MATRANEWS.id — Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi ( MK) menolak gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) yang diajukan PT Visi Citra Mitra Mulia ( iNews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia ( RCTI).
Majelis Konstitusi menilai, gugatan yang diajukan iNews TV dan RCTI tidak berdasar menurut hukum.
“Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah ubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang 24 Tahun 2003 tentang Mahkmah Konstitusi amar putusan mengadili menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman.
MK Taufik mengatakan, Majelis Hakim MK menyatakan bahwa pengaturan soal OTT sudah ada dalam UU ITE.
Oleh karena itu, menurut dia, kini saatnya Kementerian Komunikasi dan Informatika menerjemahkan aturan tersebut dengan lebih komprehensif.
“Majelis Hakim MK dalam pertimbangannya menyatakan bahwa kewenangan pengaturan layanan OTT ada pada Kementerian Kominfo,” ujar dia.
Dalam kesempatan yang sama, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan, gugatan yang diajukan oleh iNews dan RCTI tidak berdasar seluruhnya.
Majelis menilai, pengawasan konten over the top (OTT) bisa dilakukan melalui UU ITE, sedangkan sanksinya juga telah diatur UU ITE dan UU lain yang berkaitan dengan pelanggaran konten OTT.
Selain pengawasan berdasarkan UU ITE, pengawasan juga didasarkan pada berbagai UU sektoral lainnya yang sesuai dengan konten layanan dilanggar.
“Misalnya dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008, Undang-Undang 28 2014, Undang-Undang 7 Tahun 2014, KUHP, Undang-Undang 40 Tahun 1999 dengan telah ditentukannya aspek menegakkan hukum atas konten pelanggaran OTT dalam UU ITE, UU 36 Tahun 1999, dan berbagai UU sektoral baik dengan pengenaan sanksi administratif maupun sanksi pidana,” ucap Enny.
“Apabila tindak pidana menyangkut kesusilaan atau eksploitasi seksual terhadap anak maka pemidanaannya diperberat dengan sepertiga dari pidana pokok,” ujar Enny.
“Pemberatan ini juga diperberat bagi korporasi yang melanggar perbuatan yang dilarang dalam UU 11 2008 yang dipidana dengan pidana pokok ditambah dua pertiga,” kata dia.
Oleh karena itu, Majelis Hakim Konstitusi menilai dalil gugatan permohon tidak berdasar seluruhnya.
Tanggapan MNC
Pihak MNC Group mengaku menghormati putusan MK yang menolak gugatan UU Penyiaran yang diajukan oleh pihaknya.
“Kami menghargai dan menghormati Majelis Hakim MK,” kata Corporate Legal Director MNC Group Christophorus Taufik.
RCTI mempersoalkan Pasal 1 Angka 2 UU tersebut yang menyebut bahwa “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran”.
Oleh pemohon, pasal itu dinilai menyebabkan perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio dan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet, seperti YouTube dan Netflix.
Hal ini karena Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran hanya mengatur penyelenggara penyiaran konvensional dan tak mengatur penyelenggara penyiaran terbarukan.
Adapun salah satu alasan iNews dan RCTI mengajukan gugatan adalah karena Pasal 1 Angka 2 dalam UU Penyiaran menimbulkan perlakuan berbeda antara siaran konvensional dengan siaran internet, seperti YouTube dan Netflix.
Karena tidak adanya kepastian hukum penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT (over the top) a quo masuk ke dalam definisi penyiaran sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Penyiaran atau tidak, telah menyebabkan sampai saat ini penyiaran yang menggunakan internet seperti layanan OTT tidak terikat dengan Undang-Undang Penyiaran.
Dampak UU Penyiaran
Dalam gugatannya, pemohon merasa dirugikan karena adanya diskriminasi dalam sejumlah hal, misalnya, untuk dapat melakukan aktivitas penyiaran, pemohon harus lebih dulu berbadan hukum Indonesia hingga memperoleh izin siaran.
Sementara itu, penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet tidak perlu memenuhi persyaratan tersebut.
Selain itu, dalam menyelenggarakan aktivitas penyiaran, pemohon juga harus tunduk pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS). Jika terjadi pelanggaran, ada ancaman sanksi yang bakal diberikan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
“Sementara bagi penyelenggara siaran yang menggunakan internet tentu tidak ada kewajiban untuk tunduk pada P3SPS sehingga luput dari pengawasan,” ujar Imam. “Padahal, faktanya banyak sekali konten-konten siaran yang disediakan layanan OTT yang tidak sesuai dengan P3SPS dimaksud,” kata dia.
Atas alasan-alasan tersebut, pemohon meminta MK menyatakan Pasal 1 Angka 2 UU Penyiaran bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Jika gugatan ini diterima, banyak pihak yang memprediksi akan berdampak terhadap pengisi konten di platform digital, seperti pembuat konten YouTube alias Youtuber, atau Netflix, salah satunya terkait pengaturan sesuai UU Penyiaran
Hal itu menyebabkan pengaturan terkait YouTube dan Netflix akan tetap berlaku sebagaimana sebelum adanya gugatan. Kalau ditolak, ya lanjut seperti sekarang saja. Bukankah begitu youtuber?
Majelis Konstitusi menilai, gugatan yang diajukan iNews TV dan RCTI tidak berdasar menurut hukum. Majelis Hakim Konstitusi menilai dalil gugatan permohon tidak berdasar seluruhnya.
https://supertivi.com/tv-di-masa-lalu-ingatkah-anda/