kerangka sistem hukum nasional dengan berpedoman pada prinsip-prinsip dan norma pemeriksaan perkara keuangan negara.

Putusan Peradilan TUN dalam perkara keuangan negara dapat dijadikan pedoman bagi pembuat peraturan perundang-undangan maupun pemerintah sebagai pengelola keuangan negara dan warga masyarakat atas hak-haknya terkait pengelolaan keuangan negara.

Dalam pidato guru besar saat menerima prof Kehormatan di UNDIP, Anda mengutip filosofi dari Minangkabau?

Ya. Satu filosofi hidup dari Minangkabau “Hiduik Baraka, Baukua Jo Bajangko” yang berarti Hidup berakal, berukur dan berjangka yang maknanya sebagai manusia kita diciptakan Allah SWT dengan dibekali akal pikiran. Kita harus tahu yang wajib dan sunah, yang halal dan haram, serta yang mubah dan jaiz.

Selayaknya kita mengerti dari mana kita berasal dan untuk apa kita diciptakan. Setinggi apa pun pangkat dan jabatan kita, sepanjang apapun gelar yang menghiasi nama kita, seberapa pun banyaknya atribut duniawi yang kita sandang, tetap tidak akan mengubah tujuan penciptaan kita yaitu hanya untuk beribadah dan menyembah Allah SWT.

Semua itu harus kita pahami karena jatah hidup kita terbatas dan ada jangka waktunya yang tidak bisa dimajukan atau dimundurkan walau satu detik saja.

Apa yang Anda hendak disampaikan?

Jangan pernah melakukan sesuatu yang akan kita sesali nanti pada saat kita telah purna dari tugas ataupun purna dari kehidupan ini.

Kita perlu membangun komitmen dengan diri sendiri untuk terus menuntut ilmu sejak buaian hingga ke liang lahat. Kedua, dalam perkara yang berkaitan dengan hilangnya uang negara, saat ini hukum kita menderita dua kali kerugian.

Kerugian pertama, uang negara hilang, dan kerugian kedua, negara masih harus menanggung makan dan tidur orang yang mencuri uang negara. Di Sebagian negara Eropa Barat, tidak ada satu pun negara yang uangnya dicuri oleh koruptor atau pengemplang uang negara, juga harus membiayai hidup dan kesehatan para pencuri dan pengemplang itu selama di penjara.

Apa pesan Anda kepada para hakim khususnya Hakim-Hakim muda dan lebih khusus lagi dari lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara?

Saya berpesan agar memfungsikan peradilan sebagai lembaga yang menyelesaikan sengketa. Orang masuk ke dalam gedung pengadilan biasanya berada dalam keadaan bingung mencari penyelesaian atas kerumitan masalah yang mereka hadapi.

Usahakan dengan sepenuh hati agar ketika mereka keluar dari halaman gedung pengadilan, para pencari keadilan itu keluar dengan hati yang rela dan masalah yang reda.

Jangan sampai ketika pengadilan di padang mahsyar kelak kita merasa menyesal diarahkan ke neraka karena kita justru menambah masalah dan melakukan perbuatan zhalim kepada sesama.

Anda menyadari betul, menjadi hakim tidaklah mudah ya?

Hakim itu, ibarat orang yang berhenti di persimpangan, kita bisa ditabrak dari muka, dari belakang, samping kiri dan samping kanan.

Margaret Thatcher pernah mengatakan, apabila seorang hakim melahirkan satu putusan yang luar biasa, ibaratnya dia menjadi seorang manusia yang bisa terbang, tapi orang-orang akan bilang tapi dia tidak bisa berenang.

Dalam kondisi seperti ini Umar bin Khattab berwasiyat, keadilan itu akan tegak apabila: Satu, Samakan semua orang di mata saudara. Kedua, Samakan semua orang di dalam majelis saudara. Ketiga, Samakan semua orang dalam hati nurani saudara.

Bisa kasih gambaran dua godaan yang sama-sama berbahaya bagi objektifitas hakim?

Godaan harta benda dari si kaya dan Tangis dan air mata dari si miskin.

Anda menjalani perjalanan hidup yang penuh dengan berbagai cerita, pencapaian, dan tentunya, sejarahnya sendiri?

Sejarah hidup seseorang adalah kumpulan dari momen-momen penting, keputusan-keputusan yang diambil, dan pengalaman-pengalaman yang membentuknya menjadi individu yang unik.

