Pejabat Badan Urusan Pangan dan Obat-Obatan Amerika (Food and Drug Administration/FDA), Selasa (13/4), mengatakan pada masa perebakan pandemi virus corona ini, perempuan yang memerlukan pil aborsi tidak lagi diharuskan untuk bertemu langsung dengan dokter di klinik atau kantornya.
Langkah ini merupakan perubahan signifikan dalam pertarungan hukum yang masih berlangsung terkait obat aborsi.
FDA mengumumkan perubahan kebijakan itu dalam surat yang ditujukan kepada American College of Obstetricians and Gynecologists, satu dari sejumlah kelompok medis yang mengajukan gugatan hukum terhadap pembatasan yang diberlakukan pada era pemerintahan Trump itu.
Penjabat FDA Dr. Janet Woodcock mengatakan FDA telah mengkaji beberapa penelitian baru-baru ini, “yang tampaknya tidak menunjukkan peningkatan kekhawatiran atas keamanan yang serius” ketika perempuan minum pil aborsi tanpa terlebih dahulu mendatangi fasilitas kesehatan dan membahas risiko obat itu, termasuk potensi pendarahan dalam.
Perubahan itu memuluskan jalan bagi perempuan yang ingin mendapatkan resep pil aborsi – yang dikenal sebagai mifepristone – lewat telemedisin atau layanan konsultasi kesehatan jarak jauh dan kemudian menerima obat itu lewat pos.
Namun, mereka yang menentang aborsi telah mendorong aturan hukum di sejumlah negara bagian yang dipimpin oleh gubernur dari Partai Republik, supaya tidak mempermudah akses untuk mendapatkan pil aborsi.
Obat aborsi telah tersedia di Amerika sejak 2000 ketika FDA menyetujui penggunaan mifepristone. Sekitar 40 persen dari seluruh kasus aborsi di Amerika kini dilakukan lewat obat-obatan, dibanding lewat operasi. Opsi itu menjadi semakin penting ketika pandemi virus corona merebak.
FDA tahun lalu mencabut aturan yang mengharuskan mereka yang membutuhkan semua jenis obat untuk menemui langsung dokter, termasuk untuk obat-obatan yang dikontrol ketat seperti methadone.
Namun, FDA dan badan kesehatan yang memayunginya menilai aturan itu tetap diperlukan untuk memastikan agar obat-obatan itu digunakan dengan aman.
Aturan itu mewajibkan pasien untuk mengambil pil mifepristone di rumah sakit, klinik atau kantor medis, dan menandatangani formulir yang berisi informasi tentang potensi risiko obat-obatan itu.
Kelompok dokter kandungan dan ginekolog menuntut agar aturan itu diubah. Hal ini memicu sejumlah putusan pengadilan yang saling bertolak belakang.
Yang terbaru, Mahkamah Agung pada Januari lalu berpihak pada pemerintah Trump dengan memberlakukan kembali aturan sejak lama tentang cara mendapatkan obat-obatan itu secara langsung.
Dalam pernyataan pada Selasa (13/4), kelompok dokter kandungan itu mengatakan persyaratan yang ditetapkan FDA agar pasien bertemu langsung dengan dokter menunjukkan “kesewenang-wenangan badan itu dan tidak akan menambah keamanan atas obat-obatan yang sudah aman.”
Namun, mereka yang menentang aborsi mengatakan langkah itu akan membahayakan kesehatan perempuan.
“Dengan langkah ini, pemerintah Biden telah menunjukkan bahwa mereka lebih memprioritaskan aborsi dibanding keselamatan perempuan,” ujar Jeanne Mancini, presiden kelompok anti-aborsi March for Life.
“Aborsi yang dilakukan secara kimiawi tetap membutuhkan lebih banyak pengawasan medis, bukannya berkurang.”
Kebijakan FDA hanya berlaku saat kondisi darurat kesehatan akibat pandemi virus corona.
Kelompok dokter kandungan, ginekolog dan beberapa organisasi medis lainnya mendorong agar aborsi lewat obat-obatan tetap dapat dilakukan secara permanen lewat resep yang diperoleh lewat pertemuan virtual atau online, sementara obat-obatannya dikirim melalui pos. [em/lt]
- BACA JUGA: Cytotec