MATRANEWS.id — Menurut ilmu psikologi, orang yang kurang pandai atau mahir dalam suatu bidang biasanya terdorong mengembangkan potensi lain untuk menutupi kekurangannya.
Sebagai contoh, seorang wanita yang sadar tidak memiliki postur fisik yang indah akan terdorong menutupi kekurangannya itu misal dengan meningkatkan keterampilan memasak atau menjahit. Dan akhirnya ia berhasil menjadi juru masak atau penjahit yang sukses.
Jelang Hari Kartini, kata kunci emansipasi selalu muncul lebih kuat dari hari-hari biasa. Kartini adalah lambang perjuangan kaum wanita. Yang diperjuangkan adalah emansipasi.
Emansipasi itu sendiri sebenarnya bukan kata yang secara khusus mewakili kepentingan perempuan. Emansipasi adalah perjuangan untuk mendapatkan persamaan hak. Namun, dalam bahasan itu seolah kata tersebut menjadi satu paket dengan emansipasi perempuan.
Apa wujud emansipasi itu? Biasanya dalam suasana perayaan itu ditampilkan sosok-sosok perempuan yang sukses dalam berkarier, khususnya di dunia yang biasanya dimonopoli oleh laki-laki, seperti dunia tentara, penerbang, atau pelaut.
Intinya, emansipasi itu adalah memberi kesempatan kepada perempuan untuk menjadi apa saja yang biasanya diperankan oleh laki-laki.
Emansipasi bukanlah mendorong perempuan untuk berkarier tingi-tinggi. Juga bukan mendorong mereka untuk melakukan hal-hal yang biasa didominasi laki-laki. Emansipasi adalah perjuangan untuk menempatkan perempuan sebagai manusia, sebagaimana manusianya laki-laki. Tidak lebih, dan tidak kurang.
Salah satu hal yang menyebalkan di mata kaum feminis adalah kenyataan, bahwa ide kesejaran antara lelaki perempuan secara implisit juga berarti memperbesar kemungkinan kaum perempuan untuk menjadi pelaku penyimpangan. Sudah terlalu lama, memang wajah kejahatan didominasi laki-laki.
Terpaparnya para pria dengan dunia kejahatan berkat banyaknya “dunia laki-laki” (mens world) yang terdapat dalam organisasi pemerintahan, lembaga penegak hukum, dunia laki-laki, termasuk preman atau pelaku kejahatan profesional kerah putih.
Memangnya di mana perempuan? Dengan semakin diberikan tempat kaum perempuan menjadi eksekutif, manajer, militer, atau pun polisi, termasuk satpam, mau tak mau bakal ada konsekuensi profesional. Logisnya, pasti ada saja yang salah jalan, salah perhitungan, atau berada di tempat waktu yang salah. Itulah ekosistem dunia.
Bila sang perempuan seorang dokter, maka selalu mungkin ia melakukan aborsi ilegal atau malpraktek medis. Bila ia akuntan, maka selalu mungkin dipaksa melakukan pembukuan ganda ataupun pengambilan kesimpulan keuangan yang manipulatif. Atau, bila ia seorang olahragawati, selalu mungkin terjebak persoalan doping atau suap menyuap.
Dengan semakin banyaknya kaum perempuan yang ikut bergelantungan di bus kota, yang pulang malam sehabis kerja, yang mencari kehidupan di sektor-sektor keras seperti transportasi, atau yang memainkan peran uniseks, muncul kenyataan yang kerapkali tak bisa terhindarkan.
Perempuan bisa sebagai penjahat yang secara kebetulan. Atau bisa karena tak punya harga diri, di tengah situasi dimana namanya moral, integritas, dan akuntabilitas justru hal-hal yang amat langka ditemui. Bagi yang kurang punya imunitas tapi juga terjebak dalam kebutuhan pragmatis, situasi “menjadi penjahat secara kebetulan” bisa berkembang ke arah “menjadi penjahat karena ada kesempatan”, sebelum kemudian “menjadi penjahat karena telah terbiasa.”
Apakah kaum pria bergembira? Bila itu yang terjadi, akan kita temui semakin banyak penjara wanita, semakin banyak wanita yang dihukum mati, samakin banyak pula penjahat wanita yang dideportasi atau dikasih grasi. Wah!
baca juga: majalah MATRA edisi cetak (print) — klik ini —
klik juga: majalah eksekutif edisi terbaru –cetak/print– klik ini