“Bocoran” Pembicaraan Adian Napitupulu Bersama Jokowi, Soal Garuda dan BUMN

“Bocoran” Pembicaraan Adian Napitupulu Bersama Jokowi, Soal Garuda dan BUMN

MATRANEWS.id– Berita mengenai  Politikus PDIP Adian Napitupulu dipanggil ke istana, menemui Presiden Jokowi (Jumat, 12/6/2020) siang menjadi seru. Pasalnya, disebut aktivis 1998 itu kerap menyoroti kinerja Menteri BUMN Erick Thohir.

Sehari sebelum dipanggil Jokowi ke Istana, Adian Napitupulu menuliskan opini  Kementerian BUMN di bawah kepemimpinan Erick Thohir. Tentang BUMN dan UMKM Dalam Cerita dan angka, Siapa Pahlawan Sesungguhnya?

Publikpun mencari tahu, apa yang dibicarakan Adian ke Jokowi. Ternyata, tentang  “Selamatkan Garuda dengan PNM atau Investasi Pemerintah, Bukan Pinjaman Yang Tidak Ada Dasar Hukum.

Lagi-lagi, tulisan  Adian Napitupulu beredar luas. Tak jelas juga merupakan bocoran atau memang sengaja dibocorkan.

“Setelah pertemuan dengan Presiden kemarin, banyak sekali pendapat, pandangan  komentar yang muncul. Ada yang positif, ada yang negatif.

Selama semua pro kontra itu berbasis data dan argumentasi logis, lebih bagus lagi jika pro kontra itu punya muatan ilmiah, dengan demikian Demokrasi sungguh menjadi sangat indah.

Tetapi Demokrasi akan kehilangan keindahannya jika pro kontra lahir dari dukungan berlebihan yang irasional maupun kebencian.

Ini salah satu dari sekitar 5 atau 6 materi pembicaraan saya dengan Presiden, khususnya terkait dengan BUMN.

Setelah ngobrol tentang kondisi terkini, situasi Nasional, Corona, Pertanahan, PHK  di BUMN (Garuda, Aerofood dan INKA), Rencana penutupan sekitar 2000  kantor cabang Mandiri, UMKM dan beberapa hal lainnya.

Kemudian saya menyampaikan pada Presiden agar tidak mengambil opsi pemberian pinjaman Rp 8,5 Trilyun pada Garuda.

Kenapa demikian?

Karena menurut saya, pemberian pinjaman tidak ada dalam PP 23 tahun 2020.  Artinya ketika negara memberi pinjaman pada Garuda maka pemberian pinjaman itu bisa melanggar PP 23 tahun 2020 dan tentunya juga melanggar UU induknya yaitu no 1 tahun 2020.

Jika di paksakan maka Garuda mungkin bisa selamat, pemegang saham non Pemerintah bisa selamat. Tapi, Presiden, posisinya bisa “tidak selamat.”*

Begini penjelasannya,  Dalam PP 23 tahun 2020 hanya ada empat pilihan bagi pemerintah untuk melakukan penggelontoran anggaran dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional.

Pertama, *PENYERTAAN MODAL NEGARA.* Kedua, *PENEMPATAN DANA.* Ketiga, *INVESTASI PEMERINTAH.* Ke empat, *PENJAMINAN.*

Bagaimana penjelasan ke empat hal itu dalam PP adalah sebagai berikut :

1. *PENYERTAAN MODAL NEGARA* yang selanjutnya disingkat PMN adalah pemisahan kekayaan negara dari anggaran pendapatan dan belanja negara atau penetapan cadangan perusahaan atau sumber lain untuk di jadikan sebagai modal badan usaha milik negara dan / atau perseroan terbatas lainnya, dan di kelola secara korporasi.

2. *PENEMPATAN DANA* adalah kegiatan yang di lakukan oleh pemerintah dengan menempatkan sejumlah dana pada bank umum tertentu dengan bunga tertentu.

3. *INVESTASI PEMERINTAH* adalah penempatan sejumlah dana dan / atau asset keuangan dalam jangka panjang untuk investasi dalam bentuk saham, surat utang, dan / atau investasi langsung guna memperoleh manfaat ekonomi, social, dan / atau manfaat lainnya.

