Anang Iskandar: Nia Rahmadani Dihukum Penjara, itu Salah Tapi Kaprah

Anang Iskandar: Nia Rahmadani Dihukum Penjara, itu Salah Tapi Kaprah

 

MATRANEWS.id — Keputusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memenjarakan Nia Rahmadani cs yang terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika sesuai pasal 127 ayat 1 huruf a, merupakan keputusan yang salah kaprah.

Salah kaprah terjadi karena kesalahan hakim dalam “MENGGUNAKAN” bentuk hukuman bagi penyalah guna narkotika, yang seharusnya menjatuhkan hukuman rehabilitasi, tetapi faktanya menjatuhkan hukuman penjara.

Salah kaprahnya dimana ?

Salahnya, secara yuridis jenis hukuman yang wajib dijatuhkan kepada penyalah guna narkotika seperti Nia Rahmadani cs adalah hukuman rehabilitasi sebagai hukuman alternatif (pengganti) hukuman pidana, dasarnya pasal 103 UU no 35 tahun 2009 yo pasal 36 UU no 8 tahun 1976.

Kaprahnya karena secara empiris penyalah guna dijatuhi hukuman penjara berdasarkan pasal 10 KUHP, menghukum penjara berdasarkan KUHP dianggap lumrah, padahal hakim tidak taat pada asas lex specislis derogat lex generalis.

Kesalahan menghukum penjara terhadap penyalah guna narkotika terjadi sejak berlakunya UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika sampai sekarang tidak berubah, meskipun UU narkotika berubah menjadi UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang berlaku sekarang, secara ekplisit menyatakan tujuan dibuatnya UU adalah “menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi”.

BACA JUGA: Kebahagiaan Hakiki Konglomerat, Klik ini

Jaminan UU narkotika tersebut termaktup dalam pasal 55 junto pasal 128 yaitu penyalah guna diwajibkan UU untuk melakukan wajib lapor pecandu ke IPWL untuk mendapatkan pelayanan rehabilitasi dan penyalah guna yang berhubungan dengan pengadilan diputus atau ditetapkan hakim untuk mendapatkan hukuman rehabilitasi (pasal 103).

Namun implementasi jaminan pelayanan rehabillitasi melalui wajib lapor pecandu nyatanya tidak terselenggara dengan baik, dan tidak pula mendapatkan putusan atau penetapan hakim untuk direhabilitasi.

Akibatnya negara rugi, masarakat juga rugi atas keputusan hakim yang memenjarakan penyalah guna narkotika.

Baca juga :  Viral, Puisi H. Agus Santoso , Mantan Wakil Kepala PPATK

Lapas mengalami over capasitas dengan anomali bahwa pelaku kejahatan narkotika mendominasi penghuni lapas hingga 70 % dan terjadinya pengulangan masalah penyalahgunaan narkotika setelah keluar dari penjara, bahkan banyak keluar masuk sampai 3 atau 4 kali serta masalah narkotika menjadi meningkat.

Permasalahan penjatuhan hukuman penjara bagi penyalah guna, menjadi topik bahasan dalam diskursus yang bertujuaan untuk memberi masukan kepada Ketua dan Hakim Agung agar merubah kebijakan yang tepat dalam menerapkan jenis hukuman bagi penyalah guna narkotika.

Sebagai acuan adalah UU no 8 tahun 1976 tentang pengesahan konvensi tunggal narkotika,1961 beserta protokol yang merubahnya, dimana pada pasal 36 menyatakan bahwa hukuman bagi penyalah guna narkotika adalah hukuman rehabilitasi sebagai hukuman alternatif atau hukuman pengganti hukuman pidana.

BACA JUGA: Rekening Jumbo Temuan PPATK Rp 120 Triliun, BNN atau Polri yang Singkap?   

Dalam UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, dimana UU no 8 tahun 1976 sebagai sumber hukum masalah narkotika menyatakan: masa menjalani rehabilitasi atas putusan atau penetapan hakim “diperhitungkan” sebagai masa menjalani hukuman (pasal 103 /2).

Artinya penyalah guna yang nota bene adalah pecandu yang ditempatkan penyidik, jaksa dan hakim selama proses pemeriksaan kedalam rumah sakit atau lembaga rehabilitasi dihitung sebagai masa menjalani hukuman.

Perkara penyalahgunaan narkotika, untuk diri sendiri, diatur dalam pasal 127 ayat 2 diancam secara pidana terdiri dari perkara korban penyalahgunaan narkotika dan perkara penyalahgunaan dalam keadaan kecanduan narkotika (perkara pecandu), ditandai dengan membeli narkotika dari pengedar untuk dikonsumsi.

Perkara yang menimpa Nia Rahmadani merupakan perkara penyalahgunaan narkotika dalam keadaan ketergantungan, amar putusannya menyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan melanggar pasal 127 ayat 2 huruf a dimana hukumannya secara yuridis berupa rehabilitasi sebagai penganti hukuman pidana.

