Olahraga dan Rokok Sudah Saatnya Bercerai

MATRANEWS.id —  Kita heboh, Djarum mogok, merajuk dalam bahasa Melayu, tidak mau merekrut anak-anak untuk dibina menjadi pemain bulu tangkis. Katanya, karena KPAI menyatakan Djarum mengeksploitasi anak.

Saya tidak mau berkomentar tentang hal ini juga tidak mau berkomentar tentang Siti Hikmawati dan KPAI yang saat ini jadi kambing hitam dalam kasus ini.

Tetapi, sebagai seorang yang hidup dengan kanker paru-paru, yang 90% disebabkan oleh asap rokok, saya setuju dengan posisi bahwa anak tidak boleh dikaitkan dengan Brand sebuah rokok, karena itu eksploitasi .

Posisi saya malah lebih radikal lagi, sudah saatnya olah raga dan seni meninggalkan rokok sebagai sponsornya. Cerai….

Pertandingan olah raga dunia sudah lama meninggalkan rokok sebagai sponsor. Sebut saja, F1, dan base ball, NFBL, NBA, di Amerika juga, sudah meninggalkan rokok sejak tahun 2006. Apalagi Olimpiade, sudah tidak ada lagi jejak rokok.

Apakah mereka rugi? itu sudah pasti pada awalnya.

Apakah mereka berhasil menutupi kekurangan akibat meninggalkan sponsor rokok? Ada yg sudah dan ada yang masih mengejar.

Kemana mereka beralih?

Ke raksasa ekonomi 4.0 : teknologi informasi seperti google, komputer seperti Microsoft dan dan Intel, raksasa sosmed seperti facebook, twitter, instagram, perusahaan tech seperti Qualcom dll.

Yang harus kita hormati adalah kesadaran penyelenggara terhadap dampak rokok terhadap kesehatan dan terhadap anak-anak muda.

Kematian global akibat rokok 7 juta orang/tahun dan akan meningkat menjadi 8 juta orang per tahun pada tahun 2030. ( WHO 2017).

Setiap enam detik, satu orang meninggal karena rokok. Biaya kesehatan global 5x lebih besar (1 triliun dolar AS per tahun ) dibandingkan dengan pajak yg dihasilkan dari industri rokok (260-an milyar dolar per tahun ).

Rokok adalah penyebab kematian yang bisa dicegah tertinggi di dunia. Kanker paru-paru yang yang 90% disebabkan rokok mempunyai tingkat kematian tertinggi di dunia..

Delapan puluh persen perokok ada di negara berkembang yg berpenghasilan rendah termasuk Indonesia. Tragisnya, penelitian di AS menunjukkan bahwa delapan puluh persen perokok baru adalah anak-anak yang masih di bawah umur.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia adalah negara dengan presentasi jumlah penduduk perokok tertinggi di dunia dengan 76% laki-laki Indonesia di atas umur 15 tahun adalah perokok.

Rokok adalah penyebab kemiskinan, karena rokok merupakan bagian dari pengeluaran keluarga miskin, menyebabkan BPS memasukkan rokok sebagai variabel penentu ukuran kemiskinan.

Riset iseng-iseng saya waktu kampanye keliling Flores, Lembata dan Alor, penduduk desa yang sebagian besar masih dalam kategori miskin, rata mereka menghabiskan uang 2,4 juta rupiah per bulan untuk rokok. Mereka lebih baik tidak makan daripada tidak merokok.

Kementrian kesehatan menyatakan, setiap tahun, pada tahun 2015 , lebih dari 230 ribu orang Indonesia meninggal karena rokok, 19,8% nya adalah laki-laki dan 8,1 % nya adalah perempuan.

Dari kematian karena kanker, kanker paru-paru adalah penyebab kematian tertinggi di Indonesia, 12,8 %.

Biaya kesehatan akibat rokok pada tahun 2015 saja, sebesar Rp 596 triliun…. sedangkan keuntungan PDB dari rokok diperkirakan kurang lebih Rp 222 triliun, sehingga kerugian yang disebabkan rokok Rp 374 triliun.. inilah biaya yang kita harus tanggung sebagai bangsa akibat industri rokok.

Kita ribut hanya karena Djarum mundur dari pembinaan bulu tangkis?

Hai Kajitouw Elkayeni, dan semua blogger, kita harus berterimakasih pada KPAI untuk mengingatkan bahwa tubuh anak-anak tidak boleh dipakai untuk pengenalan brand rokok.

KPAI memang bukan pelaksana, mereka dibentuk untuk mendorong kebijakan yang melindungi anak-anak Indonesia.

Mereka dibentuk untuk meningkat kesadaran masyarakat dan institusi mengenai kesejahteraan anak. Melalui apa? Ya seminar, workshop, diskusi. Mereka bukan Kementrian sosial , mereka bukan LSM. Mereka bukan pelaksana.

Kalau ada kelakuan satu anggota Komisi yang tidak etis, jangan hukum lembaganya. Tapi jangan hukum lembaganya untuk membela Djarum.

Itu dosa besar terhadap orang-orang seperti almarhum Sutopo PN, dan ratusan ribu Sutpo-Sutopo lainnya, yang bukan perokok, tapi harus meninggal karena kanker paru-paru, kematian yang sebenarnya bisa dicegah… kalau kita tegas terhadap industri rokok.

Apa artinya kebanggaan sebagai juara bulu tangkis dunia kalau anak-anak kita terpapar iklan yg mengglorikan perokok sebagai orang gaul, gagah, jantan, berani?

Sudah saatnya olah raga kita meninggalkan cara mencari uang mudah lewat sponsor rokok. Sudah saatnya cara-cara baru penggalangan dana dicoba, seperti crowd funding, merchandisers dan memorabilia, dsb.

Carilah sponsor baru seperti perusahaan telekomunikasi, dan perusahaan-perusahaan lain yang lebih sedikit mudharatnya daripada rokok.

Pemerintah Indonesia dan wakil rakyat harus mampu melawan lobby Philip Morris, BAT, dan Djarum dkk dengan meningkatkan pajak rokok setinggi-tingginya, dan dana itu sebagian dipakai untuk membiayai BPJS serta membina olah raga.

Industri rokok adalah industri yang resilien, di negara maju, sudah demikian dipersulit keberadaannya, tetapi mereka tetap survive dan masih berada di pasar modal.

Artinya mereka tetap menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham.

Alasan petani? Alasan buruh? Kenyataannya petani dan buruh kita hidupnya ya begitu-begitu saja, tapi rokok telah menghantarkan dua industriawan rokok Indonesia menjadi salah dua orang-orang terkaya dunia.

Last but not least, tubuh dan otak anak sebaiknya tidak diijinkan untuk digunakan sebagai media brand recognition merek rokok.

baca juga: majalah Eksekutif Terbaru

baca juga: majalah MATRA edisi cetak — klik ini

Tinggalkan Balasan