4. *PENJAMINAN* adalah kegiatan pemberian jaminan oleh penjamin atas pemenuhan kewajiban financial terjamin pada penerima jaminan.

Dari empat pilihan itu, maka secara peraturan yang ada,  peluang membantu Garuda hanya dimungkinkan dalam bentuk *PENYERTAAN MODAL NEGARA* atau dalam bentuk *INVESTASI PEMERINTAH.* Tidak ada kemungkinan bantuan lain pada garuda selain kedua hal tersebut.

Yang mengherankan kenapa Kementrian BUMN juga Keuangan sepertinya menolak apa yang ada dalam PP padahal itu menguntungkan negara.

Kementrian BUMN dan Keuangan sepertinya memaksa agar bentuk bantuan harus Dana Talangan berikut hari disebut Pinjaman / hutang.

Saya mencoba mencari apa dasar hukum yang membuat kementrian BUMN maupun Kementrian Keuangan merasa yakin bahwa pemberian pinjaman pada garuda itu dimungkinkan dan punya dasar hukum.

Kalau hanya berdasarkan pada PP 23 tahu 2020 jelas Pinjaman tidak masuk satu dari 4 pilihan tersebut di atas.

Lalu mungkin tidak Pinjaman diberikan?

Kalau sekedar bicara mungkin atau tidak mungkin tentu bisa membuka debat kusir yang sangat panjang.

Nah untuk keluar dari perdebatan ada baiknya kita mencari dasar hukum dalam UU maupun PP maupun Peraturan Menteri yang bisa menjelaskan lebih jauh tentang yang terkait dengan Investasi Pemerintah dan Pinjaman.

Rujukan saya adalah *UU no 1 tahun 2004* tentang Perbendaharaan Negara dan *PP no 08 tahun 2007* tentang Investasi Pemerintah serta *Peraturan menteri keuangan Republik Indonesia no.190/PMK.05/2011* tentang sistem akuntansi investasi pemerintah.

Dari UU, PP hingga Permenkeu tersebut menurut saya sekali lagi sangat jelas bahwa bantuan yang bisa di berikan pada Garuda tetap tidak bisa di kategorikan pinjaman melainkan masuk kategori Investasi yang berupa pembelian saham, obligasi, surat utang atau investasi langsung sebagai tambahan modal.

Di luar itu pilihan lainnya ya PMN (Penyertaan Modal Negara) dimana posisi Pemerintah adalah sebagai pemilik modal bukan sebatas pemberi pinjaman.

Tentunya, dengan konsekuensi pemilik saham di luar pemerintah sahamnya akan terdelusi sementara komposisi saham Pemerintah semakin banyak, mungkin bisa naik dari 60 an % menjadi 75 % atau 90 % bahkan bisa lebih.

Bila hal itu terjadi maka *harusnya Menteri BUMN dan Keuangan bangga dan senang jika Saham Negara bisa bertambah banyak di Garuda* jadi baiknya para Menteri berjuanglah untuk PMN atau INVESTASI PEMERINTAH bukan untuk Pinjaman yang berpotensi melanggar PP 23 /2020 dan UU 1 / 2020.

Bagaimana respon Presiden saat saya menyampaikan hal itu?

Presiden tidak marah, tidak menunjukan wajah kesal.

Presiden mendengar, sembari membuat cukup banyak catatan dan berbicara menegaskan beberapa hal yang di rasa perlu.

Ketika pembicaraan telah berlangsung sekitar 60 hingga 70 menit dan seluruh percakapan telah selesai, saya pamit pada presiden dan Presiden berdiri lalu mengantar saya sampai ke pintu teras tempat Golf Car menjemput.

Lalu bagaimana jika Presiden mengambil keputusan lain yang berbeda dengan yang saya sampaikan?

Menurut saya tugas saya adalah berbicara, mengingatkan, menyampaikan informasi. Bagaimana Presiden menggunakan dan menyikapi apa yang saya sampaikan, itu 100% hak Presiden.

