MATRANEWS.id — Misteri Rejeki Pemberi Utang
Kalau lihat profil HP saya, di sana tertulis,”semakin banyak memberi, semakin banyak menerima.”
Bagaimana mungkin saya dapat sampai kesimpulan itu? Berbagai serpihan hidup saya, membuat saya berkeyakinan itu.
Untuk ukuran rata-rata kesejahteraan orang Indonesia, saya bukanlah orang kategori miskin. Meski saya juga bukanlah termasuk orang dalam klasifikasi kaya (apalagi kaya raya).
Meminjam penggolongan para ekonom dan sosiolog, mungkin saya termasuk “kelompok kelas menengah.” Istilah kerennya, midle class.
Dari dulu, terutama sejak SMA,sejarah hidup saya sudah membuktikan, “nasib” saya sangat sering dimintai untuk memberi pinjaman uang atau utang.
Saya dapat pastikan, dibanding rata-rata kelas menengah, saya termasuk klaster yang sangat sering diminta pinjam atau utang.
Dari mulai sekedar puluhan ribu rupiah, sampai puluhan juta dan bahkan ratusan juta rupiah. Semua pinjaman atau utang dari saya tak ada bunga sama sekali.
Profil Pengutang
Profil mereka yang meminjam atau berutang kepada saya beraneka macam. Kalau temen dekat sih tak apa-apalah, lantaran sudah saling mengenal.
Kendati begitu, tak jarang juga yang orang belum begitu lama kenal dengan saya, bahkan terhitung baru, sudah berani pinjam uang atau berhutang kepada saya.
Hebatnya, tak sedikit dari yang baru kenal itu, kalau tidak diberi utang, karena saya nilai alasannya tidak rasional atau keterangan tidak dapat saya percaya, mereka langsung “memusuhi” saya.
Ada juga pengusaha yang dari luar hidupnya terlihat hendon. Ada pula orang dulunya tingkat kesejahteraanya jauh di atas saya, sehingga sering memberi barang-barang brended, tapi kemudian ekonominya terpuruk.
Tentu memang ada orang yang saya faham dari dulu kehidupan dan penghidupannya sulit.
Menelantarkan Jaminan
Untuk pemberian utang atau pinjaman ini, pada prinsipnya saya tak minta jaminan apapun.
Saya hanya melihat integritasnya dan kebutuhan orangnya saja. Kalau ada sesuatu yang sangat mendesak bagi mereka, biasa ya saya perhatikan.
Walaupun demikian, sebagian dari mereka atas inisiatifnya sendiri, memberikan “jaminan” kepada saya.
Bentuk “jaminan” pinjaman dari mereka beraneka ragam atau macam-macam.
Ada yang kasih cek cash ditandatangani, terutama pada zaman ketika zaman cek masih sering dipakai. Sebagian besar dari cek cash yang diberikan kepada saya, pas jatuh tempo, enggak ada uangnya alias bodong. Dengan kata lain, cek kosong.
Ada juga yang lebih satun sedikit, karena sebelumnya pas dekat jatuh tempo, sudah bilang, ”Jangan ditarik dulu ya, karena miss kalulasi, dana belum mencukupi.”
Setelah itu, sebagian besar yang demikian, tak menindaklanjuti cek itu , dan melupakan begitu aja “penundaan”
cek yang diberikan itu, seolah tak ada masalah.
Lebih gawat dan konyol lagi, ada sohib saya, yang kasih cek, tapi pas mau dicairin, eh, dia rupanya diam-diam secara resmi udah lapor lebih dahulu ke polisi, cek yang diberikan kepada saya itu merupakan cek yang hilang.
Padahal, jelas-jelas cek tersebut diberikan langsung dari tangannya sendiri kepada saya. Entah dengan maksud apa, dia lantas melaporkan cek itu cek dia yang hilang.
Persoalannya, cek itu kadung saya berikan kepada isteri.
Waktu mau dicairkan jadilah heboh, lantaran seakan saya dan isteri saya yang diberi ceknya itu dianggap sebagai “pencurinya.”
Sudah dibantu, eh, malah mau mencelakakan. Tak heran lantas isteri saya murka bukan kepalang dan sampai kini tak pernah melupakan peristiwa itu.
Setelah kejadian itu, sekedar maaf pun tak disampaikan sobat saya itu kepada saya. Dia berlagak pilon saja.
