Dukun Di Masa Kini: Kemenyan dan Kembang 7 Rupa Bercampur handp hone dan Dolar

SDA dan tim Fernando Lembata

Dukun Di Masa Kini: Kemenyan dan Kembang 7 Rupa Bercampur handp hone dan Dolar

MATRANEWS.id — Dukun Di Masa Kini: Kemenyan dan Kembang 7 Rupa Bercampur handp hone dan Dolar

Di era serbamutakhir ini, profesi “orang pintar” tak lekang diterpa zaman. Ironis, bila terdapat para terpelajar dan pengambil keputusan di perusahaan atau lembaga publik saat menemui kebuntuan masalah, bergantung pula pada dukun, paranormal, cenayang, atau penasihat spiritual.
Bahkan, untuk soal-soal yang mendasar dan seharusnya bisa dipecahkan lewat komunikasi yang baik antarmanusia.
 Penafsiran yang berbeda tentang kata “dukun” di Timur dan Barat, membuat beberapa publik figur pelan-pelan memindahkan pegangan dari rasa percaya terhadap dirinya ke mantra-mantra atau tutur kata sosok yang mengaku mampu berkomunikasi dengan alam arwah. Perang sepanjang masa, ketika masalah rasional melawan irasional.
Begini, di masa pandemi lalu, ada yang berobat covid ke dukun. Bukannya sembuh, malah kemudian dukunnya malah jadi sakit dan berobat serta dirawat di rumah sakit. Kemudian yang lebih miris lagi, sang dukun meninggal dunia. Itu ramai dan menjadi jejak digital mbah google.
Cerita dukun ini merupakan tulisan features. Klien Berdasi, Dukun pun Berdasi saat situasi normal. Menjadi refleksi, apakah hal semacam ini kembali relevan. Masa old normal sudah berganti dengan post normal. Post normal sudah digantikan next normal. Masa paradigma kita masih terus berada di old normal atau tidak mau move on?
Di masa the next normal kita harus melakukan banyak perubahan. Barangkali istilah yang lebih tepat bukan lagi netx normal bisa jadi. Kondisi nyata bisa jadi next reality yang terjadi dan terus terjadi mulai saat ini.
Pawang Hujan Beraksi di MotoGP Mandalika 2022, Sejak Kapan Pawang Hujan Ada di Indonesia? 
Aksi pawang hujan Rara Istiani Wilandari di gelaran MotoGP Mandalika 2022 menarik perhatian netizen Indonesia dan masyarakat dunia.
Pasalnya, tidak hanya warga negara Indonesia yang ikut ramai memperbincangkan pro-kontra terhadap aksi pawang hujan di pagelaran akbar internasional tersebut, tetapi juga menjadi sorotan warga negara lain.
Sejumlah media asing dan akun Twitter MotoGP pun memberikan pujian terhadap aksi pawang hujan yang dinilai cukup berhasil dalam kerjanya itu.
Kita masih ingat saat Minggu (20/3/2022), balapan MotoGP Mandalika sempat ditunda sekitar satu jam akibat hujan deras yang turun. Bahkan sempat muncul petir di lintasan. Ketika hujan tak kunjung reda, pawang hujan pun kemudian beraksi melakukan ritual. Tak berselang lama, hujan pun mereda dan balapan kelas utama MotoGP pun bisa dilangsungkan.
Namun, sejak kapan aktivitas pawang hujan dikenal di Indonesia?
Keberadaan pawang hujan dan pawang-pawang lainnya seperti pawang ular, pawang buaya dan lain-lain ini sangat mungkin ada, karena adanya usaha manusia untuk bertahan atau mempertahankan hidup.
Dengan begitu, pawang hujan ada karena ada kebutuhan manusia untuk menyikapi dan menyiasati perilaku alam, khususnya hujan. Seperti yang kita ketahui, manusia membutuhkan hujan dalam hidupnya, tetapi ada kalanya di saat-saat tertentu tidak membutuhkan hujan.
Hal ini diperkuat dengan pola pikir masyarakat lama yang percaya pada kekuatan mantra. Di mana segala sesuatu bisa dikendalikan dengan mantra, termasuk hujan.
Mantra didasarkan untuk menghimpun energi yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan tertentu.
Mantra sebetulnya “hanya” bunyi yang disusun sedemikian rupa. Dalam konteks pawang hujan, mantra pawang hujan diyakini bisa menghalau hujan yang akan turun di suatu tempat tertentu. Ternyata, masih banyak kelompok masyarakat yang masih percaya pada kekuatan gaib.
