MATRANEWS.id — Bagi Hakim Agung Suharto, kepercayaan Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof Dr Syarifuddin, MH SH menunjuk dirinya sebagai juru bicara MA merupakan amanah luhur yang harus ia jalankan.
Pasalnya juru bicara adalah etalase dari wajah kelembagaan Mahkamah Agung. Publik akan mengenal kinerja, kebijakan dan transparansi MA dari satu pintu sang juru bicara.
Hakim Agung Kamar Pidana, Suharto, mengemban amanah baru sebagai Juru Bicara Mahkamah Agung sejak awal Februari 2023.
Suharto dipercaya oleh Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifuddin untuk menggantikan jabatan yang ditinggalkan Andi Samsan Nganro. Sebab, Andi Samsan yang telah memasuki masa purnatugas.
Pria yang menjadi hakim agung sejak 2021 itu, mengakui, sejak menjadi juru bicara, ponselnya tak pernah sepi.
Isu pertama yang harus dia hadapi adalah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan permohonan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) untuk menunda pemilu selama dua tahun, empat bulan, dan tujuh hari.
Sebagaimana dilansir dari Kompas, Suharto, yang menjadi hakim agung sejak 2021 itu, mengakui, sejak menjadi Juru Bicara MA, ponselnya tak pernah sepi. Itu sebabnya ia butuh ponsel baru.
Suharto merupakan hakim agung yang mulai memakai toga emas sejak 2021. Ia menjadi hakim agung setelah empat kali ikut seleksi.
Sebelum menjadi Hakim Agung, Suharto merupakan Panitera Muda Pidana Khusus pada Mahkamah Agung (MA) sejak tahun 2016.
Sebelumnya ia dikenal publik saat menjadi Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus). Untuk pendidikan S1 diraih Suharto dari Fakultas Hukum Universitas Jember.
Suatu ketika Suharto pernah diwawancara soal motivasinya menjadi hakim agung pada 4 Agustus 2022.
Suharto melihat sejumlah permasalahan di MA terutama jumlah perkara yang terus membengkak, mendorong hakim yang dikenal santun ini memiliki motivasi untuk berkontribusi kepada MA.
Suharto mengungkap persoalan yang dihadapi MA saat itu justru tunggakan minutasi. Di Kamar Pidana yang Suharto tahu persis itu 5.000 – 7.000 minutasi belum terkirim.
Suharto sudah memberi dukungan teknis administrasi yudisial kepada Hakim Agung. Suharto memiliki delegasi wewenang dari panitera yang tugasnya mengirim salinan putusan MA.
Dari sanalah Suharto memiliki motivasi untuk menjadi Hakim Agung.
Karena dalam kesehariannya Suharto sudah berpengalaman makan asam garam, membaca dan mengamati perjalanan perkara sampai diputus.
Sampai saat tanda tangan untuk dikirim ke pengadilan pengaju. Kalau produktivitas memutus, 85 persen MA dapat memutus dalam kurun waktu 90 hari.
Suharto menggambarkan dirinya kini sudah berada pada dapur Mahkamah Agung (MA), tetapi belum menjadi “Koki”.
“Ibaratnya saya sudah di dapur, tapi saya belum menjadi koki. Saya punya keinginan jadi “koki” bagaimana masakan ini kira-kira tidak mencederai perasaan keadilan masyarakat secara legal justice, moral justice, maupun social justice.”
Jadi konkritnya, “Saya ingin ikut dalam penguatan visi MA, memberikan pelayanan hukum berkeadilan bagi para pencari keadilan. Salah satu bentuk pelayanannya bagaimana agar putusan yang telah diputus oleh MA segera diselesaikan minutasinya,” ungkap Suharto.
“Karena seluruh salinan putusan Mahkamah Agung yang kamar pidana, saya yang menandatangani. Jadi saya, masakan Hakim Agung yang agak pedas, yang kemanisan, saya yang tandatangani salinan putusan,” masih menurut Suharto.
“Sehingga saya punya motivasi, mengamalkan ilmu saya sambil bagaimana memperbaiki minutasi. Karena saya sudah tahu itu motivasi saya jadi hakim agung,” sambung dia.
Panelis menanyakan mengapa ada banyak perkara kasasi di MA, padahal Pasal 45A UU MA sudah ada pembatasan kasasi. Suharto menjawab di pidana khusus ada tiga besar perkara kasasi dan peninjauan kembali.
Pertama perkara narkotika. Kedua dan ketiga korupsi dan perlindungan anak, tiap tahun bolak-balik ganti peringkat.
Di politik hukum nasional kita, pembuat UU beranggapan meningkatkan ancaman hukuman itu akan signifikan dengan mengurangi kejahatan.
Pasal 112 dan 114 UU Narkotika minimum pidananya lima tahun, minimum denda 800 juta. Jadi tidak pakai gramisasi, berapa pun volumenya asalkan Pasal 114 dia kena empat tahun. Inilah yang menyebabkan orang berbondong-bondong kasasi.
“Jadi mayorits perkara kasasi justru narkotika di pidana khusus, dari tahun ke tahun sekitar 35-37 persen. Setelah kita amati, belum ada studi yang baku, yang kasasi dipidana empat tahun denda 800 juta, selalu begitu,” ungkap Suharto.
