Hukum  

Penyalah guna Narkotika Dipenjara Berarti Hakim Melanggar Hukum dan HAM

Oleh DR Anang Iskandar Ahli Hukum Narkotika, mantan KA BNN

Penyalah guna Narkotika Dipenjara Berarti Hakim Melanggar Hukum dan HAM

MATRANEWS.id — Kalau penyalah guna dijatuhi hukuman penjara, berarti hakim melanggar tujuan dibuatnya UU (pasal 4d), melanggar pasal 127/2.

Dimana hakim lalai tidak memperhatikan kewajiban untuk mengetahui kondisi fisik dan psikis penyalah guna yang menjadi terdakwa (pasal 54).

Ketika terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 127/1 dan tidak menggunakan kewenangan berdasarkan pasal 103 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Mempelajari UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika tidak bisa secara linier dengan membaca pasal pidana saja karena UU narkotika mengatur narkotika tidak hanya secara pidana.

Akan tetapi, juga secara medis dan sosial sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan dari sebuah UU.

Kenapa demikian?

Karena penyalah guna narkotika itu orang sakit kecanduan narkotika sebagai pelaku kejahatan kepemilikan narkotika untuk dikonsumsi atau bagi diri sendiri.

Diancam secara pidana tetapi proses peradilannya direstoratif oleh UU dan bentuk hukuman ditentukan oleh UU berupa rehabilitasi secara medis dan sosial.

Proses peradilannya secara restoratif karena dalam memeriksa perkara narkotika yang tujuannya untuk dikonsumsi atau perkara penyalahgunaan narkotika, hakim diwajibkan UU untuk memperhatikan keadaan terdakwa.

Melalui keterangan ahli (pasal 127/2). Apakah terdakwa yang sedang diadili pelakunya berpredikat sebagai korban penyalahgunaan narkotika atau pecandu.

Bila predikatnya sebagai korban penyalahgunaan narkotika, hakim wajib menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi, bila predikatnya sebagai pecandu hakim wajib memutuskan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi (pasal 54).

Solusi Yuridis Non Peradilan

UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, memberikan solusi non peradilan terhadap perkara penyalahgunaan narkotika.

Penyalah guna (pasal 127/1) diancam pidana tetapi diwajibkan untuk melakukan wajib lapor pecandu (pasal 55).

Agar mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan berupa rehabilitasi supaya sembuh dan pulih, biayanya ditanggung oleh negara karena negara berkepentingan untuk itu.

Penyalah guna narkotika yang telah melakukan kewajiban untuk melaporkan ke Rumah Sakit atau lembaga Rehabilitasi.

Yang ditunjuk sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) maka status pidananya gugur berubah menjadi tidak dituntut pidana meskipun mengalami relapse.

Dengan demikian masalah pidana bagi penyalah guna selesai tanpa dilakukan penegakan hukum, tinggal masalah kecanduan dan gangguan mental kejiwaannya yang memerlukan rehabilitasi secara medis dan sosial.

Wajib lapor pecandu adalah solusi utama dalam menanggulangi masalah penyalahgunaan narkotika secara medis dan sosial.

Simpel tanpa adanya kerusakan akibat penegakan hukum, biayanya murah kalau relapse biaya rehabilitasi dibebankan pada keluarganya.

Solusi Yuridis Dengan Proses Peradilan

Kalau tidak melakukan wajib lapor, maka bila ditangkap penyidik diproses sebagai pelaku kejahatan melalui sistem peradilan rehabilitasi.

Baca juga :  Roy Suryo Melakukan ujaran hoaks Aliansi Pemuda Peduli Pemilu melakukan Aksi

Dimana hakim diberi kewajiban dan kewenangan dapat menjatuhkan atau menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi.

Dalam proses peradilan rehabilitasi, penyalah guna wajib direhabilitasi melalui perintah penyidik.

Penuntut dan hakim selama proses pemeriksaan pada semua tingkatan dan hakim wajib menggunakan pasal 103 untuk memutuskan atau menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi.

Kalau dijatuhi hukuman penjara, hakim melanggar ketentuan pasal 4d dan pasal 127/2 karena hakim lalai tidak memperhatikan kewajiban.