Ada pula yang memberikan girik, atau Perjanjian Jual Beli (PJB) tanah mereka dengan pihak ketiga.
Pada umumnya, jika setelah lebih tiga bulan, tidak dilunasi, dokumen itu tak diambil kembali dan tak jelas kelanjutannya.
Semua dokumen di tangan saya dan oleh yang berkepentingan diterlantarkan begitu saja. Saya sendiri sejak awal tak pernah mengecek keaslian dari dokumen itu, apalagi menenggok dimana lokasinya.
Belakangan ada yang saya baru faham lokasi nya sekarang di daerah yang sudah sangat komersial.
Ada juga surat pengalihan penagihan hutanh, baik yang notarial atau tidak. Ada yang memang benar ada juga bodong atau setengah bodong.
Sampai sekarang sebagaian dokimen iti dibiarkan menggantung begitu aja. Diambil dan dilunasi tidak, diberi kabar tidak tapi juga tidak ditegaskan boleh saya ambil.
Maklumlah hampir semua tak memakai perjanjian formal dengan saya.
Ada pula pengalaman unik. Ada yang pinjam uang dengan jaminan BPKB mobilnya. Untuk menyakinkan saya, dia bikin surat pernyataan dengan persetujuan ditandatangani isterinya.
Di surat pernyataan itu juga disebut andai kata lewat dari jatuh tempo, mobil boleh diambil serta utang dianggap sebagai pembelian mobil.
Eh, waktu beberapa lama setelah pinjaman atau utang lewat jatuh tempo, iseng-iseng saya tanya dan mau “ambil” mobilnya, ternyata mobilnya dipakai isteri keduanya yang belum memberi pernyataan setuju.
Sang isteri keduanya bersikukuh, tidak mau memberikan mobil itu lantaran merasa tidak pernah memberikan persetujuan pengambilan utang uang dari saya dengan jaminan mobil itu.
Saya tak faham, apakah mereka “bersekongkol” atau tidak.
Tapi yang meminjam dan memberi jaminan mobil itu,sejak saat itu memang tak pernah menghubungi saya lagi. Soal mobil dia seperti lupa tertiup angin.
Alasan Berutang
Alasan meminjam atau utang pun bermacam-macam. Ada yang untuk biaya anak atau dirinya yang sakit. Ada yang menyakinkan saya mau beli motor karena untuk usaha “diojekan.”
Ada yang untuk biaya dana anak sekolah atau kuliah. Selain itu tak sedikit yang mau utang “buat pulang kampung, “ dengan varian alasan.
Ada yang mau besuk orang tuanya sedang sakit. Ada menyebut meneggok anaknya di daerah dan sebagainya.
Menarikya, ada juga yang bilang terus terang, “Udah gak ada uang belanja sama sekali.”
Sebaliknya ada pula sebagian yang mengemukakan “untuk tambah modal usaha,” atau “untuk usaha yang sebentar lagi berhasil atau gol!”
Lebih Tipis dari Silet
Saya menyadari meminjam atau berhutang ke teman, bagi rata-rata orang merupakan salah satu tindakan tersulit.
Apalagi berapa dari mereka yang mau utang, dulunya berasal dari keluarga kaya, namun dalam putaran zaman anak-anaknya tak seberuntung orang tuanya.
Untuk berani mau berutang atau meminjam, mereka harus meruntuhkan gengsinya. Belum lagi harus
melawan rasa malu dan ada kemungkinan ditolak.
Meskipun tak dapat dipungkiri, ada yang memang mau ngampang saja dan bersamaan mengajukan hutang ke kita, mereka mengajukan pinjaman atau utang kepada semua kenalannya.
Tapi saya juga sering menyadari, antara kita yang berniat baik membantu dengan kesadaran niat baik, pada sebagian kasus sebenarnya kita “dikadalin.”
Perbedaan antara mereka yang meminjam untuk hal yang urgen dan berutang dengan berjut manipulasi alasan untuk menyakinkan kita, bedanya sering lebih tipis dari silet.
Tegasnya, permintaan utang atau pinjaman bukanlah untuk keperluan mereka yang urgent, melainkan cuma mau mudah saja, bahkan sudah berniat tak bakalan mengembalikan, namun dalam praktek kita sering sulit membedakan.
Sama-sama Sulit
Antara yang meminta pinjam atau berhutang, dengan yang diminta pinjam atau memberi utang, dalam banyak sisi, sama-sama dalam posisi sulit.
