Jejak Digital “Persaingan” TNI/Polri, Catatan Pinggir Yang Terhapus

Jejak Digital “Persaingan” TNI/Polri, Catatan Pinggir Yang Terhapus
Jurnalis dengan pelbagai tanda jasa dari bangsa ini (Selamat Ginting)

MATRANEWS.id — Berita yang ditulis oleh jurnalis senior: Selamat Ginting, mendadak viral.  Dua tulisan ini, terbit di Koran Republika,  untuk rubrik Teraju, Senin, 16 Desember 2019.

Uniknya, tulisan itu malah tak bisa di klik di sumbernya, yakni republika.co.id.  Maka, di grup wartawan ABRI 1990-2000 menjadi bahan diskusi.

Apa yang terjadi?

Lae Ginting,  kabarnya sempat diberitahu bahwa tulisan itu “mengguncang Cilangkap” dan ada yang berkeberatan. Janganlah menguak ini-itu.

Sementara soal track record, Selamat Ginting memang berkondite baik. Ia penerima Satyalancana Wira Karya atas karya jurnalistik selama 25 tahun. Khususnya tulisan  tentang politik pertahanan keamanan negara.

“Jenderal lapangan”, yang kerap menulis liputan TNI ini, menerima kompetensi wartawan Utama dan penerima Press Card Number One.

Meliput sejak 1993 era Pangab Jenderal Try Sutrisno dan beberapa kali memenangi lomba tulis tentang TNI. Ia disebut “orang pintar” yang banyak tahu “isi perut” TNI.

Ia menerima tanda jasa negara dari negara, karena yang bersangkutan  tugas liputan operasi pemulihan keamanan di daerah gejolak bersenjata demi tegaknya NKRI.

Selamat Ginting juga memperoleh tanda jasa negara berupa Satya Lencana Kebaktian Sosial atas dedikasi dalam liputan sosial kemanusiaan, pada saat terjadinya tsunami di Aceh dan Sumatra Utara, pada Desember 2004.

Satya Lencana Dharma Nusa, diberikan kepada personel militer atau sipil yang dianggap berjasa dalam tugas di daerah konflik bersenjata.

Kejadian di Provinsi Papua, Papua Barat, Aceh, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur berbatasan dengan Timor Leste, selama lebih dari tiga bulan secara terus menerus atau minimal 120 hari secara tidak terus menerus.

Penganugerahan tanda jasa negara itu, berdasarkan usulan dari Mabes TNI dan Kementerian Pertahanan. Setelah itu melalui sidang dewan gelar dan tanda jasa negara.

Dengan persetujuan dari penulis, analisa yang ditulis itu dan kini “hilang”, termuat di beberapa media online, yang minta ijin untuk menerbitkannya.

Jejak digital dari tulisan pertama, Senin 16 Desember 2019. Tulisan kedua pada 17 Desember 2019. Namun, pada 18 Desember 2019, tulisan tersebut hilang dari Republika Online.

****

Judulnya:  Dominasi 1986 dan Langkah,  Cegah Nepotisme Militer

Oleh: Selamat Ginting (Jurnalis Republika),  Pemerhati Komunikasi Politik Militer

 Dominasi abituren Akademi TNI 1986 menjadi ciri pola kepemimpinan Marsekal Hadi Tjahjanto. Mengapa muncul kekhawatiran pola tersebut akan menjadi nepotisme dalam tubuh militer?

Berawal dari Surat Keputusan Panglima TNI, Nomor  Kep/1055/IX/2019, tertanggal 24 September 2019.  Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto melakukan mutasi dan promosi jabatan perwira tinggi (pati) TNI.

Dalam keputusan tersebut, Panglima TNI menunjuk tiga pati untuk memimpin Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan).

Jabatan untuk pati bintang tiga (letnan jenderal/letjen, laksamana madya/laksdya, marsekal madya/marsdya).

Ketiga pati tersebut adalah Laksda Yudo Margono, Marsda Fadjar Prasetyo, dan Mayjen Ganip Warsito. Masing-masing sebagai Panglima Kogabwilhan I, II, dan III. Ketiganya mendapatkan promosi bintang tiga.