****
Hari mulai merangkak menuju gelap. Sunyi membungkus sekeliling bangunan itu. Sesekali lengkingan jangkrik mengilik-kilik keheningan yang tengah mengurapi dua manusia yang terpekur di salah satu kamar.
Mereka bersimpuh di atas lantai karpet dengan wajah pasrah. Keduanya meyakini bahwa di hadapan mereka, tengah bersinggasana sang junjungan itu. Ya, sesuatu yang tak kelihatan dan dipercayai sebagai pemberi keberuntungan bagi siapa pun yang datang kepadanya.
Satu dari kedua manusia itu, seorang wanita tua yang tengah manggut-manggut seolah sedang menyimak sesuatu yang berbisik di telinganya. Pria yang di sampingnya diam dan tercekam.
Sesaat berlalu, suasana menjadi benderang. Gelap lalu lenyap bersama dengan lenyapnya “hawa lain” yang baru saja melingkupi ruangan itu.
Keduanya saling bertatapan. Apa yang sebenarnya terjadi di malam puluhan  bulan silam dan berlangsung teramat singkat, tak lebih dari beberapa jam itu?
Itu kisah benar-benar. Kedua orang itu adalah sang dukun – atau belakangan lebih dikenal dengan sebutan paranormal atau konsultan spiritual – dan pria yang menggunakan jasanya, yang kini disebut pasiennya.
Sesungguhnya itu hal biasa, tapi bila kemudian menilik jabatan sang pasien, maka geleng-geleng kepala saja jawabannya.
Pasiennya itu seorang eksekutif dengan jabatan setara direktur di salah satu perusahaan ternama di Jakarta.
Sedangkan makhluk tak kelihatan tadi, oleh wanita tua itu diyakini sebagai Eyang Ratu – Kanjeng Ratu Kidul – yang selalu datang menemuinya.
Tjut Meutia, wanita itu, pun berkisah pasiennya ini datang dengan keinginan agar kariernya lebih cepat melejit dan meminta agar semua halangan yang berpotensi merintanginya bisa diatasi.
Sayangnya, kehadiran pria itu agaknya tidak dikehendaki sang ratu lantaran dalam penglihatannya, pria ini tidak layak untuk dibantu.
Meutia yang selalu tak ingin melawan titah sang ratu, akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan layanannya yang sudah diberikan selama beberapa bulan itu.
****
EKSEKUTIF BERDUKUN: Eksekutif pergi ke dukun?
Itu salah satu gejala yang mengemuka belakangan ini seiring makin dekatnya kehidupan “gaib” dengan keseharian para eksekutif. Para dukun bahkan secara terang-terangan tampil menawarkan jasanya untuk menggaransi berbagai peruntungan.
Ki Aryo, pemilik nama samaran ini, adalah salah satu contohnya. Bersua dengannya, kebanyakan orang tak akan menduga jika dia ternyata seorang dukun dengan seabrek pasien dari berbagai perusahaan kelas wahid di Jakarta.
Penampilannya nyaris tak ada bedanya dengan pria, direktur sebuah perusahaan internet di Bandung, yang sedang “berobat” sore itu di salah satu kamar di Hotel Mulia, Jakarta.
“Ya, kalau dulu, dukun itu identik dengan penampilan yang lusuh dan cenderung kumuh, bahasanya pun kadang susah dimengerti, suka menggunakan minyak, dan dupa, atau pun akar kayu. Kini, tidak harus demikian, kan?” ujar sang dukun yang kemudian mengaku, menetap di salah satu apartemen di bilangan Kuningan, Jakarta, itu.
Jika dia lalu memilih berpenampilan demikian, alasannya, dia menawarkan jasa pada para pasien yang berkelas.
Sehingga, dia pun harus tampil menyesuaikan dengan si pasiennya. Lalu, dia mencontohkan, para dokter yang memiliki pasien dari kalangan menengah ke atas.
“Tentu saja ruang praktik dan penampilan si dokter tak bakal kumal,” ujarnya.
Lantas, apa sebetulnya yang diharapkan pasien pengusaha muda itu?
Pria yang tidak bersedia disebutkan jati dirinya ini lantas bercerita tentang bisnis yang dia jalani sejak lima tahun berselang.
