Garuda Indonesia di versi uang. Viral di media sosial, sosok dibalik foto uang kita yang bernama Frans Kaisiepo. Beliau, adalah seorang pahlawan nasional yang memiliki peran penting dalam penyatuan Papua dengan Indonesia.
Ia bahkan merupakan orang pertama yang dengan penuh kebanggaan mengibarkan Bendera Merah Putih di Irian Barat.
Frans Kaisiepo lahir pada tanggal 10 Oktober 1921 di Biak, Papua.
Ayahnya adalah seorang kepala suku Biak Numfor yang juga pandai besi. Ibunya meninggal ketika Frans masih berusia dua tahun. Frans kemudian dititipkan pada bibinya sehingga ia tumbuh besar bersama sepupunya, Markus.
Meskipun Frans tumbuh di kampung Wardo di pedalaman Biak, tapi ia beruntung dapat menempuh pendidikan dengan sistem Belanda. Pada tahun 1928–1931,
Frans bersekolah di Sekolah Rakyat. Kemudian ia melanjutkan ke LVVS di Korido hingga tahun 1934, lalu ke Sekolah Guru Normalis di Manokwari.
Setelah lulus, Frans Kaisiepo sempat mengikuti kursus kilat Sekolah Pamong Praja di Kota Nica (sekarang Kampung Harapan Jaya), Papua, selama bulan Maret hingga Agustus 1945.
Di sekolah tersebut, Frans diajar oleh Soegoro Atmoprasodjo, seorang guru dari Jawa yang sangat dipercaya oleh Belanda tapi justru mengajarkan nasionalisme pada murid-muridnya.
Soegoro Atmoprasodjo adalah aktivis Partai Indonesia (Partindo) dan guru Taman Siswa bentukan Ki Hadjar Dewantara. Pada tahun 1935 Soegoro dibuang ke Boven Digoel, Papua karena dituduh terlibat pemberontakan terhadap Belanda.
Ajaran dari Soegoro semakin menambah rasa cinta Frans Kaisiepo pada Indonesia. Dari Soegorolah, Frans dan teman-teman sekolahnya mengenal lagu Indonesia Raya, jauh sebelum gerakan Papua Merdeka muncul.
Pada tanggal 15 hingga 25 Juli 1946, sebuah konferensi yang bertujuan untuk membentuk negara-negara bagian Republik Indonesia Serikat dilaksanakan di Kota Malino, Sulawesi Selatan. Konferensi tersebut dikenal dengan nama Konferensi Malino.
Frans Kaisiepo ikut menghadiri konferensi sebagai wakil Papua. Pada konferensi tersebut, ia menentang keras niat Belanda yang ingin menggabungkan Papua dengan Maluku dan memasukkan Papua ke Negara Indonesia Timur (NIT).
Pada akhirnya, Negara Indonesia Timur hanya terdiri dari Maluku, Sulawesi, Bali, dan Nusa Tenggara, sedangkan Papua tidak jadi dimerdekakan. Wilayah itu tetap dalam cengkeraman kekuasaan Belanda dan diberi nama Hollandia.
Di konferensi yang sama, Frans juga mengusulkan supaya pemimpin Papua dipilih dari kalangan sendiri dan mengubah nama Papua menjadi Irian, diambil dari bahasa Biak yang berarti panas.
Istilah ‘irian’ berasal dari para pelaut Biak yang harus menunggu panas matahari agar dapat melaut, karena pantai Pulau Biak selalu tertutup kabut.
Penggunaan nama Irian sebagai pengganti Papua juga merupakan simbol pengharapan bahwa Irian akan menjadi cahaya penerang yang mengusir kegelapan di Indonesia.
Pada akhirnya, nama Irian dijadikan akronim oleh Presiden Soekarno dengan kepanjangan “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland”, untuk memompa ‘fighting spirit’ rakyat dalam mengusir penjajah.
Namun usulan untuk mengganti nama dan menyatukan Irian dengan Indonesia tidak mendapatkan dukungan sama sekali, baik dari pihak Indonesia Serikat maupun pemerintah Belanda.