Yudo maupun Fadjar, sama-sama lulusan 1988. Yudo lulusan AAL 1988-A (pola pendidikan empat tahun: masuk 1984, keluar 1988).

Sedangkan Fadjar lulusan AAU 1988-B (pola pendidikan tiga tahun: masuk 1985, keluar 1988).  Mereka mendapatkan promosi bintang tiga pertama kali bagi abituren (lulusan sekolah militer) Akademi TNI 1988.

Di luar dugaan, untuk pati dari Angkatan Darat. Ternyata bukan lulusan 1988 maupun 1987, melainkan 1986.

Ya, Ganip lebih senior, lulusan Akmil 1986. Satu angkatan kelulusan dengan Panglima TNI Marsekal Hadi, AAU 1986.

Ganip sebelumnya sebagai asisten operasi (asops) panglima TNI. Dengan promosi jabatan itu, ia harus menanggalkan jabatan asops panglima TNI.

Dalam keputusan dengan nomor yang sama. Jabatan asops panglima TNI diserahkakan kepada Mayjen Tiopan Aritonang.

Tiopan juga sama-sama lulusan Akmil 1986. Ada pun jabatan Tiopan sebelumnya adalah Panglima Kodam Merdeka di Manado, Sulawesi Utara. Namun dalam surat keputusan panglima TNI tersebut, belum ada pengganti jabatan panglima Kodam Merdeka.

Kini, hampir tiga bulan jabatan Asops Panglima TNI dan Pangdam Merdeka dibiarkan mengambang.

Tiopan belum menyerahkan tongkat komando kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Andika Perkasa.

Mengapa? Karena belum ada penggantinya.

Apakah wilayah Kodam Merdeka, yang terdiri dari tiga provinsi: Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah, tidak begitu penting untuk diisi oleh seorang panglima Kodam?

Padahal, Kodam Merdeka wilayahnya antara lain berbatasan dengan negara tetangga, Filipina.

Jika tidak penting, untuk apa dibentuk Kodam Merdeka yang merupakan pemekaran dari Kodam Hasanuddin? Kodam Hasanuddin sebelumnya bernama Kodam Wirabuana.

Baca juga :  BULOG Ringankan Beban Sembako Rakyat Dengan Gelar Promo

Apakah jabatan Asops Panglima TNI juga bisa dikosongkan untuk waktu yang cukup panjang?  Bagaimana pengendalian operasi pasukan TNI?

Saat Panglima TNI Hadi Tjahjanto mendampingi Presiden Jokowi mengunjungi Papua pada 28-29 Oktober 2019 lalu, Ganip Warsito masih dalam posisi sebagai Asops Panglima TNI.

Kasus tersebut memperlihatkan bagaimana lemahnya perencanaan penempatan personel oleh pimpinan TNI. Sekaligus mengabaikan rantai komando organisasi pada level panglima komando utama strategis.

Dari kasus ini patut diduga ada ketidak harmonisan antara pimpinan Mabes TNI dengan Mabesad.

Ada deadlock dalam mutasi dan promosi perwira tinggi TNI.

Patut diduga, ada “gesekan” yang keras dalam siding dewan jabatan dan kepangkatan tinggi, antara pimpinan Mabes TNI dengan Mabesad.

Sampai kapan mau dibiarkan seperti ini?

Kasus ini bukan cuma merugikan organisasi TNI saja. Tetapi juga merugikan rakyat sebagai pemilik sah negeri ini. Rakyat yang membiayai TNI untuk mengawal kedaulatan negeri.

Akademi 1986

Masih hangat mutasi sebelumnya, juga untuk abituren Akmil 1986. Antara lain,  Sesmenko Polhukam diberikan kepada Tri Soewandono, melalui keputusan panglima TNI pada pertengahan September 2019 lalu.

Artinya, Tri Soewandono berhak mendapatkan kenaikan pangkat menjadi letjen. Ia menggantikan Letjen Agus Surya Bakti yang pensiun September 2019 lalu.

Sebenarnya ada bintang tiga aktif yang belum mendapatkan jabatan. Dia adalah Letjen Dodik Wijanarko, Akmil 1985. Bekas Komandan Puspom TNI itu, kini diparkir untuk waktu yang cukup lama.

