Kitab Suci umat Islam mengatakan bahwa pada kisah-kisah terdahulu terdapat pelajaran bagi mereka yang memungsikan akalnya (QS. Yusuf (12): ayat 111).
Penjelasan kitab suci itu menegaskan tentang betapa pentingnya kesadaran sejarah, sehingga menyampaikan manusia kepada kesadaran spiritualnya akan tuhan.
Memang kebanyakan orang-orang yang telah diberi kitab terdahulu, telah banyak mendustakan dan mengingkari kebenarannya. (QS. Ali Imran (3): ayat 23). Namun demikian, umat Islam janganlah cenderung tersulut untuk untuk tidak mengakui keberadaannya, sebab bagaimanapun pada salah satu rukun Iman adalah beriman kepada para nabi dan rasul Allah.
Konsekuensi logis dari beriman kepada para nabi dan rasul itu adalah berikut dengan kitab suci mereka. Akan terasa kurang sempurna keimanan seorang jika hanya mengimani para nabi dan rasul tapi enggan mengakui kitab suci yang dibawanya.
Demikian pula terhadap kelahiran para nabi dan rasul tersebut. Sebagai contoh dan yang selalu kontroversial ketika mengucapkan selamat atas kelahiran Isa Almasih, dengan ucapan selamat natal misalnya. Padahal sama halnya ketika umat muslim merayakan Maulid Nabi Muhammad SAW dengan penuh keikhlasan dan penuh gembira, karena juga sama-sama utusan Tuhan untuk menyelamatkan umat manusia.
Ayat Al-Qur’an yang selalu menjadi dasar perdebatan mengenai kapan persisnya Isa Almasih dilahirkan: “Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS. Maryam [19]: ayat 25).
Diktum ayat Al-Qur’an ini menggelitik sebagian para pemikir Islam untuk menafsirkan bahwa Isa Almasih dilahirkan pada musim panas, sebab menurut ilmu alam bahwa pohon kurma berbuah dan siap dipanen itu hanya pada musim panas, yaitu sekitar bulan juni sampai agustus.
Penafsiran demikian itu dalam teori ilmu pertanian modern sekarang sebenarnya tidaklah relevan. Karena kecanggihan teknologi pertanian telah dapat merekayasa kapan saja tanaman bisa berbuah pada masa tertentu sesuai yang diinginkan.
Apalagi ayat itu jika dipandang secara teologis, Tuhan Maha Kuasa atas segalanya, takdir seluruh alam berada dalam genggaman-Nya, segala makhluk tunduk atas perintah-Nya, maka tidak begitu relevan kalau cuma sekadar menggeserkan waktu berbuah pada pohon kurma dari musim panas ke musim dingin, seperti banyak pendapat yang dikemukakan orang.
Terlepas dari adanya perbedaan pendapat itu, yang jelas Al-Qur’an mengatakan demikian:
“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman, bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.” (QS. Al-Ahzab [33]: ayat 56).
Ayat ini ditujukan untuk Nabi Muhammad SAW sebagai ucapan selamat sejahtera atasnya.
Demikian pula ucapan selamat yang tidak berbeda atas Isa Almasih:
وَٱلسَّلَٰمُ عَلَىَّ يَوْمَ وُلِدتُّ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
“Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali.” (QS. Maryam [19]: ayat 33)
Lantunan bunyi ayat ini menegaskan bahwa adanya ucapan selamat sejahtera atas kelahiran Isa al-Masih. Tapi kebanyakan umat Islam enggan melakukannya, atau bahkan walau hanya sekadar mengucakan selamat atas kelahirannya.
Padahal kitab suci Al-Qur’an pun telah menyontohkan ucapan selamat sejahtera atas kelahiran Nabi yang terlahir tanpa seorang bapak tersebut.
Wallahu A’lam
Bambang Saputra (Cendikiawan Muslim Indonesia)