Dalam perjalanan ini, tidak terelakkan bagi manusia untuk membuat catatan dan sejarahnya sendiri.

Mengapa Sejarah Hidup Penting?

Sejarah hidup adalah landasan yang membangun identitas seseorang. Ini adalah cermin dari apa yang telah dilalui, bagaimana tantangan-tantangan dihadapi, dan bagaimana responnya terhadap situasi-situasi tertentu.

Mencatat sejarah hidup bukan hanya sekadar mengumpulkan daftar peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, tetapi juga memahami arti di balik setiap peristiwa tersebut.

Perjalanan hidup manusia adalah sebuah epik yang penuh warna. Melalui catatan dan sejarahnya sendiri, setiap individu menyumbangkan bagian kecil dari cerita manusia secara keseluruhan. Dengan memahami dan menghargai sejarah hidup, kita dapat belajar dari masa lalu, menghargai kini, dan merencanakan masa depan yang lebih baik.

Baca juga :  Setelah Undangan Kawinan Sekarang Penipu Kirim Tagihan BPJS

Perjalanan Hidup Datuk Yulius

Kehidupan Yulius bisa diibaratkan sebagai sebuah sinetron atau drama Korea, dengan segala pasang surut yang dialaminya. Mulai dari masa kecil yang penuh tantangan hingga meraih puncak karier sebagai seorang Hakim Agung di Mahkamah Agung, perjalanan hidupnya sungguh menginspirasi.

Masa Kecil yang Penuh Perjuangan

Yulius lahir dan dibesarkan dalam keluarga sederhana. Ayahnya, yang dulunya seorang pengusaha angkutan, mengalami masa-masa sulit ketika bisnisnya bangkrut. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sang ayah pun harus banting tulang menjadi seorang supir. Di sisi lain, ibunya adalah sosok pejuang yang gigih, bahkan rela menjual gorengan, pecal, dan kopi di pinggir jalan demi membiayai pendidikan anak-anaknya.

Yulius sendiri juga ikut berkontribusi dalam mencari nafkah keluarga dengan tugas mengangkut air bersih dari sumur untuk keperluan sehari-hari. Semua pengalaman ini membentuk kepribadian Yulius yang penuh dengan nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan keberanian.

Masa Remaja dan Perjuangan Akademis

Di masa remajanya, Yulius adalah seorang anak yang suka bermain gitar, berambut gondrong, dan nakal. Meskipun begitu, di balik sisi nakalnya, Yulius tetap memiliki hati yang berapi-api untuk membela yang lemah dan mengedepankan keadilan. Bergaul di masjid juga menjadi bagian penting dalam kehidupannya.

Saat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, Yulius harus bekerja keras untuk membiayai kuliahnya di Fakultas Hukum Andalas. Tekad dan kegigihannya membuahkan hasil dengan meraih ranking pertama di kampusnya. Magister S 2 di Universitas Krisnadwipayana dan S3 Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Pajajaran.

Karier Hukum yang Gemilang

Setelah lulus kuliah, Yulius memulai karier hukumnya sebagai staf/calon hakim di Pengadilan Negeri Padang pada tahun 1984. Dari sinilah ia memulai perjalanan panjangnya sebagai seorang pengabdi hukum. Dalam perjalanan kariernya, Yulius mengalami berbagai mutasi dan promosi yang menegangkan, mulai dari menjadi hakim di Pengadilan Negeri Blangkajeren hingga akhirnya menjabat sebagai Hakim Agung di Mahkamah Agung sejak tahun 2010.

Pemimpin di Dunia Hukum

Tidak hanya sebagai seorang hakim, Yulius juga terbukti sebagai seorang pemimpin di dunia hukum. Pada tahun 2022, ia dipercaya untuk menjabat sebagai Ketua Kamar Tata Usaha Negara, sebuah tanggung jawab besar yang mengukuhkan posisinya sebagai salah satu tokoh penting dalam sistem peradilan di Indonesia.

Inspirasi Bagi Generasi Muda

Perjalanan hidup Yulius adalah bukti nyata bahwa tidak ada yang tidak mungkin jika kita memiliki tekad dan kerja keras. Dari seorang anak dari keluarga sederhana, Yulius berhasil mengukir prestasi gemilang di bidang hukum. Kisah hidupnya memberikan inspirasi bagi generasi muda untuk tidak pernah menyerah dalam menghadapi cobaan hidup dan selalu berjuang untuk meraih impian, sebesar apapun tantangannya.