Hanya sebagai staf khusus panglima TNI, sejak Maret 2018. Ini yang disebut jenderal bintang tiga, tetapi ‘mengganggur’, hampir dua tahun, lantaran tidak diberikan jabatan.

Sebelumnya pula ketika dibentuk Komando Operasi Khusus (Koopssus) TNI pada Juni 2019. Lagi-lagi posisi itu diberikan kepada abituren Akmil 1986, Mayjen Rochadi. Rochadi resmi menjadi Komandan Koopssus TNI pada Juli 2019 lalu.

Sebelumnya, lulusan terbaik Akmil 1986, Letjen (Purn) Hinsa Siburian, juga menduduki posisi strategis setingkat menteri, yakni  Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). Hinsa merupakan lulusan Akmil 1986 pertama yang meraih pangkat letjen.

Kini ada enam letjen aktif lulusan Akmil 1986.

Mereka adalah Letjen Tatang Sulaiman (wakil KSAD), Letjen Joni Supriyanto (kasum TNI), Letjen Besar Harto Karyawan (pangkostrad), Letjen Ganip Warsito (pangkogabwilhan III TNI), dan Letjen Tri Soewandono (sesmenko polhukam). Total ada tujuh orang yang berhasil menjadi letjen.

Untuk jabatan strategis, seperti panglima Kodam, abituren Akmil 1986 dan 1987 sama-sama menduduki empat jabatan pangdam.

Abituren 1985 masih menyisakan satu pangdam (Kodam Hasanuddin). Abituren Akmil 1989 diwakili satu orang (kodam Jayakarta).

Sedangkan abituren 1988 tujuh orang, terdiri dari 1988-A tiga orang dan 1988-B dua orang.

Sementara panglima divisi infanteri (Divif) Kostrad untuk abituren 1988 dan 1989. Panglima Divif 1 Kostrad, Mayjen Agus Rohman (Akmil 1988-A). Panglima Divif 2 Kostrad, Mayjen Tri Yunianto (Akmil 1989). Panglima Divif 3 Kostrad, Mayjen Ahmad Marzuki (Akmil 1989).

Di luar 1986

Bagaimana dengan lulusan Akademi di luar 1986?  Abituren Akmil 1985 hanya empat orang yang menjadi letjen.

Mereka adalah; Letjen (Purn) Edy Rahmayadi (mantan pangkostrad, kini gubernur Sumatra Utara), Letjen Doni Monardo (Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB), Letjen Tri Legiono Suko (Rektor Unhan), dan Letjen Dodik Wiajanarko (nonjob/staf khusus panglima TNI).

Kemudian Akmil 1987, ada Jenderal Andika Perkasa yang menjadi KSAD. Ada pula Letjen M Herindra (Irjen TNI), dan Letjen AM Putranto (komandan kodiklatad).

Terbaru, berdasarkan surat keputusan panglima TNI, Nomor Kep/1351/XI/2019, tertanggal 26 November 2019. Mayjen Ida Bagus Purwalaksana dipromosikan dari Dirjen Kekuatan Pertahanan Kemhan menjadi Irjen Kemhan.

Dengan promosi itu, maka dalam waktu dekat IB Purwalaksana akan mendapatkan promosi kenaikan pangkat menjadi letjen.

Purwalaksana merupakan anak dari mendiang Letjen (Purn) IB Sujana, mantan Kasum ABRI dan Sekjen Dephankam. Juga pernah menjadi menteri pertambangan dan energi era Presiden Soeharto.

Dengan kenaikan pangkat IB Purwalaksana, maka ada empat orang abituren Akmil 1987 yang berhasil menjadi bintang tiga ke atas. Sedangkan abituren Akmil 1988-A maupun 1988-B, belum ada yang berhasil menjadi bintang tiga.

TNI AL Seimbang

Berbeda dengan Angkatan Laut, ada laksdya lulusan AAL 1988-A, yakni Laksdya Yudo Margono (pangkogabwilhan I TNI).

Sedangkan Angkatan Udara, ada marsdya lulusan AAU 1988-B, yakni Marsdya Fadjar Prasetyo (pangkogabwilhan II TNI). 