Rupanya, tidak ada masalah dengan perusahaannya tersebut. Hanya, iklim kerjanya tidak kondusif. Kerap kali terjadi perkelahian antarsesama karyawan, dan itu yang harus diatasi.
Perkenalannya dengan sang dukun ini terjadi setelah sang pasien mendapat informasi dari seorang temannya yang pernah menggunakan jasa Ki Aryo.
Temannya itu memercayai bahwa ia mencapai puncak kariernya dalam waktu singkat berkat sang dukun. Hingga kini, posisinya masih aman berkat bantuan Ki Aryo.
“Setelah saya bertemu Ki Aryo, saya baru diberi tahu bahwa kantor yang kami sewa itu ternyata ada penunggunya. Dan, itu yang membuat hawa dalam kantor menjadi panas dan membuat orang mudah tersinggung atau marah,” kata dia, mengungkapkan.
Selanjutnya, secara rutin, malam Jumat di minggu pertama, keduanya selalu bertemu. Pada pertemuan itu, setelah mendapat laporan mengenai perubahan apa saja yang telah terjadi, Ki Aryo akan menitipkan beberapa doa untuk dibacakan ketika membakar kemenyan yang ada di salah satu pojok ruangan kantor itu. Dia tinggal membayar sejumlah uang pada sang dukun.
“Sejak saya ‘berobat’ ke sini, sudah mulai banyak perubahan yang terjadi di kantor saya. Hanya, letupan kecil masih terjadi sekali-sekali. Saya harus terus bertemu dengan Ki Aryo, dan terus menjalankan pantangan-pantangan yang dipesannya,” ungkap lulusan Institut Teknologi Bandung tahun 1992 ini.
****
MANTRA-MANTRA GO INTERNATIONAL: Fenomena yang dituturkan tersebut pada akhirnya bisa memberikan kesan bahwa jasa perdukunan kini tak lagi menjadi monopoli golongan tidak terpelajar atau kaum awam.
Kalangan eksekutif yang “sangat rasional” pun mulai tergoda untuk menggunakan jasa mereka.
“Hal ini tidak bisa dijelaskan secara rasional, tetapi banyak yang terbukti berhasil setelah datang ke dukun,” ucap pria, klien Ki Aryo tadi berkilah.
Kian hari, makin banyak saja eksekutif yang berbondong-bondong mendatangi tempat praktik para dukun.
Para dukun yang tadinya berada di daerah bahkan kampung pun perlahan beringsut mendekati kota hingga membuka praktik di tempat umum seperti pusat perbelanjaan dan hotel-hotel.
Bahkan, beberapa dukun telah membuka titik pelayanan mereka di luar negeri. Salah satu contohnya adalah Drs. Imam Suroso dan Dra. Asih Marlina yang masing-masing biasa dipanggil sebagai “Mbah Roso” dan “Jeng Asih.”
Keduanya telah membuka pelayanan mereka di dua negara tetangga: Singapura dan Malaysia.
Ekspansi pelayanan mereka tak bedanya dengan ekspansi bisnis sebuah perusahaan asing di Indonesia.
Menurut mereka, melebarkan sayap ke luar negeri merupakan sebuah tuntutan pasar, mengingat pasien dari negara-negara itu pun tidak sedikit. Namun, dengan mulai meluasnya layanan mereka ini, tuntutan untuk “mengisi ilmu” pun makin besar.
Berpuasa menjadi makin sering mereka lakukan. “Istri saya selama beberapa hari mengunjungi makam-makam orang sakti, seperti Imogiri dan makam Walisongo. Sedangkan saya, melakukan Umroh Lailatul Qodar selama dua minggu,” kata Mbah Roso.
Lain lagi Meutia, yang melakukannya dengan doa dan berkomunikasi dengan Eyang Ratu-nya, meskipun pada dasarnya dia merasa tidak harus melakukan itu.
Alasannya sederhana saja, ilmu yang dia miliki bukan dari belajar atau pemberian seseorang. “Ini merupakan kelanjutan dari ayah kepada saya, sehingga saya memiliki kemampuan lebih dalam hal ini,” tutur Meutia.
Ketika melayani pasiennya, wanita yang juga seorang pengacara ini mengaku, tidak semua permintaan mereka bisa terpenuhi.
Jika permintaan mereka menyangkut usaha yang tidak baik seperti menjatuhkan orang atau mencelakakan orang lain, Meutia pasti akan menolaknya. “Tetapi, banyak juga dukun yang mau melakukannya. Itu menyangkut pilihan setiap orang,” kata dia, tenang.