Makanya ada rumusan hasil rapat pleno kamar zaman Artidjo Alkostar, hakim perkara narkotika memutus yang didakwakan, tetapi menabrak minimum pemidanaan.
Artinya kasus tersebut lebih tepat di Pasal 127, tanpa hak untuk menggunakan narkotika untuk diri sendiri. Namun karena didakwakan Pasal 112 dan 114, hakim boleh menjatuhkan pidana kurang dari minimal.
“Kami beberapa kali dengan BNN, Kejaksaan Agung, bekerja sama untuk sosialisasi mengenai hal ini. Karena semangatnya penyidik dan Jaksa selalu menkonstruksikan dakwaan Pasal 112 dan 114,” kata Suharto.
Suharto kembali ditanyakan mengapa proses peninjauan kembali (PK) di MA juga tinggi. Suharto menjawab ada break down dari Pasal 45A UU MA, yakni Sema Nomor 8 tahun 2011.
Setelah konsultasi dengan pimpinan, spirit Sema tersebut untuk dipakai dalam proses PK. Hanya trend sekarang PK dianggap upaya hukum tingkat empat. Sehingga advokat hampir selalu menggunakan hal ini.
“Saya minta legal standing-nya harus jelas. Pemohon PK legal standing-nya narapidana, bukan terdakwa. Jadi upaya para advokat menghindari eksekusi lewat mekanisme PK itu akan terhalang apabila teks Pasal 263 KUHAP ditafsir dengan benar, bahwa pemohon PK narapidana atau ahli waris,” pungkas.
H. Suharto mengawali karir di lembaga peradilan sebagai CPNS Calon Hakim pada Pengadilan Negeri (PN) Madiun pada tahun 1985.
Pada tahun 1987, Ia diangkat sebagai Hakim pada Pengadilan Negeri Kota Baru (Kalimantan Selatan).
Pada tahun 1991, Ia mendapat mutasi sebagai hakim pada Pengadilan Negeri Tarakan (Kalimantan Timur).
Enam tahun berikutnya (1997), Suharto kembali mendapatkan keputusan alih tugas ke PN Balikpapan yang dijalaninya hingga awal tahun 2002.
Setelah 12 (dua belas) tahun mengabdi di Bumi Borneo, pada bulan Januari 2002 Suharto mendapatkan keputusan alih tugas ke PN Kabupaten Madiun (Jawa Timur).
Tugas sebagai hakim di PN Madiun ia jalani hingga Juli 2005. Setelah bertugas 3 tahun di PN Madiun, Suharto mendapatkan penugasan ke PN Kediri. Dua tahun berikutnya, Suharto mendapat promosi sebagai Hakim di PN Jakarta Selatan.
Pada tahun 2009, ia mendapat kepercayaan untuk memimpin pengadilan sebagai Wakil Ketua PN Samarinda.
Setelah satu tahun menjalani tugas sebagai Wakil Ketua PN Samarinda, pada September 2010, Ia dipercaya menjadi menjalankan amanah sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Pengabdiannya sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Utara berakhir hingga Agustus 2011 ketika Ia dipercaya mengemban amanat sebagai Ketua PN Jakarta Pusat. Jabatan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Ia jalani hingga November 2013.
Pengalaman sebagai pimpinan di beberapa pengadilan negeri tersebut telah mengantarkan Lulusan Fakultas Hukum Universitas Jember tahun 1984 tersebut sebagai Hakim Tinggi pada PT Makassar pada bulan November 2013.
Setelah menduduki jabatan hakim tinggi, Suharto memperoleh sertifikasi hakim Tipikor tingkat Banding pada bulan Juli 2015 dan menjadi Hakim Tipikor di pengadilan yang sama sejak Juli 2015.
Jabatan Panitera Muda di MA berdasarkan UU Mahkamah Agung (UU 3 Tahun 2009) harus dijabat oleh hakim tinggi dengan pengalaman masa kerja sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.
H. Suharto menjadi sosok terpilih berdasarkan pemenuhan syarat formal jabatan dan penilaian rekam jejak dan prestasi selama menjalankan tugas.
Rekam jejak selama mengabdi sebagai hakim dan pimpinan pengadilan telah memunculkan nama dari suami Titie Poedji Sayekti ini sebagai sosok yang terpilih untuk menduduki jabatan Panitera Muda Pidana Mahkamah Agung.
H. Suharto, SH, M.Hum kemudian dilantik Ketua MA sebagai Panitera Muda Pidana Mahkamah Agung pada Selasa 7 April 2016. Suharto menggantikan Dr. Zainuddin, SH, MH yang mendapat promosi sebagai Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Gorontalo.
Sebagai Panitera Muda Pidana Mahkamah Agung, kini penyandang Magister Hukum dari Universitas Merdeka Malang tahun 2003 ini bertanggung jawab terhadap proses registrasi, distribusi dan pengiriman kembali berkas kasasi/PK pidana umum yang jumlahnya berkisar antara 2500-3000 perkara dalam setiap tahunnya.