Saya sebagai pendukung Jokowi dari saat ia maju sebagai Gubernur DKI, Pilpres 2014 maupun Pilpres 2019 memiliki kewajiban moral dan sejarah untuk menjaga agar Jokowi tidak terjerumus dalam peluang terjadinya pelanggaran terhadap PP 23/2020 dan UU.

Saya tidak perduli ada yang mau marah, kesal, ngebully, mengecam atau menyebar fitnah apapun.

Bagi saya kepedulian tertinggi sebagai pendukung Jokowi, sebagi pemilih Jokowi, sebagai warga negara sebagai Rakyat Indonesia adalah memastikan *uang negara untuk menyelamatkan negara dan Rakyat bukan untuk menyelamatkan saham swasta di Garuda.*

Demikian “catatan pinggir” dari Adian Napitupulu yang merupakan  Sekjen PENA 98.
****
Bagi yang ingin tahu, tulisan Adian yang viral saat belum ketemu Presiden Jokowi:

BUMN DAN UMKM DALAM CERITA DAN ANGKA, SIAPA PAHLAWAN SESUNGGUHNYA?*

Baca juga :  Sapari X-Kepala Balai Besar POM Surabaya Siap Bongkar 'Tekanan' di Institusi Badan POM

Di tulis : Adian Napitupulu.

Mana yang lebih banyak, utang BUMN atau utang luar negeri Malaysia? Jangan kaget ya, total utang BUMN sekitar Rp 5.600 Trilyun sementara total utang luar negeri Malaysia ada di kisaran Rp 3.500 Trilyun.

Prok…. prok …. ayo tepuk tangan karena BUMN ternyata juara, unggul Rp 2.100 Trilyun mengalahkan Malaysia. Mungkin ada yang coba ngeles dengan membedakan asal utang, tapi utang mau dari tetangga, dari mertua atau dari Bank, utang ya tetap saja utang.

Kenapa utang BUMN sedemikian besar? Ada yang bilang karena korupsi, ada yang katakan karena tidak efisien, tidak produktif dan lain lain.

Tanggal 5 Desember 2019, di media, Erick Thohir sempat “mengeluh” bahwa BUMN banyak diisi pensiunan. Konon di media, menurut Erick itu tidak sesuai dengan visi misi Presiden.

Erick juga jelaskan bahwa 58% penduduk Indonesia diisi angkatan muda (menurut PP 45/2015 usia pensiun itu 56 tahun) Mungkin saja ini menjadi sebab tidak produktif nya BUMN.

Lalu apa yang kemudian di lakukan Erick terkait para pensiunan di BUMN? Apakah ia akan mengganti para pensiunan itu dengan generasi yang lebih muda?

Eng ing eeeeng… 19 hari berikutnya, tepatnya 24 Desember 2019 Erick Thohir mengangkat Zulkifli Zaini yang *berusia 64 tahun* menjadi Dirut PLN.

Berikutnya 17 Febuari 2020 Erick Thohir mengangkat Abdul Ghani di *usia 61 tahun* menjadi Dirut PTPN 3. Selanjutnya 29 Mei 2020 Erick Thohir mengangkat Krisna Wijaya yang *berusia 65 tahun* menjadi Komut Danareksa.

Jreeeng….. *BUMN kembali di isi para Pensiunan dan yang muda kembali tersingkirkan.* Memang lidah tak bertulang.

Beberapa waktu lalu Pemerintah sudah setuju memberi dana talangan lagi ke BUMN sebesar Rp 152 Trilyun.

Lucunya beberapa BUMN yang dapat dana talangan itu adalah BUMN yang sudah go publik, salah satunya Garuda Indonesia sebesar Rp 8,5 Trilyun.

Di Garuda Pemerintah punya saham sebesar 60% sisanya dimiliki pihak swasta salah satunya 25,6% di miliki Chairul Tanjung.

Di sini ada yang aneh dan membingungkan. Logika perusahaan Go Publik ketika butuh dana segar setidaknya ada dua pilihan, pertama, mencari pinjaman.

Kedua, menambah / menerbitkan saham baru. Nah lucunya status Rp 8,5 Trilyun yang di dapat Garuda ini tidak jelas diberikan sebagai apa. Apakah sebagai pinjaman atau penambahan modal (saham) negara.