Di Angkatan Laut, relatif seimbang pembagian jabatan bintang tiga.

Abituren AAL 1984 Laksdya Achmad Djamaludin (sekjen Wantannas). AAL 1985, Laksamana Siwi Sukma Adji (KSAL), Laksdya Agus Setiadji (sekjen kemhan). AAL 1986 Laksdya Mintoro Yulianto (wakil KSAL). AAL 1987, Laksdya Aan Kurnia (danjen akademi TNI). Serta 1988-A, Laksdya Yudo Margono (pangkogabwilhan I TNI). AAL 1988-B, belum ada yang meraih bintang tiga.

Baca juga :  Mendagri : Pemimpin Diuji di Dalam Krisis

Untuk jabatan strategis seperti panglima armada diberikan kepada tiga abituren berbeda. Panglima Armada 1, Laksda Muhammad Ali (AAL 1989). Panglima Armada II, Laksda Heru Kusmanto (AAL 1988-B). Panglima Armada III, Laksda I Nyoman Gede Ariawan (AAL 1986).

 TNI AU 1986

Dominasi lulusan 1986, begitu terlihat di Angkatan Udara. Ada empat marsekal yang berhasil menempati posisi bintang tiga ke atas.

Mereka adalah Marsekal Hadi Tjahjanto (panglima TNI), Marsekal Yuyu Sutisna (KSAU), Marsdya Wieko Syofyan (wagub Lemhannas), dan Marsdya Fahru Zaini Isnanto (wakil KSAU).

 Abituren AAU 1984, masih tersisa Marsdya Bagus Puruhito (Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan/BNPP.

Sebelumnya disebut Basarnas). AAU 1985 diwakili Marsdya Dedy Permadi (komandan sesko TNI). Namun, tidak ada satu pun dari lulusan AAU 1987 yang menempati jabatan bintang tiga. Setelah itu lulusan AAU 1988-B, yakni Marsdya Fadjar Prasetyo (pangkogabwilhan II TNI).

 Sedangkan jabatan pangkotama dibagi tuntuk tiga abituren berbeda. Panglima Koopsau 1, Marsda M Khairil Lubis (AAU 1990). Panglima Koopsau 2, Marsda Donny Ermawan Taufanto (AAU 1988-A). Panglima Koopsau 3, Marsda Andyawan Martono (AAU 1989).

Polisi malah jauh meninggalkan TNI.

Kepala Polri Janderal Idham Aziz, lulusan Akpol 1988-A. Wakil Kepala BSSN Komjen Dharma Pongrekun, juga lulusan Akpol 1988-A. Bahkan Kabaharkam Polri yang akan menjadi Ketua KPK, Komjen Firli Bahuri, lulusan Akpol 1990.

 Cegah Nepotisme

 Kuatnya dominasi Marsekal Hadi dalam penempatan personel jabatan pati TNI diharapkan tidak menimbulkan nepotisme dalam tubuh militer.

Kata nepotisme berasal dari bahasa Latin, nepos.  Secara istilah berarti mendahulukan anggota keluarga atau kawan dalam memberikan pekerjaan maupun pemberian hak istimewa (Chambers Murray Latin-English Dictionary, 1983).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nepotisme dapat berarti  perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat.

Terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah. Dampaknya,  tentu saja akan  merugikan organisasi dan merusak sendi-sendi kebersamaan.

Nepotisme hanya menguntungkan mereka yang memiliki akses seperti adanya hubungan kekerabatan, pertemanan dengan pengambil keputusan.

Yang menjadi persoalan, jika tindakan nepotisme dikaitkan dengan pemberian posisi atau jabatan tertentu kepada orang yang mempunyai hubungan kekerabatan tanpa memperdulikan unsur-unsur seperti unsur keahlian atau kemampuan yang dimiliki.

Semoga kekhawatiran itu tidak terjadi pada organisasi TNI yang kini dipimpin marsekal berkumis hitam dan tebal.

Hitam dan tebal justru harus menjadi kunci bagi Hadi harus meninggalkan jejak professional. Bukan sebaliknya jejak nepoitisme  bagi lulusan Akademi TNI 1986.