***

Ssst…Berapa Nomor HP-nya, Pak Dukun?

Siapa bilang dukun tidak mengikuti perkembangan teknologi?
Dari beberapa dukun yang ditemui MATRA, kebanyakan mereka tidak mencantumkan alamat lengkapnya di kartu nama. Yang tertera hanya nama dan nomor hand phone.
 “Telepon ke hand phone atau kirim sms saja dulu. Setelah itu, baru kita janjian bertemu,” ujar salah seorang dukun.
Pria yang lebih suka digelari paranormal ini bahkan sering membiarkan telepon selulernya (ponsel) dalam keadaan mati.
“Silakan kirimkan sms,” demikian suara yang terdengar ketika MATRA mencoba menghubunginya.
 Ya, perangkat teknologi seperti ponsel bukan lagi benda asing bagi para dukun. Selain sekadar sebagai alat komunikasi dan aksesori gaya hidup, peranti ini juga bisa menjadi medium untuk menjalankan aktivitas mereka.
Tidak sedikit yang menerima konsultasi dan memberikan layanan lewat hand phone.
 Itu sebabnya, jangan heran jika Anda menemukan sebuah hand phone canggih tergeletak di samping keris pusaka dan pembakar kemenyan di sebuah tempat praktik dukun. Ketahuilah, dukun sekarang tidak kalah dalam trend.
****