Dalam PP 23 tahun 2020, tidak dikenal istilah Pinjaman negara. Yang ada hanyalah *PMN, Penempatan Dana (tidak bisa diluar Perbankan), Investasi atau Penjaminan*

Ketika negara memberikan uang pada Garuda dari anggaran PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) maka tidak ada pilihan pemberian tersebut harus dalam bentuk PMN atau Investasi, tidak bisa yang lain, *kecuali pemerintah nekad menabrak PP yang dibuatnya sendiri, dan itu adalah Pelanggaran Hukum yang tentunya sedang di tunggu para penggemar Impeachment.*

Baca juga :  Berhemat Di Era Paceklik

*Menteri itu untuk memecahkan masalah bukan membuat masalah.*

Kalau pemberian uang itu masuk pada kategori PMN atau Investasi maka konsekuensi hukum yang timbul adalah persentase saham pemilik saham yang lain bisa tergerus atau Delusi.

Sebagai contoh, jika Pemerintah memberi PMN Rp 8,5 Trilyun *maka bisa jadi 25,6% saham milik Chairul Tanjung berkurang tinggal 8%, 5% atau mungkin dibawah itu.*

Boleh jadi karena manisnya rayuan atau wabah corona pemerintah agak kurang fokus dan kurang jeli menegaskan status dana talangan itu. Yang penting bagi pemerintah adalah mencegah Garuda bangkrut agar tidak terjadi PHK besar besaran.

Mencegah PHK besar besaran di Garuda Maka Erick Thohir tanggal 3 April 2020 memanggil Dirut Garuda. Saat itu Erick Thohir minta agar Garuda tidak melakukan PHK.

Pada bulan yang sama, Presiden Jokowi juga meminta Pengusaha (termasuk BUMN) tidak lakukan PHK. Kira kira 27 hari kemudian yaitu tanggal 30 April, Dirut Garuda mengajukan syarat, PHK bisa di cegah asalkan ada relaksasi Financial.

Mungkin berniat menjawab keinginan Garuda maka 18 hari kemudian, tepatnya tanggal 19 Mei 2020 Menteri Keuangan menjanjikan dana talangan untuk Garuda sebesar Rp 8,5 Trilyun jauh lebih menguntungkan dibanding relaksasi financial.

Gedubrakkk.... setelah diminta jangan ada PHK oleh Presiden Jokowi dan Erick Thohir, lalu dana talangan Rp 8,5 Trilyun di rencanakan oleh Sri Mulyani, kenapa yang terjadi justru PHK dan Pe-rumahan serta penderitaan massal di Garuda.

*Tanggal 17 Mei 2020 sekitar 400 Pramugari di rumahkan, 1 juni 2020 sekitar 181 Pilot di PHK dan 2 Juni 800 karyawan Garuda dirumahkan.*

Bahkan berdasarkan surat JKTDZ/SE/70010/2020 sejak April hingga hari ini Garuda bahkan menunda dan memotong besaran 10% hingga 50 % dari gaji sekitaran 25.000 karyawannya.

Lho…. lho….. Lalu rencana dana talangan Rp 8,5 Trilyun itu sesungguhnya *untuk menyelamatkan siapa? Menyelamatkan Garuda, menyelamatkan Karyawan atau jangan jangan menyelamatkan 40an % saham yang dimiliki swasta.*

Yang lebih membingungkan, dari rangkaian derita karyawan Garuda ini, terjadi karena *Menteri tidak menjalankan permintaan Presiden? atau Dirut tidak menjalankan permintaan Menterinya?*

Sulit menjawab ini, tapi terlepas siapa yang membangkang pada siapa, yang pasti sudah banyak karyawan Garuda yang di PHK, dirumahkan dan menderita karena gaji di potong dan di tunda.

Apakah PHK hanya dilakukan Garuda? Tidak !! *Selain 181 Pilot Garuda, PHK terhadap 359 pekerja juga terjadi di PT Aerofood (anak Perusahaan Garuda), 490 pekerja di PT INKA* dan aroma PHK massal juga tercium akan segera susul menyusul terjadi di berbagai BUMN lainnya.