TULISAN KEDUA  ;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;;

Relasi Kuasa Hadi – Andika di Persimpangan Jalan

 Oleh Selamat Ginting (Jurnalis Republika) Pemerhati Komunikasi Politik Militer

Ada apa sebenarnya dengan elite TNI? Khususnya antara Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dengan KSAD Jenderal Andika Perkasa.

Dalam dua bulan terakhir, ada beberapa peristiwa di mana Jenderal Andika tidak menghadiri acara di mana ada Marsekal Hadi. Peristiwa-peristiwa yang mengundang tanda tanya besar. Seperti hubungan  “panas- dingin” antara keduanya.

Andika kini, malah terlihat lebih banyak bersama Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto.

Keduanya sama-sama berlatar unit penanggulangan teror (gultor) Kopassus. Saat Mayjen Prabowo menjadi Komandan Jenderal Kopassus, Andika masih berpangkat kapten infanteri (komando).

Terakhir, Andika (Akmil 1987) bersama Menhan Prabowo saat di Bandung. Pertemuan KSAD se-ASEAN, Senin (25/11/2019) lalu.

Dari Mabes TNI diwakili Kasum, Letjen Joni Suprianto (Akmil 1986). Prabowo dan Andika menjadi bintang dalam acara ACAMM (Asean Chief of Army Multilateral Meeting).

Sebelumnya Andika juga bertemu dengan Prabowo, saat peresmian Patung Jenderal Besar Soedirman di Turusan, Desa Banyuraden, Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Ahad (10/11/2019). Tepat di Hari Pahlawan itu, Andika justru tidak hadir di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan.

Saat itu, pimpinan Angkatan Darat diwakili Wakil KSAD Letjen Tatang Sulaiman (Akmil 1986). Tatang mendampingi Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.

Hadir pula KSAL Laksamana Siwi Sukma Adji (AAL 1985), KSAU Marsekal Yuyu Sutisna (AAU 1986), dan Kepala Polri Jenderal Idham Aziz (Akpol 1988-A).

Begitu juga saat Hadi ke Papua pada 28-29 Oktober 2019. Andika malah menemani Menhan Prabowo. Keduanya menerima kunjungan Duta Besar Cina di Indonesia Xiao Qian di Kementerian Pertahanan, Selasa (29/10/2019).

Baca juga :  Belanja Online Dikenai Bea Meterai Rp10.000 Ditunda?

Nah, saat Hadi menerima Menhan Prabowo di Mabes TNI pada Rabu (30/10), Andika tidak hadir. Ia diwakili Wakil KSAD Letjen Tatang Sulaiman.

Hadir pada acara itu, antara lain KSAL Laksamana Siwi Sukma Adji, dan KSAU Marsekal Yuyu Sutisna.

Pada acara pelantikan Kepala Polri Jenderal Idham Aziz, Marsekal Hadi bertindak sebagai saksi bersama Mendagri Tito Karnavian, 1 November 2019. Di situ pula Andika tidak hadir. Pimpinan Angkatan Darat diwakili Letjen Tatang Sulaiman.

Interaksionisme simbolik

Bagaimana menerjemahkan ketidakhadiran Jenderal Andika saat acara dihadiri Marsekal Hadi? Apakah sebuah kebetulan, karena ada acara bersamaan?

Penulis melihatnya dari teori interaksionisme simbolik. Salah satu teori yang banyak digunakan dalam penelitian sosiologi.

Teori ini memiliki akar keterkaitan dari pemikiran Max Weber yang mengatakan, “tindakan sosial yang dilakukan oleh individu didorong oleh hasil pemaknaan sosial terhadap lingkungan sekitarnya.”

Makna sosial diperoleh melalui proses interpretasi dan komunikasi terhadap simbol-simbol di sekitarnya.

Tanda-tanda tersebut merupakan simbol yang digunakan untuk berkomunikasi dan menyampaikan pesan pada orang lain. Teori interaksionisme simbolik melihat sebuah tindakan dengan penggunaan simbol dalam rangka mendeklarasikan identitas semacam ‘inilah diriku’.

Bisa jadi, itulah bentuk protes Andika terhadap Hadi yang lebih mengutamakan memilih perwira tinggi yang satu letting (lulusan kelas yang sama) 1986.