Yulius bukan hanya sebuah nama dalam sejarah hukum Indonesia, melainkan juga simbol keberanian, kejujuran, dan keadilan yang harus dijunjung tinggi oleh semua kalangan. Semoga perjalanan hidupnya menjadi inspirasi bagi banyak orang untuk terus berusaha dan menggapai mimpi-mimpi mereka.

 

Ketua Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung Raih Gelar Profesor Kehormatan

“Hutang adala hutang. Para obligor BLBI yang berhutang kepada negara, harus bayar hutangnya,” ujar Dr. H. Yulius, S.H., M.H., Ketua Muda Tata Usaha Negara Mahkamah Agung, sebelum diangkat menjadi guru besar Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.

Yulius dengan tim hakim memenangkan gugatan pemerintah, yang sudah tiga kali kalah atas obligor BLBI, pengutang uang negara. Mahkamah Agung sebagai benteng keadilan, akhirnya memutuskan negara menang atas obligor BLBI. Mereka harus bayar hutangnya ke negara.

Perjalanan integritas dan kepakaran Yulius, terakhir dalam putusan BLBI itulah yang banyak disebut membuat sosok ini patut mendapat gelar Profesor Kehormatan (Honoris Causa) disematkan pada dirinya.

Dengan Surat Keputusan Rektor Undip nomor 133/UN7.A/IV/2024 menjadi tonggak penobatan, mematri namanya sebagai Prof. (H.C. Undip) Dr. H. Yulius, S.H., M.H.

Kepakarannya dalam ranah Hukum Administrasi dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara menjadi tonggak penghargaan.

Di setiap putusannya, paradigma baru dirajut, membingkai hukum dengan sentuhan keadilan yang memancar. Ia, Profesor Yulius, menjadi mercusuar bagi para hakim peradilan TUN di seluruh pelosok Indonesia.

Kegiatan akademis itu menghadirkan segenap pucuk pimpinan Mahkamah Agung, tokoh akademis terkemuka, dan para pemegang kebijakan negara.

Tampak Ketua KPU, Wakil Ketua KPK, Prof Yusril, Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri, dan Prof. Dr. Machfud MD, Fahri Hamzah, Guru Besar Universitas Islam Indonesia, hanyalah sebagian dari deretan hadirin yang memuliakan momen bersejarah itu.

Dalam raut wajahnya yang penuh haru, Profesor Yulius mengungkapkan rasa syukur dan tanggung jawab baru yang tersemat. Doa demi doa memeluknya, meminta kekuatan dan integritas di dalamnya.

Tepat pada momentum pengukuhan, deras kata-kata bijak menyergap. Sabtu 20 April 2024 di Gedung Pro Soedarto Universitas Diponegoro Semarang.

Pidato Pengukuhan berjudul “Peranan Putusan Peradilan Tata Usaha Negara dalam Penyelamatan Uang Negara” meluncur membelah ruang hening, menciptakan gelombang inspirasi yang membentang.

Prof. (H.C. Undip) Dr. H. Yulius, S.H., M.H dinyatakan telah memberi kontribusi positif pada penegakan hukum di Indonesia. Langkahnya merambah pengadilan negeri hingga menyandang predikat Hakim Agung.

Melalui putusan-putusannya yang membawa paradigma baru bagi hakim-hakim peradilan TUN di seluruh Indonesia. Namanya tak hanya tertanam dalam putusan-putusan yang meresap ke akar hukum.

Dedikasi, integritas, dan kepakaran ilmiah yang menembus batas. Rektor Undip menegaskan, seleksi ketat melibatkan aspek sikap dan pengakuan internasional dalam pemberian gelar itu.”

Gelar itu bukan sekadar kebanggaan, melainkan beban. Beban untuk tetap mengemban amanah, menjaga nama baik Undip, serta berkontribusi nyata bagi negeri yang tercinta. Dalam kedalaman mata, terpantul tekad yang tak tergoyahkan, siap merajut lembaran baru dalam peradaban hukum bangsa.

Ia memohon doa agar diberikan kekuatan dan keistikamahan dalam menjaga integritasnya. “Baik di bidang hukum maupun di bidang pendidikan,” ujar Datuk Yulius.

Tinggalkan Balasan