MATRANEWS.id — Keberhasilan Jaksa Agung dalam “mengurai” kasus Jiwasraya diapresiasi masyarakat. Tersangka dibawa ke pengadilan dengan barang bukti lengkap, hingga Jaksa bisa meyakinkan hakim. Maka, TSK divonis seumur hidup.
Kejaksaan pun menyita asset TSK serta ribuan sertifikat milik tersangka kasus Jiwasarya.
Selaku Jaksa yang ditunjuk Jokowi, ST Burhanuddin menjalankan amanat dengan professional dan berintegritas.
Ia mengomando Korps Adhyaksa tetap konsisten mengikuti peraturan di lapangan terkait penyitaan aset, hingga aset-aset para terdakwa bisa dirampas negara untuk mengganti kerugian negara.
Awalnya banyak yang sangsi, apakah ST Burhanuddin bisa menguak kasus gagal bayar Asuransi Jiwasraya yang merugikan Negara (versi BPK) Rp 16,8 triliun.
Masalahnya, para pemainnya adalah “orang besar” dan punya uang banyak . Dari segi persepsi, Jaksa Agung dihajar oleh pihak-pihak yang memakai “tangan” lain untuk mereduksi prestasinya.
Kabar Jaksa Agung akan dicopot jika berani membongkar kasus Jiwasraya, bukan isapan jempol.
Beredar nama pengganti ST Burhanuddin di lingkup Sekretariat Negara. Pertama kali diungkap oleh Anggota Komisi III DPR RI, Arteria Dahlan.
Kabar burung gencar terasa, tatkala Jaksa Agung sedang mengungkap kasus kakap, seperti Djoko Tjandra. Hal yang sama Seesaat komitmen mau menelusuri kasus ASABRI.
Tak hanya Direktur Utama PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI) yang — kemudian dicopot oleh Erick Thohir — sempat keras bicara.
Seorang petinggi di Cilangkap dengan keras pula, menyebut ST Burhan akan dicopot Jokowi.
“Jika ingin bicara ASABRI harap menggunakan data dan fakta yang sudah terverifikasi,” demikian sosok senior di TNI .
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM Mahfud MD sempat mengatakan bahwa di era Jokowi, ada indikasi korupsi di ASABRI dengan total nilai kerugian versi BPKP mencapai Rp 18 triliun.
Ini kelanjutan dari kasus ASABRI jilid pertama yang masuk pengadilan, menguak peran konglomerat properti, sebagai rekanan TNI.
Nyali Jaksa karir di Korps Adhyaksa sejak 1991 ini kembali diuji dalam melakukan penelusuran aset dan memetakan pokok permasalahan dalam kasus ASABRI.
Sosok pria kelahiran Cirebon, 17 Juli 1954 itu menempuh pendidikan strata satu di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan melanjutkan strata dua di Universitas Indonesia. Dia pun memperoleh gelar doktor di Universitas Satyagama Jakarta.
Sejak 1999, ST Burhanuddin telah menempati berbagai jabatan di Kejaksaan Negeri mau pun Tinggi. Dari jabatan itu diantaranya sebagai Kajari Bangko Jambi, Aspidum Kejati Jambi, Aspidsus Kejati NAD dan Kajari Cilacap.
Tahun 2007, ST Burhanuddin juga mendapat promosi menjadi direktur eksekusi dan eksaminasi Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejaksaan Agung dan menempati posisi itu selama sekitar satu tahun.
Setahun berikutnya, ia dilantik Jaksa Agung menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku Utara dan menjabat hanya selama sekitar satu tahun.
ST Burhanuddin balik ke Kejaksaan Agung dengan jabatan inspektur V Jaksa Agung Muda Pengawasan. Tahun 2010, ST Burhanuddin menerima promosi menjadi Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.
Hanya berselang setahun, dia pun menjadi Jaksa Agung Muda Perdata dan TUN (Jamdatun) hingga akhir karirnya di kejaksaan.