Dukun Modern di Belantara Hollywood

Saudara bukan, tetangga bukan, tetapi Julia Roberts sangat memercayai Lindsay Adlam. Nyaris, “sebelum bergerak” untuk aktivitas apa pun, aktris yang kondang lewat Pretty Woman itu selalu meminta pendapat Lindsay tentang segala hal.
Bahkan, masalah kehidupan pribadinya diumbar pada perempuan cantik itu yang mengaku sebagai ahli terapi warna itu.
 “Sesungguhnya, selebriti bukan pengikut trend, tetapi pencipta trend,” ujar penasihat pribadi Julia Roberts itu, “Anda tahu, pink merupakan warna favorit Julia, dan ia membutuhkan warna itu yang dapat menambah kekuatan cinta dan menumbuhkan rasa percaya diri.”
 Bukan hanya Julia Roberts, tetapi sesama aktris, seperti Rosanna Arquette, Gwyneth Paltrow, dan Demi Moore, pun memasrahkan dirinya pada kekuasaan “orang pintar”.
Susannah Galland, mantan produser sebuah stasiun televisi di London, Inggris, dan kemenakan perempuan mantan komedian kondang Marty Feldman, menjadi penyembuh kegalauan tiga artis cantik itu.
 “Hampir 80% waktu saya habis untuk membantu orang-orang yang selalu merasa gelisah dan tidak aman,” kata Susannah.
“Ingin menjadi sesuatu yang mereka kehendaki atau takut tak menjadi sesuatu seperti yang diingini, menjadi persoalan terbanyak yang harus saya atasi,” kata perempuan 40 tahun itu, panjang lebar seperti dikutip dari GloriaNet.
 Kinesiology menjadi metode yang diterapkan Susannah kepada kliennya. Ia mengaku hanya mendorong kliennya bersikap proaktif.
“Bukan gaya saya menyuruh klien menelepon seseorang pada waktu tertentu atau membatalkan kencan pada saat itu,” kata Susannah. Metode agar klien memunyai keputusan sendiri cukup sederhana, Susannah biasanya memerintahkan klien mengangkat satu lengan ke atas, kemudian berkonsentrasi dan berpikir.
 Ia mengatakan, “Pertama, pikirkan hal-hal positif, kemudian berkonsentrasi kepada persoalan yang dihadapi. Bila tiba-tiba lengan terasa berat, saya menyarankan kepada klien untuk tidak meneruskan dan tidak memulai sesuatu pekerjaan.”
Barangkali itu baru satu jurus Susannah, tapi para selebriti Hollywood berbondong-bondong berkonsultasi kepadanya.
 “Ini pemikiran baru. Bisa saja mereka menghasilkan US$40 juta dalam hidupnya, tapi ternyata itu tidak punya arti apa-apa.”
“Mereka menikah dan memiliki banyak kelebihan materi, tapi mereka mengkhawatirkan sesuatu.”
“Saya datang untuk membuka pikiran mereka,” ucap Susannah yang tak keberatan dirinya disebut cenayang.
****
LAIN BARAT, LAIN TIMUR: Dukun, dalam konotasi lisan acap kali bermakna negatif: orang yang menggunakan mantra untuk tujuan jahat kepada orang lain.
Namun, dukun dalam persepsi Barat bisa dimaknai sebagai sebuah profesi untuk membantu menyembuhkan penyakit orang lain, baik secara fisik maupun psikis. Irasional menjadi bukan kata mati.
 Dukun, cenayang, tabib, paranormal, guru spiritual, dan ragam istilah tersebut menjadi makna tersendiri berdasarkan tafsir yang berbeda-beda berdasarkan kepentingannya.
Banyak tokoh menjadikan para ahli di bidang ini sebagai pegangannya. Penyanyi Sting dan aktris Shirley Mclaine misalkan, mereka secara terbuka menyatakan mengikuti ilmu kebatinan atau tasawuf ala Indian.
Begitu pun Oprah Winfrey yang begitu taat pada ajaran dan kata-kata Deepak Chopra.
 Kecenderungan kepercayaan pada “dukun” di kalangan publik figur hiburan di Amerika Serikat (AS) makin terlihat mewabah. Metode-metode penyembuhan alternatif, mereka ikuti.
Bahkan, bukan rahasia umum lagi bila para dukun modern itu beraksi di pergelaran akbar semacam Oscar.
Tak jauh-jauh keinginan para bintang itu, selain mendongkrak popularitas secara spiritual, mendapatkan peran yang diinginkan, juga sampai merebut Piala Oscar.
 “Menjadi bintang terkenal rasanya seperti jatuh dalam lubang yang begitu dalam dan menyedihkan. Dan, kita tak bisa melarikan diri dari tempat itu,” ujar Madonna, yang mencari penghiburan pada ajaran Kabbala dan metode terapi Ayurvedic.
Superstar pop wanita itu juga menyebutkan, tak sedikit rekannya yang berprofesi sebagai bintang film, penyanyi, atau presenter kondang yang mencari kedamaian pada orang-orang yang memiliki kemampuan spiritual.