Bagi yang mau memberi pinjaman atau memberi utang, kalau kepada yang mengajukan tidak diberikan pinjaman atau utang, kita dapat serta merta bakal dituding “pelit,” atau “tidak ada empati.”
Masalahnya, kan para peminjam atau yang mengajukkan utang, sering tak faham dengan situasional kita. Misalnya , manakala kita pun sedang membutuhkan sendiri uang untuk keperluan kita, namun kita tak dapat mengutarakannya kepada mereka.
Kalau hal itu kita ungkapkan terus terang kepada mereka, pastilah persepsinya cuma dua: pertana, itu cuma alasan kita mengelak doang untuk memberi utang, dan kedua, kita memang dinilai pelit, tidak ada empati terhadap orang yang sedang memiliki masalah.
Di sisi lain saya juga menyadari memberi pinjaman atau utang kepada orang lain merupakan perbuatan mulia. Biasanya saya memberi prioritas untuk pendidikan atau pengobatan.
Menolak Permintaan Lewat WA
Berdasarkan pengalaman, saya punya prinsip, kasih pinjaman atau utang, walau saya bukan orang kaya, saya tak berharap utang atau pinjaman itu bakal kembali.
Saya anggap sebagai “sedekah” saja. Kalau pun diganti, alhamdullilah. Kalau enggak diganti, enggak sakit hati. Ikhlas.
Makanya di saya, banyak tanda terima, cek kosong, PJB, girik, surat pernyataan utang dan sebagainya.
Hanya saja sudah sekitar lima tahun terakir ini, terus terang saja, saya tidak begitu mau memberi tanggapan dari atau terhadap orang yang minta utang atau pinjam uang lewat WA atau yang sejenis.
Bukan apa-apa, soalnya, suka banyak penipuan mengatasnamakan orang yang meminjam.
Walaupun beberapa teman mengingatkan saya, cara berutang atau meminjam merupakan cara menghilangkan rasa malu, saya tetap berpendapat, niat baik juga harus dilaksanakan dengan cara baik agar tidak berubah menjadi penipuan.
Seandai ada teman dekat yang betul mengajukan peminjaman atau utang, saya tak tanggapi, mereka mungkin menanggap saya sombong. Ya ketimbang ditipu lebih baik dituduh seperti itu.
Selalu Bertambah
Satu yang fakta yang menonjol, tapi mungkin lebih empirik ketimbang analisis murni.
Jika niat saya memang tulus saya memberi utang atau pinjaman, dalam keadaan melimpah ataupun sedang pas-pasan, utang atau pinjaman yang kita berikan dengan niatan membantu mengurangi kesulitan orang lain, cepat atau lambat pasti memperoleh ganti atau imbalasan dari arah yang tidak diduga-duga.
Dan, yang luar biasanya, ganti atau “imbalan” itu pada umumnya jauh lebih besar ketimbang yang kita berikan kepada orang lain.
Ada yang cash and carry, tak lama setelah kita memberikan pinjaman atau utang yang sudah sejak awal kita ikhlaskan sebagai “hibah,” langsung kita mendapat balasan rejekin yang jauh lebih besar bukan dari dia tapi dari pihak lain yang sebelumnya tak pernah kita pikirkan.
Kendati tentu ada yang setelah lama kita memberikannya, dan kita sudah lupa pula, barulah kita memperoleh arus balik perolehan.
Itulah sebabnya jika kita memberikan utang atau pinjaman dengan ikhlas, kita tak akan pernah jatuh miskin bin melarat.
Dari pengalaman personal ini, saya berkeyakinan memberi itu tak pernah merugi sama sekali.
Begitulah, belajar dari sepihan hidup saya sendiri, saya sampai pada keyakinan sebagaimana yang saya tulis diprofil HP saya,”semakin banyak memberi, semakin banyak peroleh.”
Mungkin itu merupakan “misteri” dari pemberian utang atau pinjaman oleh kita kepada yang membutuhkannya.
Dari segi logika, mestinya kalau kita memberi utang atau pinjaman, tanpa ketemtuan dan syarat yang ketat, kita bakal bangkrut dan miskin. Setidaknya hidup kita menjadi susah.
Faktanya, kita malah makin sejahtera. Makin banyak memperoleh. Kenapa begitu, mungkin disitulah letak misterinya.*
#Wina Armada Sukardi, wartawan senior
BACA JUGA: majalah EKSEKUTIF edisi September 2022, klik ini