Pensiun di lingkungan Kejaksaan Agung pada 1 Agustus 2014. Usai tak lagi menjabat, nama peraih penghargaan Satyalancana Karya Satya dari Presiden pada 2007 itu mendapat promosi dan karirnya mulus.
Disebut mengajar sebagai pengajar di program studi ilmu hukum, Universitas Satyagama.
Di akhir tahun 2020, giiliran Indonesia Corruption Watch (ICW) mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo perihal permintaan untuk memberhentikan ST Burhanudin dari jabatannya sebagai Jaksa Agung Republik Indonesia.
Terutama terkait penanganan kasus korupsi hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra.
Selain masih kecolongan, loyalitas dan integritas internal Kejaksaan Agung juga dinilai masih jauh dari harapan. ST Burhanuddin dinilai belum menguasai Gedung Bundar sepenuhnya, selaras dengan visi misi dirinya, khususnya terkait good governance dan anti korupsi.
“Masih ada beberapa pejabat Kejaksaan Agung yang membangkang dari Jaksa Agung, baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi,” kata Ates dari ICW melalui keterangan resminya.
Putra daerah Majalengka ini bukannya gentar. ST Burhanuddin malah membentuk tim khusus mengungkap kasus ASABRI. Tentu saja menyadari bahwa risiko yang dihadapi-nya, adalah oknum bersenjata.
Independensi menegakan hukum secara mandiri dan independen lepas dari kepentingan politik , dengan langkah Kejaksaan Agung menginstruksikan jaksa intelijen untuk mengawal program PEN.
Bahwa program (PEN) Pemulihan Ekonomi Nasional ini jangan sampai malah disalahgunakan oleh berbagai pihak dengan mengambil keuntungan sendiri, yang akhrinya jadi korupsi.
Sikapnya yang lurus menjadi pedoman, pegangan bagi seluruh jaksa, termasuk membongkar kasus mega-korupsi lain.
Jaksa Agung juga mengintruksikan jajarannya untuk bisa menerapkan persidangan online, dan seluruh kejaksaan di Indonesia sudah menerapkannya.
Setahun nahkoda Kejagung telah melakukan sejumlah kegiatan dalam konteks pemberantasan tindak pidana korupsi. Penyelidikan1.477 perkara, penyidikan 986 perkara, penuntutan 1.687 perkara, eksekusi 1.523, upaya hukum 723 perkara.
Kejaksaan juga membeberkan dari bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Kejaksaan Agung mencatat ada Rp 223 triliun yang diselamatkan. Diimbuhi kasus tekstil di Bea Cukai 2018-2020, dengan kerugian negara Rp 1,6 triliun.
Tidak itu saja, Kejagung juga mencatatkan sejumlah pemulihan aset melalui rampasan dan uang pengganti dari Kejaksaan seluruh Indonesia senilai Rp 496.460.483.187, yang berasal dari total benda sitaan 43.764 buah dan barang rampasan 3,460 buah. Sementara, juga total uang pengganti yang diterima selama setahun Rp 1.157.657.340.
Kejagung mengklaim pula melakukan pemulihan aset di 19 satuan kerja di seluruh Indonesia Rp 208.114.241.033.
“Saya kehilangan banyak waktu bersama cucu. Biasanya saya seminggu sekali ketemu cucu,” ujar Jaksa Agung Sanitiar terus terang. Pekerjaan sebagai Jaksa Agung kian hari bertambah padat dan tidak mudah.
Ia ditugasi menyelesaikan masalah HAM yang “mangkrak” menyangkut kasus lama di republik ini. Mengenai nasib sejumlah kasus pelanggaran HAM kasus 1965, kasus penculikan aktivis 1997-1998, kasus kerusuhan Mei 1998 dan lain-lain.
Sebelum ST Burhaddin Jaksa Agung, kasus-kasus itu diserahkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) ke Kejaksaan Agung. Namun berkas itu berulangkali seperti bola pingpong, dikembalikan Kejaksaan ke Komnas HAM, Komnas HAM menyerahkan lagi ke Kejaksaan Agung, berulang-ulang.
Benarkah Jaksa Agung mendapat misi khusus dari Presiden Jokowi?