Untuk mengetahui kondisi fisik dan psikis penyalah guna yang menjadi terdakwa (pasal 54) dan tidak menggunakan kewenangan berdasarkan pasal 103 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Dan hakim melanggar hak asasi penyalah guna untuk mendapatkan penyembuhan dan pemulihan atas sakit yang dideritanya melalui putusan hakim.

Sebagai contoh, perkara narkotika yang pelakunya terbukti bersalah secara sah dan meyakinkan sebagai penyalah guna bagi diri sendiri tetapi dijatuhi hukuman penjara.

Dia adalah perkara yang menimpa Nia Rachmadani cs, Catharine Wilson, Rhido Rhoma dan banyak, bahkan ribuan perkara narkotika sejenis yang dijatuhi hukuman penjara.

Penyalah guna dijatuhi hukuman penjara berdampak buruk dan hanya membawa nestapa serta membawa musibah bagi penyalah guna, masarakat, bangsa dan negara.

Musibahnya berupa terjadinya over kapasitas lapas, terjadinya sakau dalam penjara, terjadinya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika di dalam lapas.

Dan, terjadinya residivisme kejahatan penyalahgunaan narkotika setelah selesai menjalani hukuman, serta meningkatnya jumlah penyalah guna narkotika dan meluasnya area penyalahgunaan narkotika hingga sampai desa desa.

Over kapasitas tersebut disampaikan oleh Dirjend Lapas Untung Sugiono bahwa yang menjadi masalah pokok lapas adalah over kapasitas.

Jumlah penghuni penjara tercatat 130.075 orang sedangkan kapasitas daya tampung 88.599.

Sehingga terjadi over kapasitas sebanyak 41.476 orang, mayoritas yang menghuni lapas adalah pelaku kejahatan narkotika (laporan akhir tahun 31/12/2008).

Selama 12 tahun berlakunya UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika Lapas mengalami over kapasitas 41.476 orang = 46,8 %.

Ganti UU, Over Kapasitas Tidak Terkendali

UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika diganti dengan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Salah satu point penting yang dirubah dan diperjelas adalah tujuan penegakan hukum terhadap penyalah guna diperjelas.

Bahwa tujuan penegakan hukum terhadap penyalah guna narkotika adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu (pasal 4d).

Baca juga :  Video Rapim Kemhan Baru Muncul 2-3 Hari Belakangan ini, Timbulkan Salah Analisis Pengamat

Point penting lainnya adalah, hakim dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika diberi kewajiban khusus (pasal 127/2).

Untuk memperhatikan kondisi taraf kecanduan penyalah guna, apakah penyalah guna sebagai korban penyalahgunaan narkotika atau sebagai pecandu (pasal 54).

Artinya, berdasarkan taraf kecanduannya penyalah guna narkotika digolongkàn menjadi 2.

Yaitu pertama sebagai korban penyalahgunaan narkotika jika belum kecanduaan karena menggunakan narkotika.

Untuk pertama kali karena dibujuk, ditipu, dirayu diperdaya atau dipaksa menggunakan narkotika.

Kedua adalah sebagai pecandu narkotika, bila dilakukan assesmen dan hasilnya dalam keadaan kecanduan narkotika.

Nah, secara yuridis berdasarkan pasal 54, korban penyalahgunaan narkotika dan pecandu narkotika wajib menjalani rehabilitasi.

Hakim dalam memeriksa perkara narkotika yang terdakwanya terbukti sebagai penyalah guna bagi diri. Maka, hakim wajib memperhatikan apakah penyalah guna tersebut tergolong korban penyalahgunaan narkotika atau pecandu.

Jika terdakwa tergolong pecandu, maka berdasarkan pasal 103 hakim wajib memutus dan memerintahkan yang bersangkutan untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi.

Jika terdakwa tergolong korban penyalahgunaan narkotika maka hakim wajib menetapkan yang bersangkutan untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi.

Karena secara empiris hakim menggunakaan KUHAP dan pasal 10 KUHP dalam menjatuhkan hukuman penjara terhadap perkara narkotika.

Yang terbukti sebagai penyalah guna bagi diri sendiri, akibatnya masalah over kapasitas tak terkedalikan, meskipun pemerintah cq kemenkumham telah melakukan berbagai upaya untuk menanggulangi over kapasitas.

Menurut catatan saya, selama model penegak hukum tidak berubah dan hakim menjatuhkan hukuman penjara bagi terdakwa narkotika.