Ia menegaskan, “Kami kadang merasa sangat tertekan secara mental.”
 Pencariannya pun berbeda-beda. Richard Gere setelah bergaul akrab dengan Dalai Lama, kemudian begitu fasih bicara tentang ketenangan hidup, sikap pasrah, dan “tak terpengaruh” dunia luar.
“Saya dapatkan itu semua melalui proses meditasi,” kata aktor di film terbaik Oscar 2003, Chicago itu.
Selain itu, Dyaan Canon – pemeran hakim Jennifer Cone di Ally McBeal – untuk menenteramkan dirinya mengaku aktif di kelompok God’s Party yang ajarannya menyatukan unsur musik gospel, doa, dan penyembuhan.
 Beberapa bintang muda pun terimbas wabah semacam ini. Ahli terapi Dr. Diane Dalby membuka rahasia itu tanpa menyebut nama-nama kliennya.
“Mereka beramai-ramai mencari penyembuhan alternatif. Pasalnya, orang-orang kreatif ini selalu menganggap tubuh manusia tak lebih sebagai instrumen,” ujar wanita yang berpraktik di Los Angeles, AS.
 Diane Dalby melanjutkan tuturannya, “Seorang terapis bisa menemukan masalah yang mereka alami baik dari gangguan fisik atau emosional.”
Dan, “Bila sejarah gangguan emosional kemudian dicocokkan dengan kerangka waktu saat rasa sakit itu mulai timbul, ya, kemudian kami bermain sebagai detektif.”
 Dan, bagi Annabeth Gish – aktris cantik di serial televisi X-File terbaru – kepercayaannya pada Laura Bushnell sangat dalam.
Apa pun perkataan pendeta perempuan kelahiran Idaho, AS, itu selalu mentah-mentah ia turuti.
Banyak hal di luar nalar akal sehat yang diajarkan Laura, tapi Annabeth Gish selalu melakukannya.
“Saya menyebutnya high magic. Ini bukan omong kosong,” kata Laura, 47 tahun. Lantas suaranya  berdesis, “Anda tahu, saya tidak suka sesuatu yang dibuat-buat apalagi berbohong.”
****
INI BISNIS, BUNG!: Ke mana lagi muara dari semua ulah dukun modern tersebut, selain kepentingan mengisi pundi-pundi mereka. Aspek ekonomi kemudian menjadi hasil akhir, selain kepuasan klien terhadap “petuah” yang mereka berikan.
 Bahkan, ada saja yang mengaku sebagai ahli busana, secara terang-terangan menyarankan klien selebritinya mengenakan pakaian warna ini-itu, dengan aksesori ini-itu, dan corak ini-itu untuk meningkatkan pembawaan si klien.
Bintang seksi, Pamela Anderson, terlihat sering mengunjungi LA’s Chi-Chi One Spa. Bukan untuk berspa-ria, tapi ia telah menjadi pelanggan tetap Evelyn Mironneau yang konon, mampu mendiagnosis keluhan-keluhan fisik dan psikis, melalui pijat wajah atau facial.
 Metode Laura Bushnell selain high magic, yang dicari orang adalah rewiring, suatu proses yang katanya mampu memindahkan energi buruk dan membentengi tubuh manusia dari pengaruh buruk.
“Saya hanya bertanya tentang mimpi atau khayalan mereka. Mungkin impian itu tentang memenangi Academy Award atau mendapatkan peran yang membuatnya populer di televisi. Hanya fokus pada tujuan itu,” kata Laura, dengan wajah dingin.
 Tak sedikit, aktor atau aktris Hollywood menenteng si dukun Laura ke lokasi syuting. “Biasanya mereka meminta saya untuk membantu agar mereka fokus pada peran yang mereka mainkan. Siapa tahu mereka bisa mendapat Oscar,” tutur Laura, lagi.
 Kelarisan praktik Evelyn Mironneau atau Laura Bushnell tentu berdampak makin menggelembungnya kocek mereka.
Bukan seperti dukun-dukun di negara-negara berkembang, yang tak mematok harga pasti – mungkin, karena malu-malu –, para dukun modern Barat itu justru memasang tarif yang jelas dan sangat mahal.
 Agar bisa berkonsultasi dengan Laura Bushnell selama 90 menit, Anda harus merogoh dompet berkisar 220 poundsterling atau nyaris Rp3 juta. Sekitar 170 poundsterling atau hampir Rp2,5 juta berdialog dengan Susannah Galland.
Sedangkan hanya terapi warna agar meningkatkan rasa percaya diri, Anda bisa bicara 45 menit dengan Lindsay Adlam dan merogoh kocek 38 poundsterling (sekitar Rp500 ribu).
 “Para klien kami bukan orang sembarangan. Kami harus menjaga citra dan penampilan. Maka, saya tak berpikir panjang lagi untuk berkantor di kawasan elite Beverly Hills,” kata Susannah Galland, berterus terang kepada majalah Glamour. Ah, sebuah kiat yang cukup manjur buat menjaring konsumen, tampaknya.
****