Bahkan Frans diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda, dengan alasan bersekolah di Opleidingsschool voor Inheemsche Bestuursambtenaren (OSIBA) di Belanda.
Sejak itu, tidak pernah ada perwakilan dari Papua untuk konferensi apapun mengenai Indonesia atau Papua.
Lima belas tahun berlalu sejak konferensi Malino, pada tahun 1961 Presiden Soekarno membentuk Komando Mandala untuk merencanakan, mempersiapkan, dan melaksanakan operasi militer yang bertujuan menggabungkan Papua dengan Indonesia. Operasi militer tersebut diberi nama Trikora (Tri Komando Rakyat).
Ketika menyadari tujuan Trikora sejalan dengan keinginannya untuk menyatukan Papua dengan Indonesia, Franspun berusaha memberikan bantuan sebisa mungkin.
Saat itu, Frans baru saja mendirikan sebuah partai politik bernama Irian Sebagian Indonesia (ISI). Melalui ISI, Frans Kaisiepo memberikan bantuan untuk sukarelawan Indonesia yang mendarat di Mimika. Usahanya berhasil.
Tahun 1963, tentara kolonial Belanda hengkang dari Papua. Pada tahun 1964, gubernur Papua bentukan kolonial Belanda, yang bernama Eliezer Jan Bonay diturunkan dari jabatannya dan ditahan oleh pemerintah. Sebagai gantinya, Frans Kaisiepo diangkat menjadi gubernur Papua.
Selama menjabat gubernur, banyak peningkatan yang terjadi di Papua dibanding ketika dipimpin oleh pemerintah Belanda. Di antaranya adalah pertumbuhan penduduk dan tingkat pendidikan masyarakat.
Lima tahun kemudian, pada tahun 1969, di Papua Barat dilakukan jajak pendapat oleh PBB untuk menentukan status wilayah tersebut; bergabung dengan Indonesia atau menjadi milik Belanda. Jajak pendapat tersebut dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat atau disingkat Pepera.
Masing-masing daerah mengirimkan perwakilan untuk memberikan suara dan menentukan status Papua. Saat itu, Frans Kaisiepo memiliki peran yang cukup penting.
Ia sering melakukan kampanye ke Jayapura, Jayawijaya, Paniai, Fak-fak, Sorong, Manokwari, Teluk Cendrawasih, hingga ke Merauke guna meyakinkan para anggota dewan di daerah-daerah tersebut agar memilih bergabung dengan Indonesia.
Tak berhenti sampai di sana, Frans Kaisiepo dipilih menjadi anggota delegasi Indonesia untuk menyaksikan pengesahan hasil Pepera di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York.
Setelah pensiun dari jabatan gubernur Papua, Frans Kaisiepo ditarik ke Jakarta oleh pemerintah Indonesia. Dia diangkat menjadi pegawai tinggi di Kementerian Dalam Negeri dan menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Selain itu, ia juga diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) periode 1973–1979.
Frans wafat di Jakarta pada 10 April 1979 akibat serangan jantung setelah dirawat selama beberapa hari di sebuah rumah sakit di Jakarta.
Atas jasa-jasanya, pada tanggal 14 September 1993 Frans Kaisiepo dianugerahi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional.
Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama kapal perang TNI AL dan bandara internasional di Pulau Biak. Bahkan pada tahun 2016, Bank Indonesia merilis uang baru nominal Rp10.000 dengan gambar Frans Kaisiepo di salah satu sisinya.
Demikianlah sosok Frans Kaisiepo, sang pengibar Merah Putih pertama di Tanah Papua.
Sudah sepantasnya kita semua mengenal dan menghormati setiap pahlawan bangsa Indonesia. Tanpa keberadaan para pahlawan, kita tak bakal merasakan kemerdekaan seperti yang kita nikmati sekarang.
#Rizki Adinda & Khonita Fitri. sumber: Winston Zippi Johannes.