Mandiri misalnya sudah lempar wacana hanya mempertahankan 20% kantor cabang dan *menutup sekitar 2000 kantor cabang.

Andai tiap kantor cabang ada 5 karyawan saja berarti yang terancam PHK bisa jadi sampai 10.000 orang.* Pengurangan BUMN dari 141 menjadi 107 lalu menjadi 80 an BUMN,

Penutupan anak dan cucu BUMN yang sebentar lagi di lakukan juga semuanya sangat potensial berbuah PHK. Presiden Jokowi menegaskan berkali kali untuk berusaha agar tidak terjadi PHK karena sebab apapun tapi BUMN justru berancang ancang perampingan dengan konsekuensi PHK massal di masa Pandemi.

Kembali pada rencana Dana Talangan Rp 152 Trilyun. Dana itu digunakan untuk apa sesungguhnya? Kalau untuk tetap membuat BUMN bertahan hidup kenapa ketika sudah ada rencana dana lalu terjadi PHK sekian banyak?

Kalau ada dana talangan harusnya yang sekarat bisa di buat kembali sehat, yang sudah sempoyongan bisa kembali berdiri tegak.

Ini yang terjadi justru sebaliknya, dana talangan cair tapi sekian banyak anak cucu justru di tutup.

Membingungkan dan sulit mencari jawabannya, atau *jangan jangan apa yang disampaikan oleh salah satu anggota DPR komisi XI, Kamrrusamad, mungkin saja benar yaitu untuk memuluskan pencapresan 2024.*

Kalo di bilang untuk pencapresan nanti bisa debatable, tapi serangkaian video dari pembagian sembako sampai deklarasi di hotel tentunya agak sulit untuk di bantah.

*Apalagi konon rumornya, ada yang membuat deklarasi untuk mendukung seorang menteri jadi capres 2024 lalu tidak lama kemudian diangkat jadi komisaris salah satu BUMN.*

Hmmm teori baru nih, Cara cepat jadi komisaris.

Sebelum masuk pada sedikit cerita dan angka terkait UMKM maka ada baiknya juga situasi covid menjadi *momentum yang bagus untuk Presiden melihat lebih jernih kinerja para menterinya dan bisa menggunakan hak konstitusionalnya untuk melakukan evaluasi kabinet.*

Baca juga :  Kado HUT ke-76 RI, BNN Gagalkan Penyelundupan Sabu 324,3 Kg Sabu

Setelah cerita dan angka tentang BUMN, Sekarang mari kita bandingkan dengan UMKM.

Tahun 1998 ketika terjadi krisis ekonomi banyak perusahaan besar yang tutup, bank bangkrut, pabrik gulung tikar. PHK merebak di mana mana.

Ketika situasi semakin buruk dan mencekam, para pengusaha besar itu berlomba cari aman dengan pergi keluar negeri.

Siapa pelaku ekonomi yang tersisa dan bertahan di Indonesia saat itu? Jawabannya adalah UMKM, mulai dari pedagang kaki lima, warteg, warung kelontong, penjual sayur keliling, pedagang bubur ayam dan sektor usaha mikro dan kecil lainnya.

Ya… mereka yang tersisa, yang setia menjaga agar roda ekonomi negara tetap berputar. Ketika situasi kembali membaik, *banyak pengusaha besar itu pulang lagi ke Indonesia dan berdiri di depan seolah pahlawan, kembali berkoar, atur sana atur sini.*

Situasi ekonomi serupa sedang terjadi hari ini, pabrik, kantor, bank, mall, bioskop, tempat hiburan semua tutup. Ekonomi melemah, *PHK menurut kadin sudah tembus 6 juta orang, defisit mencapai Rp 1.039 Trilyun.*

Serupa tapi tak sama dengan tahun 1998 karena krisis terjadi dari sebab yang berbeda.

Untuk kesekian kalinya UMKM kembali membuktikan keperkasaan, ketangguhan dan kepahlawanannya. Sudah hampir 4 bulan situasi Darurat Corona diberlakukan, BUMN menjerit.