Yang terbukti sebagai penyalah guna bagi diri sendiri maka over kapasitas dan bencana lainnya tidak akan dapat dikendalikan.

Sebagai gambaran, pada tahun 2021, berdasarkan data dari ditjend Lapas per tanggal 09 september 2021.

Data menunjukan jumlah tahanan di Indonesia berjumlah 266.663 orang, dengan kapasitas seharusnya berjumlah 132.107.

Nah, ini artinya terjadi over kapasitas sebanyak134.556 orang atau sekitar 101 %

Setahun kemudian, data ditjend Lapas per tanggal 13 september 2022 jumlah narapidana di Indonesia berdasarkan penjelasan Heni Yuwono Direktur Pelayanan Pengelolaan Basan dan Baran ditjend Lapas berjumlah 275.167 orang.

Sedangkan kapasitas lapas 132.107 akhirnya ada over kapasitas 108 % (kompas.com, 21 sep 2022).

Apakah benar over kapasitas akibat hakim salah menerapkan bentuk hukuman ?

Yes, secara empiris demikian (lihat data Direktorat Putusan Mahkamah Agung) dalam data tersebut perkara narkotika yang terbukti secara sah dan meyakinkan sebagai penyalah guna bagi diri sendiri, hakim menjatuhkan hukuman penjara.

Baca juga :  Kabut Asap “Drug Court” Ala Indonesia.

Padahal secara yuridis hakim wajib menjatuhkan hukuman rehabilitasi kewenangan (pasal 103), kewajiban (127/2) hakim dan tujuan penegakan hukum (pasal 4d).

Hakim dalam menjatuhkan hukuman penjara menggunakan dasar pasal 10 KUHP, padahal pasal 103 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, hakim diberi kewenangan.

Wajib dapat memutuskan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitas jika pecandu tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.

Permasalahannya pokoknya karena hakim yang mengadili perkara penyalah guna bagi diri sendiri.

Tidak melaksanakan kewajiban hakim (pasal 127/2) untuk mengetahui apakah penyalah guna bagi diri sendiri tersebut termasuk korban penyalahgunaan narkotika atau pecandu.

Jika tergolong pecandu maka hakim wajib memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.

Jika tergolong korban penyalahgunaan narkotika maka hakim wajib menetapkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/perawatan.

Apakah Hakim Yang Mengadili Tidak Melanggar HAM?

Yes, melanggar hak penyalah guna untuk mendapatkan penyembuhan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi atas keputusan hakim.

Kenapa?

Karena secara yuridis penyalah guna baik sebagai korban penyalahgunaan narkotika atau pecandu narkotika wajib dijatuhi hukuman menjalani rehabilitasi.

Namun, secara empiris penyalah guna dihukum penjara, lihat dan amati data Direktori Putusan Mahkamah Agung bahwa terdakwa pelaku kejahatan narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna bagi diri sendiri dijatuhi hukuman penjara.

Ini berarti keputusan memenjarakan penyalah guna narkotika dapat diartikan sebagai kebijakan implementasi Mahkamah Agung.

Saya menyarankan kepada Mahkamah Agung, agar proses pengadilan terhadap penyalah guna narkotika menggunakan peradilan restoratif (pasal 127/2).

Ddengan hukuman berupa menjalani rehabilitasi, dimana eksekusi putusannya dilaksanakan dirumah sakit atau lembaga rehabilitasi medis milik pemerintah yang ditunjuk oleh Menkes dan lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk Mensos

Dan menyarankan, agar Pemerintah mengambil langkah hukum luar biasa untuk menyelamatkan penyalah guna yang terlanjur mendekam di penjara.

Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya.

Anang Iskandar: Gugurnya Status Pidana Penyalah Guna NarkotikaAnang Iskandar: Gugurnya Status Pidana Penyalah Guna Narkotika

Penulis adalah adalah  Komisaris Jenderal purnawirawan Polisi.  Dr Anang Iskandar SH, MH merupakan Doktor, yang dikenal sebagai bapaknya rehabilitasi narkoba di Indonesia.  Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Bareskrim Polri, yang kini menjadi dosen, aktivis anti narkoba dan penulis buku

BACA JUGA: majalah MATRA edisi November 2022, klik ini

Tinggalkan Balasan