Baca juga :  Jokowi: Pandemi Ini Harus Perbaiki Ekosistem Pendidikan Nasional

Masalahnya ! Mengapa perkara penyalah guna seperti Nia, justru dituntut hukuman rehabilitasi dan dinyatakan telah terbukti secara sah dan menyakinkan melanggar pasal 127 ayat 1 huruf a, kok hukumannya berupa penjara ? kok tidak hukuman rehabilitasi.

Bukankah UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika menyatakan bahwa hakim berwenang (pasal 103) dan wajib (pasal 127/2) menjatuhkan hukuman rehabilitasi sebagai hukuman alternaif penganti bagi penyalah guna (pasal 36 UU no 8 tahun 1976).

BACA JUGA: Narkotika Bisa Menghilang Seperti Covid, Klik ini

Itulah sebabnya saya perlu melakukan diskursus masalah penjatuhan hukuman Nia Rahmadani cs dengan menampilkan pendapat beberapa ahli dibidangnya:

Pertama, ahli psykologi forensik Reza Indragiri Amriel (Tempo.co) bahwa ada potensi berbahaya dalam vonis penjara 1 tahun terhadap Nia Rahmadani cs dalam kasus penyalahgunaan narkotika.

Nia Rahmadani adalah penyalah guna dilevel awal, rehabilitasi sangat dibutuhkan agar tidak melanjutkan ke level selanjutnya.

Dikesampingkannya rehabilitasi pada level awal beresiko menjerumuskan Nia Rahmadani cs ke level keparahan yang lebih tinggi.

Reza menilai hakim tidak tepat menilai secara hitam putih, pecandu dan bukan pecandu. Ia mengatakan seharusnya hakim melihat kasus pecandu sebagai kontinum atau rangkaian, mulai dari pemakai untuk tujuan rekreasional, penyalah guna rutin, penyalah guna beresiko tinggi sampai pecandu.

BACA JUGA: Rencana Tuhan di Andy F Noya Yang Viral

Kedua, ahli kesehatan jiwa, Diah Setyo Utami, berpendapat penyelah guna narkotika adalah penderita sakit adiksi kronis, mudah relapse yang memerlukan rehabilitasi agar sembuh/puluh dari sakit ketergantungan/kecanduan narkotika supaya tidak menyalahgunakan dalam penggunaan narkotika.

Ketiga, pendapat majelis hakim yang mengadili perkara Nia Rahmadani (news.detik.com) ;

Bahwa Nia Rahmadani cs tidak dapat dikatagorikan sebagai korban karena mengkonsumsi sabu secara sadar, hal mana ditandai dengan dengan terdakwa menyuruh terdakwa lainya membeli sabu sehingga terdakwa tidak dapat dikwalifikasikan sebagai pecandu atau korban yang wajib jalani rehabilitasi.

Baca juga :  Kakorlantas Polri Irjen Pol Firman Santyabudi Buka Lomba Safety Driving dan Safety Riding

itu sebabnya mengapa majelis hakim berpendapat Nia Rahmadani cs lebih tepat kalau dipenjara.

Keempat, menurut pendapat saya; bahwa Nia Rahmadani masuk kwalifikasi pecandu, faktanya sering menggunakan narkotika, menyuruh membeli sabu dengan jumlah tertentu untuk dikonsumsi, ditemukan barang bukti alat untuk mengkonsumsi, itu semua menunjukan bahwa Nia adalah penyalah guna dalam kondisi kecanduan narkotika (pecandu).

Kalau dilakukan assesmen secara bener, dapat dipastikan Nia Rahmadani cs dalam keadaan ketergantungan/kecanduan dengan taraf ketergantungan ringan (pecandu ringan).

Seharusnya hakim berperan sebagai benteng dalam mewujutkan tujuan UU dalam menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi melalui keputusan atau penetapannya, bukan malah memenjarakan.

Catatan pinggirnya, pengalaman empiris beberapa negara di dunia yang hakimnya menghukum penjara pelaku perkara penyalahgunaan narkotika, maka negara tersebut akan mengalami peningkatan masalah narkotika, karena menghukum penjara penyalah guna menyebabkan terjadinya anomali lapas, terjadinya pengulangan menggunakan narkotika setelah dipenjara, selanjutnya ketangkap lagi.

Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya.

 

Penulis Dr Anang Iskandar SH, MH  adalah  Komisaris Jenderal purnawirawan Polisi. Merupakan Doktor, yang dikenal sebagai bapaknya rehabilitasi narkoba di Indonesia.

Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Bareskrim Polri, yang kini menjadi dosen, aktivis anti narkoba dan penulis buku.

Lulusan Akademi Kepolisian yang berpengalaman dalam bidang reserse. Pria kelahiran 18 Mei 1958 yang terus mengamati detil hukum kasus narkotika di Indonesia. Baru saja meluncurkan buku politik hukum narkotika.

BACA JUGA: majalah eksekutif edisi Januari 2022, klik ini

Tinggalkan Balasan