Andakah Profesional yang Irasional?

Seorang pemimpin sebuah perusahaan menjadi sangat panik saat kebijakan yang ia lontarkan, ditentang para karyawannya.
Ia menjadi sangat gelisah, setiap kali melihat beberapa pegawainya berkumpul. Kecemasan yang mendera sampai puncak pada ketakutan runtuhnya “kekaisaran”-nya.
 Alih-alih mengajak dialog dan berkomunikasi dengan para karyawannya. Pemimpin itu justru mengontak dukun kepercayaannya, agar segera membacakan mantra-mantra dan meminta “pegangan” agar kekuasaannya berlangsung aman.
Si ajudan segera mengambil bungkusan yang harus dibakar di malam-malam tertentu. Menyedihkan memang, masalah rasional dipecahkan dengan irasional.
 “Bisa dimengerti bila ada orang yang melakukan tindakan semacam itu.”
“Hal tersebut menunjukkan seperti apa lingkungan yang membesarkannya, yang secara sadar atau tidak membentuk pemikirannya, meskipun ia punya pendidikan akademis yang tinggi sekalipun,” kata Ronny Hanggoro, psikolog dari Universitas Indonesia (UI).
 Pengasuh rubrik Psikoproblem MATRA itu, lantas mengatakan, pelarian terhadap persoalan yang dihadapi kepada soal-soal klenik atau perdukunan merupakan jalan pintas yang diambil karena ia tak mampu menyelesaikannya. “Itu semacam pengalihan perhatian,” kata Ronny, kemudian.
 Dia pun menjelaskan, terdapat semacam dualisme yang terjadi. Lebih jauh Ronny berkata,
“Ada orang terpelajar yang juga taat agama, tetapi ketika terbentur masalah, tetap saja lari kepada hal-hal klenik. Pasalnya, ia memercayai sistem nilai itu.”
Ia kemudian mengisahkan betapa perasaan gelisah terhadap posisi, jabatan, atau kelanggengan kariernya bisa membuat orang melakukan hal-hal irasional daripada memercayai dirinya mampu tanpa bantuan dukun.
 Hal senada diungkapkan DR. Gumilar R. Soemantri, yang menyayangkan sikap bila ada profesional yang menuntaskan masalah secara irasional. “Ia pergi ke dukun, membuktikan bahwa ia tak memiliki akal sehat, rasa percaya diri yang sangat rendah, dan ketidakmampuan dirinya,” tutur sosiolog asal UI itu, tegas.
 Banyak profesional yang berpendidikan tinggi – bahkan lulusan luar negeri – dan memiliki posisi yang strategis di perusahaannya, bergaji tinggi, namun cara berpikirnya masih “tradisional”, begitu menurut Gumilar Soemantri.
“Itu tindakan profesional yang kurang sempurna. Mestinya ia percaya terhadap kemampuan dirinya dalam menghadapi dan mengatasi persoalan. Pastilah itu dilakukan kalangan profesional yang tidak menemukan pencerahan dalam dirinya,” katanya.
 Gumilar lalu menekankan bahwa tindakan pengambil keputusan di tingkat apa pun dengan lebih memercayai klenik dan dukun merupakan tahap yang berbahaya, selanjutnya buat bangsa ini.
Ketika orang-orang bersaing, beradu argumentasi, berkomunikasi dalam tataran ilmiah, dan menempa sikap profesionalisme di era ini, sangat ironis bila sosok pemimpin melarikan diri pada hal-hal absurd yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
 “Berdoa di setiap agama pun masih bisa dipahami dari sisi akal sehat. Menyerahkan diri kepada kehendak Yang Mahakuasa, juga masih dipandang relevan dengan akal sehat,” kata Gumilar, tandas.
Tapi, “Menggantungkan diri kepada kekuatan klenik dan dukun, di mana rasionalnya. Hal itu menunjukkan percaya dirinya tidak ada atau dia tidak mampu melakukan tugasnya dengan benar sehingga perlu pelarian.”
 Menurutnya, bila pemimpin yang seharusnya memiliki penguasaan manajerial yang hebat, kemudian justru bergantung pada dukun, menunjukkan begitu kecanduannya dia pada hal-hal yang justru membenamkan dirinya kepada ketidakcakapan dia dalam memimpin dan berorganisasi.
 “Sosok seperti itu tak layak menjadi pemimpin di tengah persaingan global yang rasional seperti sekarang,” kata Gumilar, berapi-api, “padahal, intinya hanya kemampuan me-manage persoalan.”
 Penyerahan diri pada entitas yang justru menjadi superior terhadap dirinya sendiri, menurut Gumilar, hanya ketidakberanian menghadapi persoalan-persoalan nyata.
Profesional yang cerdas, harus mampu berdiri tegas dalam konstelasi peradaban sekarang.
“Jangan atasi persoalan nyata dengan hal-hal yang irasional, karena tak akan selesai, dan merendahkan diri Anda sendiri di depan karyawan,” kata Gumilar, berpesan. Renungkanlah!
#SDA dan tim Fernando Lembata

Klik edisi cetak majalah MATRA Juni 2022, ini

Baca juga :  Top of Mind Presiden Indonesia: Prabowo

Tinggalkan Balasan