Pengusaha besar menjerit, tapi UMKM walau terseok terus berjalan tanpa lobi lobi, UMKM membuat roda ekonomi terus berputar di bawah, transaksi jual beli tetap terjadi, perputaran uang terus tidak berhenti di tangan para pelaku UMKM.

Saat truk peti kemas hilang dari jalan, di gang gang dengan sepeda atau motor pelaku UMKM tetap mengirim tahu, tempe, kue rumahan, jamu, sayur, telur, dan bahan kebutuhan pokok tetap beredar dari tangan ke tangan, dari warung di rumah kontrakan, dari kampung ke kampung.

Tangguh luar biasa!

Percaya atau tidak, mau tertawa meremehkan atau tidak, terserah, tapi data menunjukan bahwa *usaha Mikro di Indonesia mempekerjakan tidak kurang dari 107 juta orang, usaha kecil 5,7 juta orang dan usaha menengah 3,7 juta orang.*

Mereka para pelaku UMKM berkeringat, bekerja tanpa ribut ribut, tanpa tim sosmed untuk populerkan citra diri. Mereka bekerja dalam kesunyian dan keheningan tanpa puja puji tapi nyata menyelamatkan negara ini.

Bagaimana dengan para pengusaha besar itu? Para pengusaha besar bisa jadi termasuk BUMN yang kerap me-lobby kemudahan, fasilitas, pengurangan pajak, pinjaman berskala besar dengan bunga rendah, dana talangan dan kemudahan-kemudahan lainnya itu.

Ternyata, dalam data hanya mempekerjakan 3,58 juta pekerja atau sekitar 3% dari total pekerja se Indonesia. Sangat sedikit tidak berbanding seimbang dengan semua tuntutan dan permintaan ini itu mereka.

Huffff…. andaikata Program Padat Karya yang di canangkan Presiden Jokowi diimplementasikan dengan membagikan Rp 152 Trilyun itu untuk modal kerja masing masing Usaha Mikro melalui KUR Mikro dan kecil sebesar Rp 25 juta saja.

Maka, setidaknya akan ada 6 juta usaha Mikro dan Kecil yang bergeliat dan lepas dari sesak nafasnya. Andai tiap usaha mikro dan kecil itu mempekerjakan 3 orang saja maka paling tidak ada 18 juta lapangan kerja untuk 18 juta orang.

Itu kalau Rp 152 Trilyun, nah kebayang gak kalau 50%, dari dana PEN yaitu Rp 320 Trilyun jadi KUR Mikro yang di salurkan langsung, sekali lagi langsung ke UMKM tanpa mampir kanan kiri, maka *paling tidak ada 12.800.000 UMKM akan bangkit lalu akan ada setidaknya 38.400.000 lapangan kerja kembali terbuka, 38.400.000 orang kembali mendapatkan pekerjaan,*

Sebagai catatan tambahan, Menurut Direktur Utama Pusat Investasi Pemerintah, hingga saat ini Kredit Macet / Bermasalah atau NPL (Non Performing Loan) dari Kredit Ultra Mikro ternyata hanya 0%. Mungkin ada yang bisa carikan data pembanding berapa besaran NPL dari pengusaha pengusaha besar?

Sebagai penutup, Mungkin ada yang bertanya, “apa maksud tulisan ini?” Apakah Adian sudah tidak dukung Jokowi?

Hmmmm saya ini cuma skrup kecil dari mesin kampanye besar. Saya sudah ikut hore hore mendukung Jokowi sejak Jokowi menuju Ibukota untuk menjadi Gubernur, lalu Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.

Dan sampai sekarang, *saya tetap mendukung Jokowi dan belum terfikir untuk meninggalkannya apalagi dalam situasi sulit saat ini.*

Lalu kenapa saya menulis ini?

Ya karena saya mau mengambil peran *menjaga Jokowi dengan cara yang berbeda, bukan dengan memujinya setinggi langit tapi mengingatkannya terus menerus* dengan beragam cara.

Walaupun mungkin cara saya membuat banyak orang di sekeliling Jokowi merasa gerah dan mungkin memusuhi saya dengan berbagai cara termasuk mungkin menggunakan Buzzer.

Salam Hormat

*Adian Napitupulu*
Sekjen PENA 98

Tinggalkan Balasan