Sebelum, promosi terhadap IB Purwalaksana sebagai Irjen Kemhan, berdasarkan keputusan panglima TNI pada 26 November 2019, abituren Akmil 1987, teman lulusan Jenderal Andika, seperti ‘gigit jari’.

Abituren Akmil 1986 punya tujuh letjen, termasuk Hinsa Siburian yang sudah pensiun.

Sedangkan Akmil 1987, hanya punya satu jenderal dan dua letjen. Kini dalam waktu dekat akan menjadi tiga letjen dengan naiknya IB Purwalaksana.

Bisa jadi pula, Andika dianggap ‘kurang memperjuangkan’ teman-temannya sesama Akmil 1987.

Akmil 1985 pun hanya empat letjen. Sedangkan Akmil 1988 A maupun B, belum satu pun yang mendapatkan promosi letjen.

Hal ini pula yang dipertanyakan, mengapa Angkatan Darat tertinggal dari Angkatan Laut maupun Angkatan Udara?

Bahkan jauh tertinggal dari Kepolisian, karena lulusan 1990 sudah ada yang berpangkat komjen (setingkat letjen, laksdya, marsdya).

Makna ketidakhadiran Andika, jika diteropong dari teori interaksionisme simbolik, bisa dianalisiis masyarakat berdasarkan makna subjektif yang diciptakan individu sebagai basis perilaku dan tindakan sosialnya.

Individu diasumsikan bertindak lebih berdasarkan apa yang diyakininya, bukan berdasar pada apa yang secara objektif benar.

Apa yang diyakini benar merupakan produk konstruksi sosial yang telah diinterpretasikan dalam konteks atau situasi yang spesifik.

Hasil interpretasi ini disebut sebagai definisi situasi. Itulah situasi relasi kuasa antara Marsekal Hadi dengan Jenderal Andika. Ada persaingan terselubung. Tentu saja, keduanya akan membantah argumen ini. Silakan saja, boleh berbeda perspektif.

Pola Karier

 Untuk itu, penulis juga akan mengaitkannya dengan pola karier perwira tinggi TNI.

Karier adalah perkembangan dan kemajauan yang terbuka bagi prajurit dalam kesempatan untuk mendapatkan jabatan atau kedudukan tertentu.

Termasuk kenaikan pangkat, kesempatan mengikuti pendidikan, serta pemindahan dan giliran penugasan.

Karena itu, pimpinan tentara, harus memberikan kesempatan seadil-adilnya kepada setiap perwira untuk mengembangkan kariernya.

Tentu saja melalui sebuah perencanaan yang baik dan giliran penugasan serta kesempatan pendidikan untuk mencapai kemajuan.

Dalam pola dasar karier perwira, maka jabatan pada perwira tinggi merupakan fase darma bakti. Pengabdian sebagai perwira lebih dari 25 tahun. Setelah minimal 25 tahun jadi perwira, baru pantas menyandang pangkat brigjen, laksma, marsma.

Ini merupakan masa terakhir dari karier seorang perwira. Penekanannya akan beralih dari sekadar pengembangan kemanfaatan maksimal seorang perwira dalam darma baktinya.

Fokus perwira tinggi pada masalah-masalah strategi pertahanan dan kebijaksanaan TNI. Sehingga mereka bisa berkarsa dan berkarya nyata menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Maka selayaknya, jabatan-jabatan komadan/panglima, serta staf tingkat tinggi akan dipercayakan kepada perwira yang sangat menonjol di antara perwira yang potensial.

Harus dilihat latar belakang penugasan bidang staf, pendidikan, pembinaan teritorial, serta komando pada unit kesatuan yang lebih besar.

Tentu dengan ukuran prestasi yang sangat menonjol. Bukan semata-mata, karena sama-sama lulusan satu letting (sekelas).

Harapannya, agar organisasi TNI bisa lebih professional, modern, dan mampu menjaga soliditas organisasi. Panglima Besar Soedirman telah memberikan contoh teladan yang patut dicontoh generasi penerus saat ini.

Utamanya dalam menjaga soliditas TNI di saat negara dalam keadaan genting.

baca juga: majalah matra terbaru — klik ini

 

Tinggalkan Balasan